Seperti Mumi

11 5 0
                                    

#TrUESDAY Story

------------------------By------------------------
WayZone
---------------------------------------

Suatu kala di tepi dunia.

Tidak banyak kegiatan yang bisa dilakukan di desa kecil. Hanya beberapa pekerjaan seperti berkebun, bertani, menangkap ikan disungai, dagang di pasar hingga mencari rumput & pakan ternak. Sementara tentu saja anak-anak yang bersekolah dipagi hari. Meski begitu mereka memiliki semangat juang tinggi, bangun pada pagi buta dan segera memulai aktivitasnya. Masing-masing bertebaran menjemput rezeki, biasanya hingga tengah hari. Kemudian memulai aktivitas lain setelahnya.
Seorang nenek pencari rumput sudah usai melakukan tugasnya sebelum azan dzuhur berkumandang. Ia baru saja duduk dan hendak meneguk teh pekat pelepas penatnya. Namun tersentak saat melihat keluar jendela. Rasa dahaga, letih, dan nafsu makan berubah dalam sekejap.

"Ouh, cucuku. . ."

+-+-+-+-+-+-+-+-+-+-+

Satu jam sebelumnya

Kriiing. . . . Kriiingg . . . Kriiiiiinggg. . . . bel sekolah berbunyi untuk yang ketiga kalinya di hari itu. Pertanda bagiku dan teman sekelasku untuk pulang. Sekarang aku sudah kelas III di jenjang dasar. Bersekolah memang menyenangkan karena aku jadi tahu banyak hal. Tapi yang lebih menyenangkan adalah setiap kegiatan yang menyelinginya, berangkat dan pulang bersama teman, dan bermain-main sesampainya di rumah. Aku biasanya menempuh 20-30 menit perjalanan untuk sampai di rumah. Tapi tidak untuk hari ini, karena aku menggunakan sepeda. Lengkap dengan pengaturan kecepatan, rem, dan yang paling aku suka adalah bell elektronik buatan china. Ouh, tentu aku pemilik pertama diantara teman-temanku.

"Kita duluan yah, nanti susul aku aja kalo kamu bisa!" Kata Yusuf

"Ouh, itu sih kecil. Sana duluan aja, nanti aku pasti bisa nyusul kalian." Kataku penuh percaya diri.

Aku dan Kakaku hanya berbeda 2 tahun dan kami berada di sekolah yang sama. kami membawa sepeda masing-masing. Namun karena hanya memiliki satu gembok sepeda, jadi kami mengaitkan keduanya menjadi satu rangkaian dan aku lupa meminta kuncinya pagi tadi. Tentu aku harus menunggu kakakku pulang atau keluar, dan 'selamat tinggal misi pengejaran'.

'Ouh tidak, aku harus bisa mengejar yang lain' Egoisme menguasai otakku.

Kemudian aku melangkahkan kaki ke depan pintu kelas V.

"Assalamu'alaikum Pak Guru" Kataku dengan 10% keberanian, 40% ketakutan, 50% keterpaksaan. Yah, interupsi kegiatan belajar bukanlah hal lazim pada saat itu. Apalagi oleh seorang anak kelas III sepertiku pada guru wali kelas V yang terkenal galak dan dijuluki 'jawara sekolah'.

"Eh, kamu. Adiknya Mifta yah? kamu mau manggil kakakmu?" Kata beliau dengan ramah. Saat itulah aku tidak lagi terlalu percaya dengan desas-desus.

"Iya pak, saya mau minta kunci sepeda." Kataku yang gugup mendengar jawaban ramahnya.
Kemudian kakakku keluar dan memberikan kuncinya.

"Pulangnya nanti aja sama Mamas." Kakakku mengajak pulang bersama.

"Enggak ah, Mas mah masih lama pulangnya. Aku duluan aja." kataku menolaknya, aku mengambil kunci untuk melepaskan kaitannya dan mengembalikannya.

"yaudah kamu ati-ati yah." Kakakku mengingatkan.

"Okay, babay!" kataku dengan terburu-buru dan meninggalkannya.

Gowes, gowes, gowes, pertama adalah jalur lurus yang lumayan panjang dan agak menurun. Sejauh mataku memandang, hanya ada burung gereja yang ada di tepian jalan. Tanpa aral melintang, sekitar 200 M aku terus mengayuh. Membawaku hingga pada kecepatan 40 KM/J. Cukup cepat tentu untuk ukuran pengendara sepeda -atau mungkin terlalu cepat- seusiaku.

Sampai pada jalan yang cukup menurun aku melihat dua anak -mungkin anak kelas I atau II- yang sedang bermain setelah pulang sekolah. Lalu tiba-tiba seorang diantaranya dengan sengaja menghalangi jalanku. Ia merentangkan kedua tangannya tepat di jalur yang hendak ku lalui. Sementara anak yang lainnya mencoba menarik tangannya. Aku kaget dan mencoba membunyikan bel elektronikku, sementara tangan kiriku menyuruhnya untuk minggir.

"Wiiiiiiiuuuuuuu. . . Teeettt . . .Teeeettt . . . Minggir woi" kataku keras-keras beradu dengan suara bel sepeda. Sementara jarak semakin dekat, tidak juga ada tanda jika anak itu akan minggir. Mulai panik aku kerahkan usaha terakhirku untuk menekan kedua rem secara bersamaan. Sekuat tenagaku dan . . .

Antara kesadaran

Whoop . . Antara sadar dan tidak sepedaku berhenti melaju, namun karena gaya dorong yang kuat membuat roda belakang terangkat dan melayang di udara. Senada dengan gerakan itu, aku yang berada diatasnya pun ikut terbawa dan membuat gerakan salto di udara bersama sepedaku. Kemudian kedua tanganku tak lagi berada di kemudi kini terdapat jarak antara aku dan sepeda dan kami membuat pendaratan terpisah. Entah apa yang terjadi dengan sepedaku. Sementara di hadapanku adalah jalan berbatu khas desa, belum diaspal dan hanya batu-batu bulat utuh. Celakanya pendaratan tersebut menggunakan wajah dan sebagian dada. Terseret sejauh 4-7M. Belum juga merasakan sakit, bola mata telah menjadi sumber mata air.

"hmmmm. . . . hhhmmmmm. . . . Mamaaaaa, anak ini nakal. . ." Kumenangis dan menunjuk anak yang tadi menghalangi jalanku.

Antara marah dan lemas, otak tak lagi dapat mengontrol tubuh ini. Ingin ku berkelahi dengan anak itu, tetapi berdiri pun aku tak mampu.

"Iya ngga ngapa. Nanti om labrak orangnya." Seorang tiba-tiba telah memangku kepalaku.

Aku pandanginya dengan sebelah mata. Karena mata yang lain tak lagi dapat ku buka.

"Ambilin motor. Rumahmu di mana?" ia memberi perintah pada seseorang. Sementara kalimat terakhir ditujukan padaku.

"Dusun sebelah Mang." kataku masih dalam nada tangisan.

"yaudah Mamang anter yah." Katanya begitu motor telah sampai.

Kemudian aku diboncengkannya menuju rumah.

Didepan rumah aku melihat tak ada seorangpun, hingga aku harus melalui pintu samping. Di jendela kaca aku lihat nenekku hendak meminum teh dari gelas besarnya. Belum juga sampai di mulut ia meletakkan kembali gelas itu. Sementara pamanku langsung menunjuk ke arah bidan terdekat.

Tanpa Ba-Bi-Bu aku langsung dibawanya ke klinik bersalin itu. Karena puskesmas hanya ada di kecamatan dan jaraknya cukup jauh. Berbaringlah aku di ranjang pesakitan. Menunggu Dokter dadakan menanganiku. Hanya alat dengar jantung yang mencuri perhatianku, belakangan baru aku tahu jika namanya stetoskop.

"waduh ini mah harus dibersihin dulu" Kata Dokter dadakan itu.

Aku kemudian diantar ke luar dan ada bak berisikan air. Ragu untuk membersihkannya dengan tanganku sendiri, bahkan aku hanya melihat melalui mata kanan dan terhalang genangan darah kental yang tak kunjung menetes.

Aku segera bergerak saat orang yang menolongku hendak ikut membersihkan wajahku. Bahkan dengan tanganku sendiripun aku tak berani, apalagi jika orang lain yang membersihkannya. Kuambil cidukan air dan membasuhkannya ke mukaku. Keherananku adalah saat otak tak lagi merasakan perihnya luka itu. Satu basuhan dua basuhan dan aku tak berani mengambil basuhan lainnya.

Tanpa perintah aku berdiri dan berinisiatif untuk menuju ruang operasi seadanya.

"Wah ini masih kotor, tapi yaudah lah" kata dokter itu mungkin karena tak tega denganku.

Luka itu hanya satu, tapi menutupi 70% dari wajahku. Hasilnya adalah 1 jahitan di alis, 3 jahitan di bibir atas, dan 2 lagi di bibir bawah semuanya di sebelah kiri wajahku.

Perjalanan pulang hanyalah mitos bagiku. Karena begitu aku keluar dan membonceng motor segalanya menjadi gelap.

Suara tangisan terdengar membangunkanku. Bukan satu atau dua, tapi semua orang yang ada dikamarku. Diantaranya adalah teman sekelas dan keluargaku. Antara bingung dan lemas, aku terdiam dan duduk melihat kamar yang biasanya sepi menjadi sesak dan penuh orang.
"Kalian kenapa nangis, aku ngga ngapa kok" Dengan lebih dari setengah mulut diperban, aku berkata dengan tak jelas. Entah mereka paham atau tidak dengan apa yang ku katakan, yang pasti suara tangisan itu makin kencang.

Sampai aku melihat cerminan diriku di kaca lemari. Perban, perban, dan perban, hanya sepertiganya yang tak tertutup perban.

Wajar saja jika mereka menangis, mungkin takut dengan bentuk mukaku yang seperti mumi itu.

TenLit CerPenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang