Prolog

16 3 0
                                    

"Kak Ren, banguuun."

Gadis 17 tahun bernama Serena Habiba itu menggeliat diatas tempat tidurnya.

"Kak Reeeen."

Terdengar suara rengek Rita, Adik Rena yang baru berusia 10 tahun, sebal karena kakaknya susah dibangunin. Ini efek begadang tadi malam karena hari ini ada uts Kimia.

Rena tersenyum gemas melihat Rita yang kesal.

"Iya ini bangun, udah mandi belum?" Dengan suara khas orang bangun tidur, ia membelai rambut adiknya dengan lembut.

"Belum, itu ibu udah mau berangkat kerja."

Rena beranjak dari tempat tidurnya. Ibunya sedang memasang sepatu yang tampak usang tepat di depan pintu. Rena menepuk pundak ibunya dengan pelan.

"Bu, jangan sampai kecapekan lagi, habis pulang sekolah biar Rena aja yang lanjutin kerjaan ibu."

Lia, Ibu Rena penyandang tunawicara sehingga setiap berkomunikasi harus menggunakan bahasa isyarat atau biasanya Lia menggunakan sticky notes ketika lawan bicaranya tak mengerti bahasa isyarat.

Ibunya pun membalas menggunakan bahasa isyarat, ditambah dengan mimik muka yang menampilkan beberapa ekspresi sesuai dengan kalimat yg dikeluarkan.

"Ibu udah gak papa, itu ibu siapkan telur dadar buat sarapan, cepat sana ke sekolah antar adekmu, jualannya ibu taruh dikeranjang. Ya udah salim dulu."

Rena mengangguk.

"Rita. Salim dulu ndang sama ibu."

"Iya." Teriak adiknya

***

Jarak sekolah Rita dengan rumah mereka cukup dekat sekali hanya berjarak sekitar 30 meter saja. Yah bisa dibilang letaknya dipinggir jalan, tinggal jalan ke depan gang belok kanan sedikit sampe deh.

Setelah selesai mengantarkan adiknya ke sekolah. Rena pun berangkat menuju sekolahnya menggunakan kendaraan beroda dua.

Ia bersyukur bisa memiliki motor matic meski motornya hanya seken yg dibeli dengan harga murah, setidaknya masih bisa dipakai.

Setibanya di sekolah Rena berjalan menuju kantin tak lupa membawa keranjang berisi kue dan gorengan yang akan ia jual dan dititipkan di kantin.

***

Nindy, membuka pintu kamarnya dengan malas,

Pemandangan yang menjengkelkan, pikirnya ketika matanya melihat tiga orang dewasa tengah asyik bercengkrama di meja makan.

"Makan dulu." Ajak Eni, siapa lagi kalau bukan Ibunya Nindy.

"Hmm."

Nindy membalas dengan jutek. Ia duduk dan mengunyah nasi goreng dengan khidmat. Eni berdehem, bersiap membuka obrolan yang sering membuat Nindy naik pitam.

"Nindy tau gak? Kakak mu semester ini nilainya dapat A semua." Ujar Eni dengan mata berbinar.

Rahmat, Ayah Nindy pun tak lupa menambahkan, dengan nada bercanda tapi tujuannya menyindir Nindy.

"Nah tu Nin, coba contoh kakakmu, padahal waktu SMA kakak mu gak pernah les tapi nilainya selalu bagus. Kamu les kok nilainya tetap segitu-gitu aja."

Nindy memasang muka bete, hal inilah yang paling dibencinya. Orangtuanya selalu mengagung-agungkan nilai dan selalu membandingkan dirinya dengan kakaknya.

Sofia, Kakak Rena merasa tak enak hati pada adiknya.

"Udah sih pah, kan setiap orang kemampuannya beda-beda." Sofia mencoba mencairkan suasana.

Become the ChangeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang