Bagian 12 : Lepas

492 45 13
                                    

Pundakku benar benar pegal, dari tadi aku coba buat keramik, tapi enggak ada yang bisa bikin aku puas dengan hasilnya. Sepertinya aku butuh rehat, jadi aku bangkit dari dudukku kemudian mencuci tanganku. Aku duduk di lantai studio keramik, aku benar benar lelah.

Pintu studio yang terbuka membuatku otomatis menoleh kesana, ada Kak Juan yang sedang berjalan ke arahku dengan ekspresi yang tidak bisa diartikan. Ia duduk di sebelahku, kemudian mengikuti arah pandangku ke langit langit studio. Sepertinya, aku punya hobi baru, yaitu liatin langit langit ruangan.

"maafin gue," kata Kak Juan.

Aku menoleh ke arahnya, "hah? Maksud lo apa?" tanyaku.

"pokoknya maafin gue," katanya, "oh iya, Erlan udah nungguin lo diluar".

Kata kata Kak Juan barusan hanya kubalas dengan senyum lemah. Aku berdiri kemudian merapikan rambutku. Aku mengambil jaket dan tasku kemudian berjalan keluar ruangan.

Sekarang aku sudah berdiri di hadapannya, manusia yang paling aku rindukan sekarang. Dai senyum, dengan rambutnya yang makin panjang dan kacamata yang bertengger di hidungnya. Dia tambah ganteng waktu pakai kacamata, jadi terlihat lebih kalem.

"kamu, enggak kangen aku gitu?" katanya.

Aku tidak bisa menahan diriku lebih lama lagi, aku berlari kecil ke arahnya kemudian memeluknya erat. Dia membalas pelukku sama eratnya. Aroma khas tubuhnya selalu membuatku tenang. Aku ingin memeluknya lebih lama, karena mungkin hangatnya peluk ini tidak akan aku rasa untuk waktu yang sangat lama sekali.

"mau kemana sekarang?" katanya sambil melepas peluk.

"braga? Pake ducati?" kataku.

Dia tertawa kecil kemudian menarikku ke rangkulannya. Selama perjalanan menuju tempat ducatinya terparkir, kami tertawa lepas, lebih banyak aku mentertawai guyonannya yang selalu berhasil melambungkan tawa. Seperti biasa, sebelum naik ke motornya, ia memakaikanku helm kemudian aku naik di jok penumpangnya, memeluk pinggangnya dari belakang.

Aku melirik jam tanganku, sudah pukul setengah lima sore. Aku dan dia duduk diatas motor diselimuti langit bandung yang menampilkan tiga perpaduan warna yang indah, jingga, biru dan merah muda. Aku menyenderkan kepalaku ke pundaknya, kalau bisa, aku enggak mau hari ini berakhir.

Bukannya ke Braga, aku dan Erlan malah jalan jalan di alun alun Bandung yang suasananya hangat karena lampu lampu disana sudah nyala. Aku dan Erlan duduk diatas rumput sintetis, melihat anak anak yang bermain bola sambil kejar kejaran.

"aku suka langitnya, kalau di Braga enggak ada tempat duduk," katanya.

Aku mengangguk kemudian menyenderkan kepalaku di bahunya, menyamakan pandanganku dengannya kearah langit dengan perpaduan warna yang sangat indah. Sudah sedari kemarin aku menguatkan hatiku untuk tidak egois, aku sudah sampai sini dan tidak mungkin mundur. Aku enggak bisa biarin manusia sebaik dia terus terusan sakit dan enggak bisa terus maju Cuma gara gara aku.

"banyak hal ajaib yang terjadi belakangan ini," katanya.

"apa?" tanyaku.

Dia berdiri kemudian menjulurkan tangannya, aku sambut uluran tangannya dan dia menarikku untuk berdiri. Aku tahu, dia mau bicara sambil jalan jalan karena Erlan memang bilang kalau ia suka bicara denganku sambil menggenggam tanganku, sambil jalan jalan. Aku dan dia jalan di sepanjang Asia Afrika, aku benar benar enggak mau hari ini berakhir.

"Ayahku tiba tiba datang, aku marah," katanya memulai ceritanya.

"beliau mirip kamu enggak?" tanyaku sambil terkekeh.

"enggak, aku beneran jiplakan Bunda kok," kata Erlan, "aku marah sama dia karena baru datang setelah sekian lama, tapi Bunda bilang aku enggak boleh menyimpan dendam sama dia karena mau gimana pun, dia ayahku".

Matahari PenuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang