12

3 1 0
                                    

Tok.. Tok.. Tok..

"Masuk."

Siswa bernama Serena Abiba itu segera masuk dan menutup pintu dengan perlahan.

"Ada apa ya Pak?" Tanyanya bingung

"Bapak udah tau semuanya, kemarin Bapak berkunjung ke rumah sakit tempat temanmu dirawat. Dia sudah menceritakan semuanya."

Gadis itu mengerutkan dahinya, masih belum paham maksud tujuan dari Pak Mukhtar.
"Pembatalan pencabutan beasiswa SPP mu. Kenapa gak bilang kalau bukan kamu yang merokok?"

"Ha yang bener Pak?" Tanya Rena dengan excited.

"Kalau masalah itu, saya cuman punya firasat kalau teman saya lagi ada 'sesuatu' dengan orangtuanya." lanjutnya.

"Oh begitu. Lain kali kalau kamu atau temanmu ada masalah segera lapor.  Jangan dibiarkan."

"Siap Pak."

"Ya sudah nanti sampaikan surat ini ke Ibu mu."

Rena mengambil surat dimeja Pak Mukhtar.

"Baik Pak. Terima kasih banyak. Saya ke kelas dulu."

***

Reza mengajak Nindy ke restoran milik keluarganya. Ia tak bilang bahwa restoran tersebut milik keluarganya.

"Za lo beneran mau traktir gue disini? Mahal loh?"

Dari awal masuk kafe hingga bokongnya mendarat dikursi mata Nindy tak henti-hentinya menjelajahi seisi ruangan. Interiornya yang begitu mewah sangat memanjakan mata.

"Loh tadi katanya mau bikin gue miskin?"

"Astaga, Gue bercanda doang."

"Pesan aja sepuas lo. Gue gak bakal miskin."

"Dih sombong amat. Awas ya lo nyesal."

"Gak."

Nindy membelalakkan matanya, ia tak sanggup melihat daftar menu dengan harga selangit. Matanya meneliti harga menu berharap ada makanan dengan harga terjangkau.

Tangannya berhenti pada salah satu harga menu yang paling murah, dengan harga 100 rb, ketika melihat menu makanannya Nindy begitu syok. Bagaimana tidak syok, 100 rb untuk satu porsi singkong goreng? Nindy bertanya-tanya apakah singkongnya ditanam dari tanah surga? 

Ia pun segera membalik buku menu, melihat list-list minuman. Tiba-tiba saja kepala Nindy menjadi pusing, bagimana tidak? Minuman yang paling murah saja harganya 40 rb. Apakah airnya mengambil dari pegunungan asli?

"Za ganti tempat yuk." Ajaknya, Ia merasa tak nyaman direstoran tersebut.

"Udah pesan aja, gue udah pewe di sini."

"Tapi ini mahal banget. Anj*r singkong goreng aja sampe 100 rb, itu singkong nanamnya di taman surga ya?"

Reza terbahak mendengar kalimat gadis berambut sebahu itu.

"Tenang ini resto punya bokap."

Gadis didepannya menganga lebar sedangkan pria dihadapannya hanya tertawa.

"Pantes ya dari tadi lo santai banget."

Akhirnya Nindy hanya memesan satu
nasi goreng dan satu gelas thai tea, ia sungkan untuk memesan lebih dari itu.

Selang beberapa menit, Pria dihadapannya berdehem. Kakinya sedari tadi tak tenang, jari tulunjuknya terus saja mengetuk-ngetuk meja.

"Lo kenapa sih dari tadi kaya cacing kepanasan." Nindy menghentikan acara makannya sebentar.

Pria itu berdehem sekali lagi.

"Nin, sorry ya yang tadi. Sumpah gue gak sengaja matahinnya. Gue janji bakal ngelakuin apapun yang lo suruh."

Nindy terkikik geli.

"Lo kenapa ketawa?"

"Gak, gue tadi mikir. Ngapain juga gue marah sama lo gara-gara penggaris kaya gitu."

"Tapi kata lo berharga? Pasti dikasih sama orang yang spesial."

"Dari kakak gue. Lagian juga itu penggaris udah butut dari 10 tahun yang lalu."

"Aduh sumpah gue jadi makin gak enak, maaf ya." Ujarnya tak enak hati.

"Ck udah gak papa. Gue baru sadar itu penggaris sebenarnya udah gak berharga lagi buat gue."

"Kenapa?"

"Gue benci sama orang yang ngasih itu penggaris? Jadi ngapain gue nyimpen barang dari orang yang gue benci?"

"Ken---?"

"Jangan tanya kenapa. Gue gak bakal jawab." Potong Nindy dengan ketus.

Reza lagi-lagi berdehem. Ia pun mencoba mengalihkan topik pembahasan.

"Mulai sekarang kita damai ya? Gue gak mau musuhan lagi."

Reza mengulurkan tangan untuk berbaikan. Tetapi Nindy hanya membiarkan tangan Reza menganggur tanpa berniat untuk membalas uluran tangan pria itu.

"Cih." Nindy berdecih, memalingkan wajah.

Reza melotot melihat respon dari gadis didepannya.

"Lo gak bosen kita berantem mulu?"

"Yang ngajak berantem duluan siapa?"

Reza memutar bola mata.

"Gue."

"Okey gue salah. Gue minta maaf. Jadi kita damaikan?"

Tanya Reza sekali lagi, tetapi Nindy tetap tidak memiliki inisiatif untuk berbaikan.

"Gue traktir setiap hari?"

"Okey." Jawab Nindy cepat.

Tangan Reza rasanya ingin sekali mencekek gadis dihadapannya saat ini.

***

Setelah mendapat surat pembatalan pencabutan beasiswa, Ibu Rena turut terharu dan bahagia.

Kini Rena seperti biasa, membantu Ibunya dirumah Tante Sindy. Ia memegang sapu lidi bersiap untuk menjalankan tugasnya.

Adiknya juga ikut, bermain-main dihalaman luas milik majikannya itu.

Rena menoleh ke belakang karena merasakan ada yang datang.

Bang Doni?

"Hai Rita."

Tumben banget nyapa Rita.

"Mas Doniiiii." Sambut Rita dengan manja.

Rena menghentikan kegiatan menyapunya. Tunggu? Apakah Ia tidak salah dengar? Sejak kapan Rita memanggil Doni menjadi Mas?

"Mas, beliin Rita Es krim lagi dong."

Rena menjatuhkan sapunya, rahangnya seperti hendak lepas karena menganga begitu lebar. Ia tak salah dengar adiknya memanggil Doni dengan sebutan Mas.

"Siap manis."

Doni menggandeng tangan anak berusia 10 tahun itu.

"Tunggu."

Kedua orang tersebut menghentikan langkah kakinya dan berbalik menghadap Rena.

"Kenapa Rita manggilnya mas?"

Doni pura-pura melihat ke arah lain.

"Disuruh Mas Doni, manggilnya harus mas." Jawab Rita polos.

Mata Rena beralih ke Doni, menuntut penjelasan. Doni hanya cuek bebek, Ia membimbing adik Rena keluar gerbang, membeli es krim yang di pinta Rita tanpa menghiraukan Rena yang meminta penjelasan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 06, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Become the ChangeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang