Haewon berjalan menghampiri lelaki paruh baya yang sedang menunggunya di lobby sekolah. Banyak pertanyaan yang muncul diotaknya saat melihat lelaki tersebut.
Dengan jarak tiga langkah kaki, Haewon membungkuk sopan kearah lelaki tersebut. "Annyeonghaseyo, appa."
"Eoh, mari pulang," balas nya singkat dan berjalan menuju parkiran.
Firasat Haewon benar, ada yang tidak beres. Hatinya berdoa agar tidak ada hal yang mengejutkan dan menyakiti hatinya lagi. Sudah cukup kehilangan nenek kesayangannya, jangan ada lagi musibah.
Haewon berjalan mengikuti arah ayahnya. Kepalanya sedikit menunduk lemas.
"Masuk." Ayahnya membuka pintu mobil penumpang belakang dan menyuruh Haewon masuk.
Tanpa membantah, Haewon masuk ke dalam mobil walaupun hatinya sudah tidak beraturan. Mobil itu di kendalikan oleh supir ayahnya. Dan tak lama mobil yang mereka tumpangi ini melaju menjauh dari area sekolah.
"Kita akan kemana?" Haewon mengeluarkan satu dari seribu pertanyaan di kepalanya.
"Kerumah kita." Ayah Haewon menjawab dengan suara dingin.
Setengah jam kemudian mereka tiba di rumah besar yang menjadi tempat tinggal ayahnya dan istri barunya. Haewon menghela napas berat. Tuhan, apa lagi ini.
***
Sudah setengah jam Haewon duduk di ruang tamu tanpa seorang pun yang menemani. Minuman dan biskuit di depannya masih utuh dan tak tersentuh sama sekali. Gadis itu hanya diam termenung sambil menunggu apa yang akan terjadi.
Tiba-tiba suara dobrakan pintu membuat Haewon sedikit kaget dan menoleh ke sumber suara. Di depan pintu ada ibu tirinya yang berdiri dengan angkuh. Mata tajamnya menatap Haewon sengit.
Tak lama, ayahnya datang dari lantai dua dan menghampiri mereka.
"Kau! Duduk disini!" Ayahnya menatap wanita itu dengan tatapan tak kalah sengit.
Wanita itu langsung duduk dan memperbaiki rambutnya. Haewon bergidik ngeri saat ibu tirinya duduk disebelah gadis itu.
Lima menit tak kunjung membuka percakapan, Haewon menatap jam tangannya.
"Ada apa ini? Cepat! Aku ingin bekerja!" Haewon sudah muak melihat muka mereka.
Ayahnya menyodorkan sebuah amplop cokelat di atas meja. "Buka."
Tanpa basa basi, Haewon langsung membacanya. Kaget. Satu kata yang menggambarkan dirinya saat ini.
"Kalian... bercerai?" Haewon menutup mulutnya dengan satu tangan. Air mata sudah tergenang di matanya.
Haewon menatap ayahnya. "Appa.."
Gadis itu menatap kedua orang tua di depannya. Ibu tirinya yang tadi angkuh sudah bergelinang air mata sambil menunduk. Sedangkan ayahnya hanya diam dan menghindari kontak mata.
"Wae??" Hanya suara serak Haewon yang menginterupsi ruangan ini sekarang.
"Wae? Appa.. wae?? Beritahu aku alasannya."
"Saya sudah bosan, hanya itu. Sudah cepat tanda tangan." Ayahnya menjawab dengan santai.
Haewon terkekeh pelan. "Apa? Bosan?" Air matanya turun selagi ia tertawa.
"Iya." jawab ayahnya singkat.
"Apakah appa tahu sesuatu?" tanya Haewon tiba-tiba. "Aku sama sekali tidak peduli dengan hal konyol ini." Haewon menatap ayahnya tajam dan dingin.
Haewon langsung berdiri dan merobek kertas yang ada di depannya. Dan berjalan keluar rumah.
Tangannya hendak meraih kenop pintu sebelum tangan ayahnya menggenggam tangan gadis itu dan menariknya mundur.
Haewon terdorong kencang dan punggungnya menyenggol guci. Gadis itu jatuh bersama dengan guci yang sudah menjadi serpihan.
Tubuhnya tertancap beberapa serpihan yang membuat darah keluar dari sana. Haewon menatap ayahnya marah.
"Kau bilang apa? Konyol?" Ayahnya berjalan mendekati Haewon dan mengambil beberapa serpihan dilantai.
Ayahnya melempar serpihan tersebut ke arah Haewon. Dua serpihan menggores luka di daerah mukanya, dan satu lagi jatuh ke lantai dan menyebabkan suara nyaring.
"Sudah cukup!" Ibu tiri Haewon akhirnya membuka suara dan mendekati Haewon yang masih terduduk di lantai.
Haewon mengangkat tangannya dan memberi kode untuk tidak mendekat. "Jangan mendekat, kalau bisa pergilah. Biar aku yang mengurus bajingan satu ini."
Ibu tiri Haewon kaget mendengar penuturan gadis itu dan diam di dekat sofa.
"Bajingan?" Ayah Haewon memukul kepala Haewon dengan kakinya. "Anak tidak tahu diri! Tidak ada bedanya kau maupun ibu kandungmu!" lanjutnya.
"Brengsek!" Haewon langsung berdiri dan memukul ayahnya dengan kepalan tangan. Ayahnya tergeser ke samping dan meringis.
"Ya! Kau boleh membentakku! Kau boleh memukulku! Tapi jangan pernah kau lecehkan ibuku dengan mulut kotormu itu. Dasar laki-laki tua tidak berguna!" Haewon langsung meledakkan emosinya.
"Tidak berguna? Aku yang menafkahimu!"
"Menafkahi? Aku bekerja untuk membayar uang sekolahku dan kebutuhan sehari-hari! Aku tidak pernah memakai uangmu sepeser pun!" Haewon mendelik tajam.
"Diam kau! Kau tidak boleh keluar dari rumah ini. Kau harus tinggal disini. Tidak ada penolakan. Semua penjaga akan mengawalmu."
Mata Haewon membulat. "Apa maksudmu? Aku tidak mau!"
"Tidak ada penolakan." Ayahnya langsung pergi meninggalkan mereka.
Haewon ingin mengejarnya namun kakinya sudah terlalu sakit untuk berjalan. Alhasil, ia terduduk di lantai. Tak lama kemudian, ia terisak dengan air mata yang keluar dengan deras.
Bagaimana bisa ia memiliki masalah seperti ini. Ia baru saja berduka, dan sekarang masalah baru sudah muncul.
Sakit dari luka di tubuhnya mulai terasa seiring dengan tangisannya.
Ibu tirinya berjalan mendekati Haewon. Perempuan itu mengelus pundak Haewon pelan. Ia benar-benar kasihan dengan gadis ini.
"Haewon-ah, ayo ikut aku, kita harus membersihkan lukamu," ucap ibu tiri Haewon lembut.
Haewon membersihkan air matanya pelan dan langsung berdiri.
"Ayo."
***
Luka Haewon sedang diobati oleh salah satu pelayan di rumah ini. SooA Ahjumma. Pelayan ini sudah bekerja disini sejak Haewon berumur 4 tahun. Dia sangat baik dan perhatian. Ahjumma ini bahkan tak segan untuk menyentuh Haewon, ia menganggap gadis itu seperti anaknya sendiri.
"Haewon-ssi, kau baik-baik saja?" Pelayan itu membuka percakapan terlebih dahulu.
"Tidak." Haewon menjawabnya singkat dan diam lagi.
"Aku tahu kau sangat rapuh, kau membutuhkan seseorang yang dapat memahami dan mendengar semua keluh kesahmu."
"Benar, tapi faktanya tidak ada yang bisa memahamiku. Maka dari itu, sekarang aku hanya ingin mati dan meninggalkan kehidupan jahat ini."
***
TBC
.
Our; dream
Tue, Apr 7
©katasaesagt
.
Thanks for Reading!

KAMU SEDANG MEMBACA
OUR; DREAM [PJM]
Fanfictionour; dream park jimin fanfiction "memang sulit untuk menunggu sesuatu yang kau tahu tidak akan pernah terjadi; tapi lebih sulit untuk menyerah ketika kau tahu itu adalah segalanya yang kau inginkan." . "mungkin di waktu yang tepat kau akan menemukan...