Bagian 7 : Dia yang Enggak Punya Apa-Apa

223 44 6
                                    

Sudah tiga jam dan langit-langit kamarku masih saja jadi pemandangan yang mengasyikkan buatku yang sedang rebahan di sabtu siang ini. Banyak pikiran yang lalu lalang di otakku dan itu cukup membuatku kebingungan seperti sekarang ini. Otakku sedang terbagi, antara tugas kuliah, tugas akhir dan kelulusan yang semakin dekat dan juga Erlan.

Erlan, pemuda itu terakhir menghubungiku jam sepuluh pagi tadi, mengabarkan kalau dia akan jarang buka ponsel karena sedang bekerja sambilan dan memang sudah biasa buatku ditinggal Erlan seharian di hari sabtu karena pekerjaan sambilannya yang banyak. Aku tahu, uang hasil bekerjanya ia gunakan untuk pengobatan bundanya, karena kuliahnya dibiayai penuh oleh beasiswa. Hal yang selalu aku kagumi tentangnya, ia tidak pernah mengeluh, dia selalu berprinsip, jalani aja namanya juga hidup.

Kadang, aku berfikir dunia ini enggak adil, kenapa orang sebaik dia harus diberi hidup yang sulit. Dia pernah cerita keadaan keluarganya yang berantakan, ayahnya yang entah kemana, adiknya yang meninggal karena sakit yang dideritanya dan hingga bundanya yang sekarang sakit parah. Aku juga jadi sering bertanya pada diriku sendiri, apa dia pernah berfikir kalau dunia ini enggak adil?

Erlan pemuda itu, selain datang sebagai orang yang ku cap sebagai pacar yang aku sayangi, dia datang seolah jadi tamparanku tiap kali aku merasa kurang bersyukur. Gimana bisa dengan enggak tahu dirinya aku yang hidup enak, sering rebahan, masih punya mama, papa dan Ji kurang bersyukur, sementara Erlan yang hidupnya sulit begitu sering bersyukur. Dia itu positif, selalu bilang kalau Tuhan sedang melatihnya untuk lebih kuat karena pada dasarnya dia memang terpilih jadi orang yang kuat.

Fikiranku tentangnya yang cukup membuatku bingung adalah, apakah aku harus mengenalkannya pada Mama? Masalahnya, aku dan dia sudah menjalin hubungan semenjak tahun pertama kuliah, sudah hampir tiga tahun dan orang tuaku sama sekali belum tahu mengenai hal ini. Awalnya, aku yang enggak terlalu berekspetasi dengan hubunganku dengannya berfikir kalau hubungan ini tidak akan lama, tetapi seiring berjalannya waktu aku merasa nyaman dengannya, aku mau serius sama dia, toh umurku juga sudah bukan umur untuk main main bukan?

Yang aku takutkan adalah reaksi mama, karena papa tidak akan begitu peduli. Aku takut mama malah merendahkan Erlan tanpa mau tahu sebaik apa anak itu padaku.

Suara ponselku mengalihkan atensiku dari langit langit kamar. Kulihat nama Erlan di layar ponselku, dia menelfonku. Dengan semangat aku geser tombol telfon ke warna hijau, aku kangen dia sekarang.

Neng, lagi apa?

"lagi rebahan, kok bisa nelfon? Katanya kerja?"

Iya ini lagi istirahat, lumayan lama lah setengah jam jadi pengen nelfon aja gitu hehehe

Aku tersenyum, "bucin ih heran, ke rumah atuh kalau kangen mah," kataku tanpa sadar.

Neng? Emang boleh?

"ya boleh, kenapa enggak?"

Yaudah nanti malem aku mau kesana, mau dibawain apa?

"seserahan," kataku kemudian tertawa.

Aduh neng meuni beurat, belom siap akunya masih belom punya apa apa, gelar sarjana aja belom dicapai, nanti ya?

"iya, aku tungguin loh," kataku

Nanti mau dibawain apa atuh?

Matahari PenuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang