14. Seperti Biasa

912 139 37
                                    

2 Minggu kemudian

Mobil Mercy C200 putih mengkilap itu terparkir di halaman sekolah. Banyak atensi yang menuju pada mobil itu, ada beberapa siswa juga yang berdecak kagum pada mobil mewah dengan pastinya mereka tahu siapa pemilik mobil tersebut.

Sepatu converse hitam pekat itu menginjak tanah yang tak basah. Kaki satunya yang dibaluti gips berusaha untuk tak menginjak tanah, dia mengeluarkan dua tongkat yang membantunya untuk berjalan.

"Supra." suara bariton itu memasuki pendengaran Supra. Supra yang hendak turun dari mobil terdiam sebentar.

"Kalau ada kasus berbahaya seperti dua pekan lalu. Papa pastikan kamu dipindahkan sekolah, ke sekolah yang fasilitas dan keamanan yang ketat." Papanya berujar dengan penuh penekanan. Ayolah, siapa yang tak marah jika anaknya sekolah di sekolah yang berbahaya.

Supra mengembuskan napas pendek. "Belum tentu pelakunya dari lingkungan sekolah, Pa." katanya berusaha menyangkal.

"Papa tahu itu, tapi Papa gak mau tahu, keputusan Papa bersifat mutlak."

Supra menganggukkan kepalanya.

"Tuan muda, mari saya bantu-" supir yang sempat turun itu berusaha membantu Supra yang ingin turun. Namun telapak tangan itu diacungkan pada supir, berkata bahwa Supra tak perlu dibantu.

"Saya bisa sendiri."

Supra berjalan menjauh dari mobil yang mengantarnya sekolah itu. Dia tak suka, lagian kenapa sih dia pakai acara kecelakaan individu di simpang jalan dua pekan lalu. 'Kan harus segala diantar jemput oleh Ayahnya.

Supra melirik ke belakang melihat mobil Ayahnya sudah melenggang pergi dari perkarangan sekolah. Supra bernapas lega, setidaknya ia bebas selama di sekolah.

"Woy Sup!"

Tangan Frost merangkul pundak Supra. Dia menyapa dengan penuh semangat! Setelah seminggu pembelajaran dipaksakan secara daring, akhirnya mereka bisa kembali bersekolah dengan normal.

"Berat anjir." komen Supra.

Frost mendecih mendengarnya. "Halah, taik lu."

"Masih pagi ngomongnya gitu ya." tegur Glacier yang dari tadi cuma diam.

Lantas Frost dan Supra melirik pada Glacier yang tersenyum tanggung. Mereka malu ditegur oleh Glacier, mana masih pagi lagi, duh.

Mereka bertiga pun berjalan menuju tangga gedung kelas. Supra melirik pada tangga lalu pada dua tongkatnya sebagai penyanggah ketika ia berjalan. Ia berpikir, bagaimana caranya ia naik? Di rumah ia selalu saja di kamar, tak dibolehkan keluar.

Sementara Frost dan Glacier sudah naik sekitar lima anak tangga. Lalu mereka berhenti ketika sadar bahwa Supra sama sekali tidak ikut naik.

Anak kembar itu kembali turun dan berdiri di hadapan Supra.

"Tas sama tongkat lo kasih saja ke Glacy. Lo, gue gendong ke lantai dua." kata Frost dengan yakin.

Supra menatap aneh temannya. Gila, digendong menuju lantai dua. Apa kaki anak itu tidak sakit.

"Sinting. Kaki lo dibuat dari baja apa?" Supra membalas penuh sarkas.

Frost menyunggingkan senyuman licik. Dia memukul kakinya. "Jangan remehin kaki anak futsal ya!" katanya.

Frost langsung saja melepaskan dua tongkat dari Supra dan memberikannya pada Glacier, begitu juga ransel si Supra.

TEROR ORGANISASI [Publish Ulang]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang