📚Tanggung jawab kau!

2.5K 58 4
                                    


"Kak, aku hamil," lirih gadis itu kepada pria berpakaian hitam dengan air mata.

Adit yang mendengar itu langsung berdiri menghadap Kaira. "Nggak! Itu bukan anakku!"

Kaira menangis tersedu-sedu saat Adit mengatakan itu. Ia memegang tangannya penuh harap. "Ini anakmu, Kak. Kamu yang udah kotorin aku beberapa bulan lalu, kamu harus tanggung jawab!"

"Nggak! Aku nggak akan tanggung jawab. Lagian ini bukan anakku pasti." Adit menepis tangan seseorang yang sudah menjadi kekasihnya selama beberapa bulan itu dengan kasar. Setelah itu, ia pergi meninggalkan Kaira sendirian.

Gadis itu terduduk lemas, sesekali memukul-mukul perut ratanya. Kegadisan yang susah payah ia jaga kini telah rusak. Kaira kotor, tidak suci, tidak perawan!

Ia tidak pernah mengharapkan bermain cinta dengan kekasihnya itu. Sudah beberapa kali Kaira menolak keinginan kekasihnya. Namun, itu semua berujung pada Adit yang memberikan minuman kepada Kaira. Saat Kaira membuka mata, ia sudah tidak berpakaian.

Apa yang harus ia lakukan? Pulang ke rumah, dan mengatakan semuanya kepada Mama dan Papa? Apa yang mereka akan lakukan. Mereka akan malu punya anak seperti Kaira.

Gadis itu berlari mengejar Adit yang semakin jauh dari pandangan.

Saat sudah dekat, ia terduduk memegang kaki Adit yang ingin pergi. "Kak, aku mohon, jangan pergi. Tanggung jawab, Kak."

Brak!

Sekali lagi Adit mendorong Kaira sehingga perempuan yang berstatus masih SMA itu tersungkur ke lantai. Ia memang melakukan itu. Tapi, tidak pernah meminta pertanggungjawaban.

Adit sedikit melihat Kaira yang tersungkur sembari memegang perut. Ia pun berlari meninggalkan Kaira yang pasti sebentar lagi sudah ramai orang menolong.

***

Membuka mata, gadis itu langsung duduk saat semua pandangan menatapnya. Hal pertama yang ia lihat adalah rumahnya. Bisa jelas terlihat kemarahan Mama dan Papa dari penglihatan Kaira. Apa mereka sudah tahu?

Kaira meneguk ludah payah saat Papanya mendekat.

"Pa, aku-"

"Oh, jadi ini kelakuan kamu diluar? Kami capek-capek biayai kamu sekolah, dan kamu malah enak-enakan. Sekarang mau gimana, benihnya udah tumbuh. Apa mereka mau tanggung jawab sama kamu, hah?!" Papa Kaira memaksa anaknya berdiri lalu menunjuk-nunjuk muka Kaira.

"Pa, aku-"

"Aku nggak perlu penjelasan dari anak tidak tau malu kayak kamu. Siapa ayah dari calon bayi kamu ini? Cepat jawab!"

Kaira menangis tersedu-sedu, sesekali ia menatap Mamanya yang hanya diam saat Papanya berkali-kali menampar. Gadis itu berharap Mamanya membela ia. Tapi percuma, itu hanya angan-angan semata.

Kaira hanya bisa terdiam saat Papanya mengatakan hal tersebut. Apa ia harus mengatakan jika Adit pergi meninggalkannya? Jadi apa ia nanti?

Papa yang tidak mendengar jawaban dari Kaira, murka. Ia pergi dari hadapan anaknya lalu memasuki kamar.

Kaira merangkak, menahan sakit di sekitar tubuh karena hantaman Papanya itu menuju Mamanya yang menahan tangis. Ia memeluk lutut Mamanya sembari gemetar.

"Ma, dia kasih aku minuman. Aku nggak salah. Aku nggak mau lakuin itu, Ma. Tolong ... aku."

Brak!

Pandangan mereka yang saling bertautan, beralih menatap Papa yang kembali dengan membanting koper tepat di belakang Kaira. Sejenak, suara tangisan Kaira terhenti.

"Pergi kamu. Aku nggak mau liat kamu di sini. Kamu udah buat malu keluarga kita, Kai. Cepat pergi!" bentak Papa sembari menarik rambut Kaira yang sedang memeluk lutut Mamanya. Sehingga Kaira pun terlempar beberapa meter.

"Kamu bukan anak Papa Mama lagi sekarang, Kai," lanjut Papa yang membuat Kaira seakan mati rasa. Jantungnya seakan mencelos keluar.

Saat Papanya ingin mengambil koper, Kaira menahannya dengan tangan. "Pa, percaya sama aku. Dia memang nggak mau tanggung jawab. Tapi, ini bukan salahku, Pa. Ja-jangan usir aku. Kalo Papa usir aku, aku mau kemana, Pa? Aku nggak punya siapa-siapa, aku enggak punya ua-"

Plak!

Tamparan kesekian kali dari Papa membuat Kaira terdiam seketika. Sesaat setelah itu, Papanya menyeret Kaira keluar rumah dengan paksa.

Di sela-sela itu, dengan permohonan Kaira berkata. "Ma, jangan .... "

Namun, sepertinya Mama Kaira pun sudah ikhlas jika anaknya pergi dari rumah. Lihatlah, ia tak melakukan apa pun saat Kaira di usir dari rumah.

Setelah Papa menutup pintu rapat-rapat, Kaira terduduk sembari sesekali mengetuk pintu rumah mewahnya.

Ia tidak ingin ini terjadi. Tidak! Gadis itu terduduk lemas sembari memegang perut ratanya.

"Ka-kak, aku nggak kuat. Tolong adikmu," lirihnya hampir tak terdengar.

Kemana kita jika orangtua tak menerima lagi? Kita yang selalu bergantung dengannya. Kini, bagaimana? Kita saja tidak pernah mencari uang. Bagaimana Kaira bisa hidup setelah ini, bagaimana?

Kaira yang manja dan selalu disayang kedua orangtuanya, kini kemana kebahagiaannya itu?

Siapa yang akan menolongnya, jika kedua orangtuanya saja tidak menganggap Kaira anak mereka lagi ... bagaimana?

***

7 bulan kemudian ....

"Kai," panggil Adit. Kaira yang sedang bengong pun menoleh.

"Iya?" jawab Kaira sembari melontarkan pertanyaan.

"Ini minuman buat kamu." Adit yang tadi ke dapur itu duduk di samping Kaira sembari menatap hembusan angin pagi. Ia memberi segelas minuman orange yang membuat Kaira penasaran.

"Minuman apa ini, Kak?" tanya Kaira sembari memutar-mutarkan gelas beling itu.

"Itu jus jeruk yang aku pesan tadi."

Kaira tersenyum mendengar jawaban Adit. "Seharusnya Kakak nggak usah repot-repot beli ini. 'kan aku ke sini, cuma minta buat ajari PR," ucap Kaira sembari melahap minuman itu sampai setengah.

'Belajar, ya? Bukan kencan.' batin Adit sembari menatap wajah teduh nan polos Kaira yang sedang melanjutkan tulisannya.

Melihat Kaira yang sudah memegang kepala, pria itu bergumam pelan. "Maafin aku, Kai."

Tepat setelah mengumamkan itu, Kaira jatuh pinsan di pelukan Adit.

***

Gadis itu membuka matanya perlahan, menatap lampu putih yang dihiasi lampu-lampu kecil. Ini tempat asing baginya. Ia duduk, melihat sekitar dengan aneh. Merasa seakan ada yang aneh pada dirinya, Kaira terkejut.

Ia terkejut saat tahu dirinya hanya ditutupi selimut tanpa sehelai pakaian. Pikiran kotor menghampirinya.

Derapan langkah kaki, membuat Kaira menoleh.

"Kakak? Apa yang Kakak lakukan?!" teriak Kaira sembari mengeratkan selimut ke badannya.

Gadis itu mengusap air mata, saat tak sengaja kilas balik itu memutar. Kaira berusaha menahan tangis selama berbulan-bulan. Ia kuat hanya karena anak yang sedang dikandungnya.

Kaira menganggap Adit tidak lebih dari Kakak teman belajarnya. Teman belajar yang selalu mengajarkan dia. Tapi apa? Saat Adit mengajak pacaran, gadis itu hanya mengangguk. Sebenarnya ia pun tidak tahu apa arti pacaran.

Kaira merutuki kenapa dirinya sungguh polos!

'Tidak, Kai. Kau harus kuat, demi anakmu.' batin Kaira sembari lagi-lagi menghapus air mata yang menghiasinya selama ini.

Hilang Mahkota, Masih SMA (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang