2. DIA LAGI?

10 5 2
                                    

Jangan lupa VOTE dan COMENT ya, biar nulisnya lebih semangat hehe.
Sudah siap membaca?

2. Dia lagi?

Hujan mengguyuri tempat tinggalku. Tetes demi tetes membuat gemercikannya mengenai kakiku yang saat ini sedang duduk di teras depan rumah sambil memainkan handphone. Udara saat ini menjelma menjadi dingin.

"Mai mau dapet tanda tangannya abang, gak?"

Reyza Ramadhan, kakakku satu-satunya. Dia lebih besar 2 tahun dariku. Dan dia di SMP Bungansa menjelma menjadi ketua OSIS. Padahal menurutku dia biasa-biasa saja.

"Nggak, males"
"Gue ketuanya loh, kalau gak dapet tanda tangan gue lo bakalan dijemur selama 3 jam. Lo mau kulit buluk lo tambah buluk?"
"Iya deh, minta dong bang tanda tangannya. Baik... deh"
"Boleh tapi... ada syaratnya!"

Aku mendengus kesal. Syarat apa lagi yang dijanjikan bang Rey padaku? Terkadang abangku ini menjadi  seorang kakak yang selalu aku idam-idamkan. Tapi ia juga bisa berubah jadi makhluk yang paling ku benci kehadirannya. Huft....

"Temenin abang ke rumah tante Sinta, ibu nyuruh anterin bubur buat anaknya yang lagi sakit"
"Siapa ya, bang?" Bingungku
"Banyak tanya lo!"

Aku harus sabar lagi. Demi tanda tangan sang ketua OSIS, apapun aku lakukan. Tapi haruskah hujan-hujan begini juga? Apa tidak bisa menunggu hujannya reda dulu?

"Bang ini ma--"
"Banyak omong, abis lo sama gue!" Potong bang Rey.

Ya ampun. Padahal aku belum menyelesaikan ucapanku saja sudah dimarahi. Ini masih hujan loh! Apa aku harus ikut abangku hujan-hujan begini?

Ibu datang membawa rantang makanan. Sudah bisa ditebak itu adalah bubur yang dibilang abang tadi. Hujan-hujan begini aku jadi lapar... bagaimana kalau aku minta sama ibu? Ibu tidak akan tega membiarkan anak gadis satu-satunya ini kelaparan bukan?

"Buburnya masih ada gak, bu?"
"Ada di dapur, dalam panci. Kalau mau makan nanti aja, habis anterin itu"

Aku menghela nafas, kenapa anak dari tante Sinta itu sepertinya sangat penting bagi ibu dari pada aku. Siapa sih dia!! Aku ingin merontokkan rambutnya setiba disana. Hmm...

"Hahaha" Bang Rey ngakak.
"Bu, abang tuh marahin"
"Jangan ketawain adek, bang"

Aku kesal lagi. Apa yang membuat abang Rey sampai-sampai menertawakanku. Kalau saja ini tidak berkepentingan untuk meminta tanda tangannya yang sok ngartis itu bagiku, mungkin sedari tadi aku memukulnya dan menghajarnya habis-habisan. Tunggu saja pembalasanku bang Rey!

"Jas hujannya mana, bu?" Tanya bang Rey,

Oh iya. Aku tidak lupa kalau di luar hujan masih deras sekali. Aku pikir, bang Rey akan langsung membawaku pergi tanpa jas hujan.

"Sebentar, ibu ambilin"

Bang Rey melihatku sambil tersenyum-senyum. Apa maksud senyum bang Rey itu? Apa dia akan melakukan aksi gila lagi padaku setelah kemarin dia meletakkan bangkai cicak di sepatu sekolahku yang baru itu. Bisa ku bilang, itu adalah sesuatu yang bisa membuatku takut. Dari kecil aku memang takut melihat cicak karena aku pernah dijatuhi cicak di atas kepalaku dan aku memegangnya. Itu sangat menjijikkan bagiku, benar-benar menjijikkan.

"Ngapain senyum-senyum begitu, bang? Jelek tau"
"Bodo amat"

Aku menatap bang Rey melotot, dia sungguh bisa memancing emosiku. Ingin rasanya ku pukul lalu ku tendang ke dalam jurang yang sangat curam, agar dia lenyap dari hadapanku. Tapi apa aku setega itu? Hmm...

"Ini pakai, hati-hati bawa motornya bang. Jalanan licin, jangan ngebut-ngebut!"
"Iya, ibu"

Di jalan. Bang Rey sungguh membuatku ingin mati saja, dia membawa motornya ngebut-ngebut dan hampir saja mengalami kecelakaan jika bang Rey tidak menyadari ada truk yang juga melaju kencang di hadapannya. Awas aja bang Rey, aku bakalan bilang sama ibu biar di marahin. Haha.

-Es cream-

Aku dan bang Rey memasuki pekarangan rumah tante Sinta dengan di boncengi motor ninja bang Rey. Rumah yang terkesan minimalis bercat kuning keemasan dan terdapat banyak tanaman di terasnya. Bang Rey memberhentikan motornya di bawah pohon mangga besar yang berada dihalaman rumah itu.

"Sana masuk"
"Berdua aja, bang"

Aku dan bang Rey berdiri di depan pintu besar berwarna coklat terang, pemandangan pertama yang kudapati yaitu tante Sinta. Wanita yang sepertinya seumuran dengan ibuku, yaitu 32 tahun, berdiri di depanku. Aku dipersilahkan masuk dan disuruh duduk di sofa besar yang sepertinya muat delapan orang. Aku menyodorkan rantang makanan itu dan di sambut oleh tante Sinta.

"Ca... adek. Sini, temenin tamu dulu ya. Bunda mau ke dapur bentar," teriak tante Sinta.

Ca? Apa mungkin itu anak kecil berumur 5 tahun kah? Tapi yang bener saja anak sekecil itu disuruh nemenin aku dan bang Rey. Ngaco.

"Iya bunda"

Suara itu... Aidan! Iya aku tidak salah dengar, itu suara Aidan. Dan... dia sekarang berada di hadapanku? Apa?!

Aidan tersenyum simpul pada bang Rey, tapi kenapa padaku tidak? Hmm tunggu dulu, berarti Aidan adalah anaknya tante Sinta? Teman karib ibuku sendiri? Ya ampun...
Kenapa tante Sinta memanggilnya dengan 'ca' kenapa tidak Aidan atau Putra? Aku tertawa sendiri mendengar bundanya jika memanggil seperti itu lagi.

"Ngapain lo? Gak waras?"
"Hah, bang Rey kenapa sih!"
"Lo tuh yang kenapa, gak malu sama dia? Ngeliat lo ketawa dia jijik-jijik gimana gitu" ucap bang Rey sedikit berbisik padaku.

Aku menghela nafas dan melihat Aidan yang ternyata juga menatapku dengan tatapan... ah sulit ditebak. Tidak apalah, toh aku hanya sedikit tertawa. Mungkin....

Tante Sinta datang membawa rantang makananku tadi. Ia tersenyum ramah padaku dan bang Rey begitu pun denganku.

"Ca, jangan main game terus. Gak sopan sama tamu"
Aidan mengalihkan pandangannya ke arahku, lalu ke bundanya.
"Bunda udah selesai di dapurnya kan? Ca ke kamar dulu,"

Lalu Aidan menghilang dari hadapanku seketika. Mungkin saja dia kembali melanjutkan gamenya atau dia memang tidak mau melihat wajahku terlalu lama? Hmm...

"Lo gak cakep makanya dia gak mau liat muka lo,"
"ABANG BACA PIKIRANNYA MAI!!!"

***

Terimakasih telah membaca, apa kalian suka?

ES CREAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang