Bagian 9 : Maafnya Dia

175 37 0
                                    

Sinar matahari yang masuk lewat jendela kamarku membuatku mau tak mau bangkit dari tidurku. Disebelahku masih ada Jinan yang masih tertidur pulas. Beruntunglah senin ini Jinan tidak masuk sekolah karena memang anak kelas akhir sedang diberi libur sebelum masuk ke ujian sekolah.

Aku memandangi wajah Jinan yang tertidur, wajahnya bengkak karena menangis juga luka bekas tamparan Papa yang masih jelas tercetak di wajahnya. Setidaknya aku senang karena ekspresinya begitu damai. Ah, adik kecilku bukan lagi anak kecil rupanya, ia sudah besar.

Rasa haus yang membakar tenggorokkanku membuatku beranjak dari kasur sepelan mungkin agar tidak mengganggu Jinan. Selepas sholat subuh tadi Jinan langsung tidur kembali karena kepalanya pusing, kebanyakan menangis. Aku membuka pintu kamar pelan kemudian menutupnya dengan pelan juga.

Aku langsung berjalan ke dapur dan meneguk segelas air putih. Atensiku teralih ketika aku mendengar suara samar Erlan sedang berbincang dengan nenek di taman belakang. Ya, kemarin nenek melarangnya pulang dengan alasan ini sudah terlalu malam, jadi kemarin ia menginap disini. Jangan lupa A Julian yang meracuninya untuk bermain game semalaman.

Penasaran, aku mendekat ke arah pintu menuju taman belakang. Aku bersembunyi dan menguping, tidak ingin mengganggu Nenek dan Erlan yang sedang asyik mengobrol. Erlan sedang memotongi rumput sedangkan Nenek menyiram tumbuhan.

"ah, nenek jadi inget dulu sering kayak begini, si Kakek motongin rumput, Nenek nyiram bunga," kata Nenek.

Erlan tertawa, sangat cerah, "cie nostalgia, oh iya, Neng Raya suka cerita kalau kakeknya orang hebat," kata Erlan.

"memang, dia manusia paling keren yang pernah Nenek tahu, paling tangguh, paling gigih, paling keukeuh juga," kata Nenek, "buktinya dia mau sama Nenek dulu, Neneknya hampir dijodohin sama orang, tapi dia usaha dan akhirnya dapetin Nenek deh".

"wih, so sweet banget ya Kakek," kata Erlan.

Disini aku senyum sendiri mengingat cerita bagaimana perjuangannya beliau untuk meyakinkan orang tua Nenek agar merestuinya dengan nenek. Kakek berjuang mati matian karena dulu orang tuanya Nenek tidak percaya padanya karena Kakek bukan orang yang berada, pekerjaan Kakek hanya menulis.

"Kakeknya Raya itu penulis, enggak punya apa apa, makannya orang tua Nenek enggak bolehin Nenek sama dia," kata Nenek, "bahkan sampe kita nikah pun, awalnya susah karena naskah kakek banyak ditolak sana sini".

"ah, terus gimana Nek?"

"tapi dia usaha, dia percaya dan yakin sampai akhirnya ada satu penerbit yang nerbitin naskahnya dia, sampe novelnya laris dan difilmkan," kata Nenek, "yang orang tahu, dia orang nyeleneh yang hidupnya enak, tapi sebenernya cerita di balik itu yang bikin dia jadi hebat kata orang-orang".

"orang orang memang lihat apa yang mereka ingin lihat kan?" tanya Erlan.

"iya benar," kata Nenek, "ngomong ngomong Raya kamu mau sampai kapan nguping disitu?"

Aku terlonjak ketika mendengar Nenek memanggil namaku. Aku ketahuan menguping pembicaraan. Aku melangkah mendekati Nenek sambil ketawa garing.

"habis asyik banget ngobrolnya, yang cucu Nenek Raya apa Erlan?" tanyaku sambil menggembungkan pipiku.

"Erlan,"

"ih nenek mah,"

"kamu juga pelukan sama Bunda aku enggak marah," cibir Erlan.

"dih ai kamu," kataku, "eh, kamu ada kuliah enggak? Aku ada jam sepuluh".

"ada jam dua, yaudah nanti aku anter sekalian aku mau ke kosan," katanya.

Matahari PenuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang