📚Melamar

813 38 4
                                    

Gadis itu tersenyum senang, menatap dirinya dibalik pantulan kaca spion. Kaira memegang bahu pemuda yang memboncengnya.

Sudah hampir 10 menit mereka berkeliling tanpa tujuan. Kaira merasa jenuh dan pusing karena di rumah terus. Jadi, sahabatnya, Rafka mengajak berkeliling dengan motornya.

"Gimana, udah hilang pusingnya?" tanya Rafka sembari mempercepat laju kendaraan.

"Udah. Btw, jan ngebut-ngebut banget, Raf. Takut," celetuknya sembari menunduk.

Seperti yang sudah dibilang. Rafka dengan keluarga Kaira sangat dekat. Mudah baginya untuk mendapat izin mengajak Kaira jalan-jalan. Bagai, mereka sudah memberi kepercayaan penuh terhadap pemuda itu.

Rafka terpaksa menurunkan kecepatan motornya, sesekali pria itu melirik kaca spion yang menampakkan wajah ayu Kaira. Hati Rafka merasa berdesir cepat.

"Coba, deh, kamu berteriak kenceng. Jangan pikirin tentang apa yang akan terjadi ke depannya. Pasti, beban kamu ilang." Ya, karena hari sudah tengah malam, jalanan lenggang. Jika jalanan ramai, bisa-bisa jadi viral Kaira.

"Boleh? Malu, ih."

Rafka hanya tertawa menanggapi celotehan Kaira. Mereka memang berteman sejak dahulu. Namun, sifat gadis itu tidak pernah berubah. Yaitu, malu dan gengsian.

Lagi, Rafka melihat wajah teduh itu. Tiba-tiba saja ekspresi Kaira berubah seketika. Pria itu pun langsung meminggirkan motor.

"Ke–kenapa, Kai?" tanyanya panik sendiri.

"Raf, ini perut aku mules banget, Raf. Aduh, kayaknya dia mau keluar ini," jawab Kaira dengan muka yang jelas sedang menahan kesakitan, sembari memegang perutnya yang sangat besar itu.

"Hah?! Emang kata Dokter udah harinya?"

"Nggak tau–aku. Ini sakit bener ... Raf, cepetan, aku nggak kuat."

"Ih, iya. Kamu bisa 'kan naik motor sampe ke rumah sakit?"

"Iya, cepet." Kaira meneguk salivanya payah sembari menepis keringat dingin yang membanjiri.

Cepat, Rafka melajukan motornya dengan perasaan yang berkecamuk.

---0o0---

Sampai. Pria itu langsung memanggil Dokter dan membawa Kaira dengan brankar. Saat Kairs telah memasuki UGD. Rafka tidak diperbolehkan masuk. Terpaksa ia menunggu di luar ruangan itu.

Memang, kandungan Kaira sudah besar. Namun, tak pernah telintas di pikiran Rafka untuk bertanya sudah masuk bulan berapakah usia kandungannya itu. Pria itu menutup wajahnya dengan kedua tangan.

"Maaf, Mas."

Rafka terkesiap. Ia mendongak, menatap perempuan cantik berseragam perawat itu dengan mengernyit.

"Mas siapanya pasien?"

"Sa–saya ... saya suaminya pasien."

***

Setelah melengkapi syarat. Rafka diberitahu jika Kaira mungkin sebentar lagi akan melahirkan. Karena itu, ia sekarang sedang menghubungi Fajar.

"Hallo, kak Fajar," katanya saat sudah terhubung dengan sesosok di seberang sana.

"Iya, kenapa, Raf? Kaira baik-baik aja, 'kan?"

"Kaira di rumah sakit, dia mau melahirkan."

"Apa?! Pa, Ma. Kaira mau melahirkan, kata Rafka." Rafka sedikit lega saat itu.

"Di mana rumah sakitnya?"

"Rumah sakit di seberang in***, Kak."

"Oke, kami otw." Fajar menutup teleponnya secara sepihak.

Pria gagah itu berdo'a supaya Kaira, gadis yang selalu ia dambakan dan sukai dari dahulu itu baik-baik saja. Kaira, maupun calon bayinya.

Rafka bersedia jika ia yang harus menggantikan posisi pria breng*ek itu menjadi ayahnya bayi Kaira.

Tinggal menunggu Kaira yang siap untuk menerimanya saja.

***

Sudah beberapa menit Kaira di dalam. Terdengar suara jeritan Dokter, Suster serta Kaira beriringan.

Selang beberapa menit, suara tangisan bayi memecah keheningan. Refleks, Rafka berdiri dari kursi. Menunggu seseorang keluar dari ruangan itu.

Benar dugaannya. Dokter keluar dari sana.

"Dok, gimana?" tanya Rafka menghampiri Dokter itu.

"Alhamdulillah, anaknya sudah lahir dengan keadaan sehat. Jenis kelaminnya perempuan. Saya permisi dulu."

Pria itu langsung memasuki ruangan tempat Kaira berada. Tampak, wanita teduh itu tersenyum lemah melihat Rafka.

Akhirnya, Rafka bisa bernapas lega. Kaira selamat. Ia hanya mementingkan itu saja. Pria itu berjalan menuju Kaira yang berbaring di atas brankar. Mata Rafka kadang-kadang melirik ke bayi perempuan yang sangat kecil di brankar satunya itu.

Tanpa sadar, pria itu tersenyum.

"Raf," panggil Kaira.

"Iya?"

"Aku mau minum."

Rafka mengangguk, segera ia mengambilkan minum untuk sahabatnya. Pria itu membantu Kaira untuk duduk.

"Kamu gapapa, 'kan?" Rafka ingin memastikan itu.

"Nggak papa."

Pria itu bungkam sesaat. Ia masih setia berdiri di sebelah Kaira yang bingung, kenapa tiba-tiba Rafka terdiam.

Biasanya juga ia akan menanyakan ini, itu.

'Mungkin ini saatnya.' batin Rafka sembari memain-mainkan ujung bajunya. Berkali-kali pria itu menarik napas sedalam-dalamnya.

"Kai, aku .... " Bagai keluh lidahnya untuk melanjutkan omongan. Membuat Kaira mengernyitkan dahi bingung.

"Iya, lanjutin," sahut Kaira masih dengan menatap muka temannya yang menunduk terbeku.

Rafka menghela napas. Semula yang menampilkan ketakutannya kini berubah menjadi keberanian. Sudah beberapa hari ia menginginkan hari ini. Jika tidak bisa, namanya bukan Rafka.

"Aku punya sesuatu untuk kamu," ungkap Rafka. Kaira tidak bergeming, menunggu ia melanjutkan bicaranya saja.

Rafka mengambil sesuatu dari kantung celananya, sebuah kotak kecil yang diyakini Kaira adalah kotak cincin. Pasalnya, Kaira sering dibelikan itu oleh kakak atau mamanya.

Jantung gadis itu berdesir saat beberapa kemungkinan muncul di benak. Apalagi saat Rafka menjulurkan tangannya yang memegang kotak cincin itu tepat di depan muka Kaira.

"Kai, aku mencintaimu lebih dari apa pun. Aku siap untuk menjadi ayah dari bayi kamu. Jika kamu mau menerima cincin ini, berarti kamu mau untuk bersamaku."


Please, komen untuk bab ini yaaa

Hilang Mahkota, Masih SMA (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang