Ironi Bidadari

17 6 0
                                    

"Mang! Teh haneut hiji nyak!" Kataku pada Yusuf sang pedagang kopi samping kampus.
Kala itu mentari terasa lambat sekali untuk tenggelam. Mungkin ia sedang tertawa melihatku menderita, hingga menahan diri tergantung di ufuk sana.

"Iyeu Kang, teh na!" Yusuf memberiku bungkusan.
"Eleh, kumaha si mamang teh, atuh di gelas wae Mang! Aduh sia! Geus rek adzan ngurang keun pahala puasa." Kataku protes. Memang segala sesuatu bisa jadi cobaan bagi yang berpuasa. Termasuk juga kesalahpahaman kecil antara penjual dan pembeli. Seperti yang sedang terjadi.
"Aduh, hampura Kang! Sia ge teu ngabejaan." Katanya membela diri.
"Iya Mang, teu nanaon. Geus, urang ge salah oge. Hampura keneh nyak!" Aku segera menenangkan diri dari amarah.
'Sabar! Abis maghrib aja marah-marahnya!' benakku meredamkan emosi. Kemudian Yusuf menuangkan teh tersebut dalam gelas dan memberikannya padaku.

"Nuhun Mang." Kataku menghibur diri keduanya.
"Sami Kang." Katanya sambil tersenyum merasa bersalah.

'Jangan ke sini kek, jangan ke kesini, please!!'
Aku melihat dua gadis menyebrang dengan anggunnya. Pandangku menjauhinya, justru karena tak boleh memandanginya terlalu lama. Kecantikannya bisa saja membuatku terpesona, gelap mata, dan lupa dunia.
'Tuhan, sepertinya ini candaan dalam bentuk bidadari sempurna? Inikah yang dikatakan nikmat di waktu yang salah?'
"Eh, ada Bang Jon!" Bidadari itu menyapaku.
"Iya dong. Loe berdua doang?" Kataku coba berkata setenang mungkin.
Wulandari namanya. Bisa dikatakan maskot kecantikan sesungguhnya. Terkenal hingga penjuru kampus. Bahkan namanya sudah 'go interlokal' hingga luar kota. Tapi bukan parasnya yang membayangiku, melainkan tatapannya. Entah ada di sana? jelas itu bukanlah pelangi seperti lagu yang dipopulerkan Zamrud itu.
"Banyak kok Bang. Tuh, sama temen-temen di dalem." Katanya sambil mengambil beberapa gelas air mineral dalam box. Kemudian ia menusukkan sebatang sedotan plastik dan meminumnya, tanpa malu menghisap kesegaran itu. Rasanya bahkan sampai tenggorokanku.
'wooooiiiiii, Puasa! Dasar bidadari tanpa adab! Hormati kami para fakir energi! Kenapa juga kau melakukannya di depanku, tiadakah makhluk lain untuk kau goda?' batinku menggerutu secara sporadis. Ingin aku pencet gelas plastik, agar isinya memenuhi mulutnya yang indah itu. Tapi tentu melanggar norma.
"Bang, ajarin Gue semantik dong!" Katanya setelah selesai meneguk kehidupan. Aku terdiam dengan pertanyaan itu. Mencoba mencerna pesan yang disampaikannya.

Helloo!
Aku bukanlah anak sastra
Masih sejurusan denganmu
Masuknya aja yang kebetulan lebih dulu.
Setelahnya, baru aku sadari bahwa teori 'kecantikan itu berbanding terbalik dengan kepintaran' dari film 'CIN(T)A' itu adalah sebuah keniscayaan.
Tuhan! Maha adil engkau yang menciptakan manusia dengan segala kelebihan dan kekurangan.

"Semiotik kali maksud Loe?" Kataku dengan ekspresi datar yang sangat teramat dipaksakan.
"Iya, apalah itu pokoknya." Katanya dengan wajah tanpa dosa. Aku tak mampu lagi berkata-kata, selain kalimat indah tentang percintaan dalam bahasa inggris.
"Yaudah nanti Gua chat aja yak." Tambahku.
"Lan, ayo. Anak-anak udah pada nungguin bukaan tuh. Loe juga emang ngga mau buka puasa?" Teman yang satunya mengajaknya masuk.
"Eh, iya Bang. Gua ke dalem dulu yak!" Katanya undur diri.
"Eh, bentar dah! Emang Loe puasa?" Tanyaku heran.
"Iya lah." Ia menjawab dengan bangganya.

'Hei Girl. What the F*** are you saying? Kau baru saja dengan anggunnya minum air di depan mataku. Lantas dengan suara malaikat pula kau berfatwa tengah berpuasa.'

"Itu lihat di tangan Loe!" Kataku sedikit meninggi.
"Ouh iya Bang, gua lupa"

-----------WayZone-----------

TenLit CerPenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang