Badanku benar-benar pegal dan ini semua karena oknum Kak Juan yang dengan seenak hatinya menarikku menuju projek jurusan. Asal kalian tahu saja, aku ini anaknya tidak suka kumpul-kumpul organisasi apapun, bahkan UKM pun tidak ada yang aku ikuti satupun. Bukan antisosial juga sih, ya semacam tidak nyaman berada di keramaian dengan tanggung jawab yang dibebankan. Mengurus diriku saja aku belum mampu, apalagi tanggung jawabku ditambah.
Dan sekarang dengan tidak tahu malunya Kak Juan selaku ketua mahasiswa fakultas tiba tiba menarikku untuk ikut andil dalam acara pameran fakultas yang notabene adalah prokernya anak anak HIMA. Alasannya dia bilang selama ini aku kurang berkontribusi di jurusan padahal niatku kuliah kan Cuma belajar. Jujur, aku malas sekali, harusnya sekarang aku sedang rebahan di rumah.
"Teh Raya, tadi ada yang nanyain Teh Raya," kata salah seorang adik tingkatku, Fira.
"siapa? Erlan?"
"ih ai Kang Erlan mah Fira juga tau, inimah anak laki laki tapi enggak kenal Fira juga, jol teh nanyain tahu Naraya ga ceunah".
"fans teteh kali ya?"
"dih pede," cibir Fira sambil kembali berkutat dengan kerajinan keramiknya.
Membeo Fira, aku juga kembali melukis diatas kanvas yang sebenarnya lukisanku sudah setengah jadi. Aku pegal, ditambah rasa haus membakar tenggorokkanku. Rasanya aku perlu rehat, sambil minum thai tea kayaknya enak.
Seolah semesta mendengar suara hatiku, satu cup minuman dari kedai kopi mahal, bukan thai tea jalanan yang sering aku beli, tiba tiba muncul di hadapanku. Aku mendongak untuk melihat siapa pemberinya, tapi seolah runtuh, dari banyaknya manusia yang aku kenal kenapa dia. Dia, tersenyum tanpa dosa sambil menyodorkan satu cup minuman padaku.
"loh, ini loh yang tadi nyariin teteh," kata Fira, "Fira jajan dulu ya teh sama Kia".
Aku mengangguki ucapan Fira kemudian kembali menatap wajah yang paling aku benci sealam semesta. Hatiku bergemuruh antara kesal dan takut karena di dalam studio ini hanya ada aku dengannya.
"kenapa tegang gitu," katanya, "gue kesini Cuma mau nyapa lo, Naraya".
Aku tidak bisa berkata kata, suara seolah diambil dariku. Lidahku kelu dan badanku menegang. Yang kulakukan hanya menatapnya dalam diam, dengan segala emosi berkecamuk di dadaku.
"Neng Rayaaa, eh"
Pandanganku yang tadinya tertuju ke arah Brian kini teralih ke pintu studio dimana Erlan sudah berdiri disana dengan senyum cerahnya. Seperti drama, waktu Erlan datang begitu pas, membebaskanku dari semua ketidaknyamanan ini. Aku tersenyum tipi kearahnya, melupakan fakta bahwa Brian sekarang masih berdiri di hadapanku.
"Neng, kata Juan boleh istirahat dulu, ayo makan bareng," kata Erlan, "eh, ai ini siapa Neng?"
Brian tersenyum remeh lalu menatap Erlan dari atas ke bawah kemudian tertawa mengejek. Aku benar benar kesal dengan perlakuannya. Sumpah semesta tolong halalkan aku untuk membunuh orang ini.
"ayo Lan, aku mau lotek di depan,"
"sejak kapan selera lo rendahan gini Ya?"
Sumpah aku kesal dengan kata katanya barusan, tapi lidahku masih kelu untuk hanya mengeluarkan hujatan. Lagi, yang aku lakukan hanya memelototinya.
"lotek enggak rendahan, enak kok, lo aja yang enggak tau," kata Erlan sambil tersenyum.
"yang gue maksud bukan makanan itu, tapi lo," sengit Brian.
Erlan tertawa, "iya enggak apa apa atuh gue rendah, yang penting gue tau porsi dan enggak jadi sok tinggi," katanya.
"terserah," kata Brian, "kita masih punya hal yang harus dibicarain, Naraya".