07 [ Udah Gila?!]

25 6 1
                                    

Putri tak henti-hentinya memikirkan perkataan Panca dan tindakan implusifnya itu. Ia merasa sudah gila dengan memeluk Panca seperti itu, meski tidak bisa disebut pelukan karena Putri memeluknya dari samping. Tapi tetap saja dia sudah berbuat salah,  kalau Panca jadi canggung nantinya gimana? Wajah gadis itu merona mengingat muka lesu Panca malam itu dibawah pancaran sinar lampu taman. Kyaaa! ganteng banget!!! Gadis itu membenturkan kepalanya pelan ke meja, "Kayaknya gue udah gila."

"Gila kenapa?" tanya Aura yang baru saja melihat sahabatnya datang dengan wajah yang sudah panik dan bersemu merah itu. "Lo abis ketemu siapa, sih? Segitunya banget."

"Ra, lo tau gak? Sakitnya tuh di sini." Putri menunjuk-nunjuk dadanya berseru heboh.

"Kalau dia dengar suara jantung gue gimana? Ihh bego banget lo Putri."

Aura memutar bola matanya jengah, kepalanya sudah tak pusing lagi. Tapi kini sahabatnya datang dengan tidak jelas blushing dan ambyar tidak karuan seperti itu. "Lo lagi ngomongin siapa sih? Emang tadi ketemu siapa?"

"Sialan banget sih manggil gue pas lagi galau gitu. Kan gue nya gak tega!!" Putri kembali merancau tidak jelas. Tak menggubris pertanyaan Aura.

"Mana mukanya minta dibelai lagi. Teduh banget matanya, ternyata makin dewasa pesonanya makin kuat aja sialan!!"

"Istigfar, Put!"

Putri memang tak memberitahu siapa orang itu. Tetapi, satu hal yang Aura ketahui saat ini, kalau Putri sedang menyukai seseorang dan sepertinya tak ada kesempatan untuk Panca kalau sudah begini.

"Lo ngapain ke rumah gue?" tanya Aura akhirnya, daritadi dia hanya mendengar rancauan sahabatnya itu.

"Ahh iya, kan, gue sampe lupa. Lo tadi sore kenapa?? Bisa-bisanya sakit kayak gitu. Maaf yah bikin lo kepikiran soal urusan kita dulu."

Aura terdiam, ia menatap tangannya dengan pandangan kosong. "Maaf, sebenarnya bukan karena itu. Lo tau kan gue punya skizofrenia?"

"Astaga jadi tadi lo kambuh? Kok bisa?!"

"Gue liat Hazel dua kali, Put. Gue yakin banget kalau Hazel itu cuma ilusi gue aja. Tapi tadi dia ada di panggung. Udah jelas Marcel manggil dia Okta, tapi kenapa yang gue liat malah Hazel."

"Tapi, Ra. Bisa aja kan kalo lo itu nggak halusinasi? Siapa tau aja Hazel itu emang beneran Okta. Gimana kalo kita tanya Marcel?" usul Putri. Aura menimbang perkataan Putri barusan. Ada benarnya juga, tapi bagaimana kalau ternyata memang orang itu adalah Okta, bukan Hazel. Aura sebenarnya tak ingin mempermasalahkan hal ini lebih jauh lagi. Tapi hati kecilnya sedikit berharap kalau Hazel benar-benat ada dalam kehidupannya.

"Kayaknya malem ini bakal hujan lagi deh, gue nginep aja kali yah di rumah lo."

Ah iya, benar juga. Kalau malam ini benar-benar hujan, mungkin saja ia bisa bertemu Hazel meski sangat beresiko. "Lo pulang aja, Put. Lo tahu kan, nyokap lo gak suka sama gue. Lagipula gue bener-bener mau sendiri dulu."

"Gak! Gue udah bilang bokap, Kok. Lo gak usah gak enakan. Pokoknya gue nginep. Gak terima penolakan." kukuh Putri. Kalau Putri sudah bilang begitu, Aura sudah tak punya alasan untuk menolak.

"Yaudah, lo ada kuliah gak nanti pagi?" tanya Aura.

"Ada, jam setengah delapan. Kalo lo?"

"Gue siang jam 1, nanti kalo mau berangkat, duluan aja. Gue mau bangun siang. Gue ke kamar dulu, lo kalo mau bikin sesuatu ambil aja di kulkas sama bupet." Aura beranjak ke kamarnya, ia menghentikan langkahnya saat menginjak tangga rumahnya. "Lo lagi suka seseorang?" tanya Aura.

"Ah, itu ...," gumam Putri.

"Lo gak perlu ngasih tau gue siapa orangnya, kalo lo masih belum yakin."

AurasentrisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang