PROLOG

3.4K 201 25
                                    

Deru napas yang berat terdengar menggema. Darah segar terlihat mengucur dari keningnya, disatukan dengan sebuah keringat. Kedua mata berwarna merah darah itu terlihat lelah memandangi jalanan penuh pohon di depannya.

"Istirahat bentar. Nanti lanjut cari yang lain." ujar laki-laki dengan kemeja cokelatnya yang tampak kotor.

Halilintar meringis ketika obat merah itu menyentuh lukanya yang berada dikening. Demi apapun, Gempa melakukan itu tanpa aba-aba membuatnya cukup terkejut.

"Gem, sorry gara-gara gue-"

"Ngomong sekali lagi gua siram luka lo pake obat merah yang banyak ya." ancam Gempa penuh penekanan. Halilintar dibuat diam olehnya.

Halilintar menatap sendu pada pohon yang berada diseberang jalan. Sekarang mereka berdua terdampar disebuah taman tak jauh dari sekolah.

"Ibunya Taufan telpon gue kemarin,"

Gempa dengan lihai mengobati luka Halilintar pun sejenak melirik pada temannya. Dia memasang telinga, sembari fokus, sembari mendengar.

"Taufan gak pulang, Gem."

Sontak Gempa terhenti. Dia langsung menatap wajah Halilintar.

"Hilang?" Halilintar menganggukkan kepalanya.

Gempa menghela napas panjang, dia duduk sila di sebelah Halilintar. Tangannya memasukkan semua obat-obatan ke dalam ranselnya. Gempa menepuk pahanya sekali.

"Ya! Tandanya kita harus cari dia, tapi jangan sekarang."

"Terus kapan?"

Gempa melirik ke arah gedung sekolah yang masih bisa terlihat dari taman. Lampu-lampu berada di lantai tiga tampak masih menyala, kadang tiba-tiba redup. Gempa merasa ada yang aneh di sana, tepatnya ruangan organisasi yang berada di lantai tiga. Lampu di sana terus berkedip.

"Besok," Gempa memilih untuk melirik pada Halilintar.

"Kita bakal bawa Taufan dan yang lain pulang." nada suara Gempa menjadi berat, tampak urat dikeningnya muncul. Remaja itu marah, sangat marah.

Halilintar hanya bisa menatap penuh dengan sendu. Ia tidak bisa apa-apa sekarang.

"Gem, maaf ya, andai gue gak ngajak lo berdua buat selidiki sekolah. Pasti Taufan gak akan hilang," sesal Halilintar.

Gempa masih mendengarkan ocehan Halilintar, tangannya fokus untuk membuka air mineral yang masih tersegel, dia berujar, "Kalau lo nyesel, tolong bawa Taufan pulang."

Halilintar tergemap. Hatinya bergemuruh setelah mendengar permintaan Gempa.

"Gue...," Halilintar menundukkan kepalanya.

"Gue bakal bawa dia pulang." Kepalanya mendongak dan menatap tegas Gempa.

"Walaupun akhirnya gue yang mati."



>>>

EYYOOO cerita ini kembali lagi dengan versi rapi(menurut saya).

SENENG GAAAA

Selamat membaca🤭🤭🤭

TEROR ORGANISASI [Publish Ulang]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang