"Aura!" panggil Putri yang menghampiri sahabatnya. Aura aura menengok sebentar lalu kembali duduk dengan tenang sembari menyesap Green Tea Latte pesanannya di cafe itu.
"Ra, semalem lo baik-baik aja kan? Lo gak ketakutan? Maaf yah, kalo aja gue tau malem itu bakal ujan gede banget gue bakal nemenin lo di rumah."
"Put, kalo gue kenapa-napa gue gak mungkin ada di depan lo dengan tugas dan laporan sebanyak ini," jawab Aura namun tak menghilangkan rasa cemas sahabatnya itu.
"Huaaa ... Lo lagi gak bohong kan?" Puput memeluk tangan Aura, matanya berkaca-kaca. Puput tahu kalo malam itu akan menjadi malam yang sangat traumatis untuk sahabatnya, namun Aura adalah gadis yang terlalu pandai menyembunyikan perasaannya. Putri tidak tahu kapan ia benar-benar baik baik saja atau sedang pura-pura tak apa-apa.
"Iya, i'm ok, Put." Aura tersenyum mengusap kepala Putri. Ia kembali melanjutkan tugasnya yang sempat tertunda. Memang yah, kuliah itu jauh lebih melelahkan daripada saat sekolah dulu. Bagaimana bisa ia harus membuat jurnal dan laporan sedangkan praktikum saja belum dilakukan. Ditambah semua itu harus ia kerjakan dengan tulis tangan. Sepertinya Aura mulai menyesali keputusannya mengambil jurusan biologi murni.
Gadis itu menghela napas, "Kalo lo khawatir, mending bantuin gue nulis laporan. Sumpah tangan gue berasa mau copot aja rasanya," keluh gadis itu. Putri bergidik melihat kertas HVS dan jurnal-jurnal yang berserakan di meja mereka, yang seharusnya didominasi oleh makanan atau paling tidak snack-snack ringan.
Baru saja hendak membuka mulut untuk protes, pintu cafe itu berdenting dan terbuka. Neta dan teman-temannya masuk ke cafe itu. Netra gadis itu sempat bertubrukan dengan iris coklat Putri, namun ia langsung mengalihkan wajahnya dan melangkah panik menuju meja teman-temannya. Aura yang melihat hal itu terdiam sambil mengangkat alis menatap sahabatnya bertanya.
"Lo ada apa sama Neta?" tanyanya mulai penasaran. Putri tersentak, ia kembali menghadap ke arah Aura. "Lo udah tau kalo Sena itu mantannya Neta?" Aura mengangguk. Baru kemarin Sena memberi tahu nya prihal mantan yang sulit dilupakan itu.
"Mereka putus karena Neta cemburu sama gue yang ada ditengah-tengah Panca sama Sena."
Dahi gadis itu berkerut tak paham. Putri mendesah pelan. "Dulu, Panca, Sena tuh udah jadi idola sekolah gue dan anak-anak tuh gak suka liat pertemanan mereka sama gue yang lebih terlihat kayak love triangel. Gak jelas banget gak sih, Ra," jelas Putri. Aura mengangguk paham, menunggu Putri melanjutkan ceritanya.
"Terus, datang lah Neta yang ramah dan easy going banget sama kita. Asik banget deh pokoknya, yah kita welcome lah, selain itu dia cantik banget. Gak canggung juga kalo ngobrol sama gue. Nah, ternyata saat itu gue tau niat Neta tuh mau pdkt."
"Awalnya Neta pdkt nya sama Panca, ehh gak tau kenapa bisa jadiannya sama Sena. Gue mah santuy-santuy aja kan, toh bukan urusan gue Neta pacaran sama siapa. Nah, lama-lama Neta jadi ngatur-ngatur Sena sampe ngelarang main sama gue. Bego nya si Sena nya bucin banget sama Neta. Akhirnya Neta jadi sering nongkrong sama Sena dan Panca tanpa ngajak gue. Nggak lama setelah itu, Neta mutusin Sena karena ngira gue ada apa-apa sama Sena. Gak jelas banget kan? Tiba-tiba gue jadi kambing item. Setelah gue minta kejelasan ke Neta, sedikit maksa sih, dia tiba-tiba minta maaf dan ngerasa malu banget sama gue dan Sena."
"Tapi Sena gak tau apa-apa, lo gak jelasin ke Sena?" tanya Aura.
"Neta minta gue nggak usah ngungkit itu ke Sena. Dia bener-bener nggak mau ada diantara persahabatan kita."
"Aneh."
"Abis itu Sena gagal move on sampe sekarang?" tanya Aura, Putri mengangguk.
"Lo tau yang lebih anehnya? Si Panca jadi tengsi banget sama Neta, dan kaya ada yang disembunyiin gak sih, Ra?"
Aura memasukan kertas yang berisi tugas-tugasnya kedalam map plastik berwarna kuning kemudian menatap Putri. "Aneh banget," komentarnya. "Udah lah, daripada ngomongin mantan orang yang gak ada urusannya sama gue, mending cabut ke kelas." Aura beranjak dari kursinya, keluar dari cafe itu.
"Ih, Ra. Tungguin elah!"
Namun langkahnya terhenti di depan pintu saat melihat seorang pemuda yang sedang duduk di halte sambil memainkan gitar dengan headphone yang tersemat ditelinganya. Garis wajah yang tegas, mata hitam kelam, dan kulit putih pucat yang sangat ia kenal itu membuat Aura membatu seketika. Tenggorokan nya tercekat tak mampu mengeluarkan suara. "Ha ... H ... Haz ...."
"Ra, lo ngapain ngelamun depan pintu?" Aura tersentak menengok ke arah Putri yang sudah berdiri di sebelahnya menepuk bahunya. Ia kembali melihat Halte di sebrang jalan itu. Tidak ada siapapun di sana, juga orang itu. Apa Aura berhalusinasi lagi?
"Kayak nya gue udah harus konsul lagi ke dokter Angga lagi deh," gumam Aura sembari menghela napas.
****
"Jadi begitu, Dok." Aura menatap dokter Angga, psikiater yang Sudah setahun ini ia datangi untuk konsultasi.
"Kamu bertemu Hazel lagi semalam dan pagi tadi di sebrang kafe?" tanyanya memastikan. Aura mengangguk seadanya, ia meremas jari tangannya gelisah, apa mungkin skizofrenianya semakin menghkawatirkan. Dokter Angga terdiam sembari menfokuskan tangannya menulis sebuah resep obat.
"Saya rasa, kamu hanya sedikit lelah karena kuliah. Saya sudah menulis beberapa resep yang harus kamu berikan ke apoteker di bawah." Aura kembali mengangguk menerima kertas berisi resep obat itu.
"Oh iya, Aura. Jangan terlalu memikirkan masa lalu. Karena ada masa depan yang harus kamu jalani, kamu juga punya sahabat dan teman yang baik, berjuanglah bersama mereka." Dokter Angga tersenyum hangat. Aura sedikit tersentak dan terenyuh dengan nasehat dokter Angga. Yah, mungkin belakangan ini kesendirian di rumahnya membuat dirinya terlalu memaksakan diri.
"Selalu rutin minum obat, ya. Saya harap kamu bisa menemukan kebahagiaan kamu."
"Terima kasih dokter." Aura menutup pintu ruangan itu. Gadis itu menghela napas pelan. Kenapa setelah sekian lama nama 'Hazel' kembali terbesit di bayangannya. Aura melangkah menuju lift untuk ke apotek di lantai satu. Ia menekan tombol lift itu. Pintu lift hampir menutup jika tidak ada tangan yang mencegahnya. Seorang pemuda berperawakan tinggi dengan almamater yang sama dengan almamater kampunya berlari terengah-engah masuk ke dalam.
"Sorry," ucapnya pada Aura. Aura tersentak.
"Ehh, iya. Lantai berapa?" tanyanya hendak menekan tombol lift.
"Lantai satu," jawab pemuda itu.
"Oh sama." Aura menurunkan tangannya.
"Lo kuliah di UPJ?" tanya Aura membuka obrolan.
"Ehh, iya. Lo juga? Jurusan apa?" jawab pemuda itu.
"Biologi."
"Wahh kalo gue Psikologi tahun kedua. Tadi gue abis ngirim tugas ke dosen gue yang kerja di sini heheh. Ehh maaf lo gak nanya yah?"
Aura tergelak orang ini ternyata kakak tingkatnya. "Gak apa-apa kok Kak. Saya Maba, BTW."
"Gue-lo aja. Gue gak mau keliatan tua banget," timpal pemuda itu.
"Oh iya, nama lo siapa? Gue Heksana." pemuda itu menjulurkan tangannya di depan Aura mengajak berkenalan.
"Aura," jawab Aura menyalami kakak tingkatnya. Lalu melepas sesi jabat tangan itu.
Pintu lift terbuka, mereka berdua keluar bersama dari lift itu. "Kalo gitu saya duluan. Permisi Kak."
"Ehh tunggu!" Aura menghentikan langkahnya berbalik ke arah Heksa yang memanggilnya.
"Eumn gak jadi deh. Semoga kita ketemu lagi, Aura." Heksa tersenyum manis sembari melambaikan tangannya dan berjalan menuju pintu keluar.
"Kalo gue minta nomor dia kayaknya bakal aneh, Deh." gumam pemuda jangkung itu meneruskan langkahnya menuju parkiran
****
Yang singkat-singkat saja..
KAMU SEDANG MEMBACA
Aurasentris
Romance(Slow Update) Ini kisah tentang rasa yang tak pernah ada tetapi memaksa masuk tanpa mengetuk. Tentang logika akan cinta yang sebenernya hanya bualan biasa, yang hanya ada di setiap persimpangan kehidupan. Tentang persahabatan tanpa perasaan yang mus...