Malam ini baik Jinan dan aku sudah kembali ke rumah, meskipun keaadan di rumah jadi super canggung. Makan malam yang biasanya dilakukan di meja makan, kini hanya dilakukan di depan televisi olehku dan Jinan sementara mama menyibukkan dirinya dengan membuat kue untuk toko rotinya. Papa tidak pulang, sudah ada dinas di luar kota, lagi karena memang tempat kerjanya berada di Bekasi sedangkan rumah kami di Bandung.
Aku dan Jinan sedang makan nasi goreng sambil nonton kartun di televisi. Sudah berkali kali aku cek ponselku, selama dua hari ini aku hilang kontak dengan Erlan. Terakhir kali aku kontak dengannya adalah pagi ketika ia mengantarku kuliah dari rumah Nenek. Setelah itu dia hilang bagai di telan bumi, aku bertanya pada temannya pun tidak ada yang menjawab. Apalagi Kak Juan yang Cuma membaca pesanku, dasar jahanam.
Setelah memakan nasi gorengku sampai habis, aku langsung beranjak ke kamarku kemudian merebahkan diriku. Jujur, setelah menyelesaikan masalahku dengan Brian, agak lapang rasanya dadaku, tapi kembali khawatir ketika Erlan menghilang tanpa kabar.
Tiba tiba saja telfon masuk dari Kak Juan, membuatku langsung otomatis terduduk. Buat apa manusia menyebalkan itu tiba tiba melefonku malam malam begini. Dengan ragu aku mengangkatnya.
"apa Kak?"
Lo dimana?
"rumah"
Ke rumah sakit sekarang, Bundanya Erlan wafat
"Kak, jangan bercanda lo,"
Apa untungnya gue bercandain semua ini?
Sambungan telfon yang diputus langsung oleh Kak Juan membuatku panik seketika. Aku mengambil hoodieku dan berlari ke kamar Jinan. Anak itu sedang duduk di atas kasurnya. Dari ekspresinya, dia kaget kenapa aku ada di kamarnya sambil menangis.
"kenapa Teh?" tanyanya sambil melangkah ke arahku yanng masih berdiri di pintu kamarnya.
"Bundanya Erlan meninggal Ji, anter aku ke RS,"
"oke, teteh tenang, pake maskernya,"
Jinan mengambil sebuah masker hitam dan memakaikannya di wajahku karena tidak mungkin aku menunjukkan wajah sembabku pada mama, ia juga memakaikan tudung hoodieku. Jinan juga mengambil jaket dan kunci motornya kemudian menarik tanganku untuk berangkat. Di ruang tamu ada mama sedang nonton televisi.
"Ma, Ji sama Teh Raya mau ke nenek, kata nenek masak banyak," kata Jinan.
"ke nenek terus, udah belajar?" tanya mama.
"udah kok," kata Ji, "Ji juga ambil les tambahan kan?"
"yaudah, hati hati,"
Selama perjalanan aku hanya diam dengan air mata yang terus mengalir karena panik. Setelah dua hari tidak ada kontak darinya sama sekali, yang kudapat adalah berita buruk dan itupun dengan perantara Kak Juan. Aku khawatir dengan keadaan Erlan sekarang, dia Cuma punya bundanya di dunia ini.
Sesampainya di rumah sakit, aku dan Jinan langsung berlari mencari keberadaan Erlan dan teman-temannya. Benar saja, di depan pintu ruang rawat bundanya Erlan, ada Kak Juan, Nata, Jeno dan Kiel juga Erlan yang sedang duduk sambil menundukkan kepalanya dalam. Melihatnya, lariku makin kencang.
"Lan?" kataku yang sudah membuka maskerku.
Erlan mendongak, "loh Neng Raya? Eh jangan nangis, kenapa?" tanya Erlan sambil berdiri dan menangkup wajahku.
"kalian ngobrol aja dulu, kita tinggal," kata Kak Juan sambil menarik Jeno dan Kiel.
"iya, ayo Jinan sama Babang Nata," kata Nata sambil merangkul Jinan.