Letkol (Purn.) Gagah Cahyo Anumerta menunggu dengan wajah garang di teras rumahnya. Ia selalu disiplin dan tegas. Ia tidak suka jika ada yang melanggar peraturannya, termasuk puterinya sendiri.
"Saya sudah sering bilang kan le, kalau pergi pagi, sebelum magrib sudah HARUS sampai rumah. Ranu masih tinggal di rumah saya, maka siapapun yang tinggal di rumah saya masih HARUS mengikuti peraturan saya!" tegasnya sambil terus menekankan kata HARUS.
Ranu dan Radi tertunduk. "Saya mohon maaf Om Cahyo..." ujar Radi.
"Sudah to Pak! Masih magrib ora ilo nyeneni anak di teras seperti ini," ujar lembut Ningtyas sambil mendekati suami sambungnya itu. Ia menyentuh bahu Gagah, "Biarkan mereka sholat dulu. Ranu, Radi...ayo masuk dan sholat!"
Gagah hanya menghembuskan nafas berat dan kemudian masuk ke dalam rumah diikuti yang lainnya.
"Diminum tehnya, makan malam dulu sekalian ya, baru pulang," tawar Ningtyas kepada Radi usai calon menantu dan anak tirinya itu sholat.
"Terima kasih Tante, tapi saya mau langsung pulang. Tadi Papa WA katanya sudah menyiapkan makan malam," jawab Radi.
"Makanya! Besok-besok jangan sampai telat lagi. Bagaimanapun kan kalian belum menikah! Tidak enak dilihat orang pergi berduan sampai malam," ujar keras Gagah.
"Sudah to pak! Kaya ndak pernah muda saja," tegur halus Ningtyas sambil memegang pundak suaminya. Gagah membuang pandangannya dan meneguk teh hangatnya.
Melihat hal itu, Ranu jadi berpikir. Seandainya bukan ibu tirinya, namun ibu kandungnya, ayahnya pasti tidak akan diam menurut seperti itu. Walaupun ia hanya 6 tahun hidup bersama ibunya, sebelum Tuhan mengambil ibunya ke sisi-Nya, Ranu masih sangat ingat bagaimana ayah dan ibunya kerap bertengkar.
Ibunya lebih cantik dan pintar dibanding ibu tirinya. Ibunya seorang kepala cabang Bank swasta terkemuka. Ibu dan ayahnya sama seperti Ranu dan Radi yang merupakan teman satu sekolah. Bedanya, ibu dan ayahnya teman satu sekolah ketika mereka SMA. Kecantikan dan kepintaran ibunya yang membuat ayahnya jatuh cinta. Namun tentu, dalam pernikahan tidak selamanya tentang cinta dan alasan pertama jatuh cinta. Justru, kemandirian ibunya yang menjadi boomerang dalam pernikahannya.
"Andai ibu yang berkata seperti itu, ayah pasti tidak akan mudah meng'iya'kan... tidak akan mudah melembut dan menuruti ucapan ibu..." batin Ranu.
"Terima kasih atas tehnya, Tante! Om, sekali lagi saya mohon maaf karena terlambat mengantarkan Ranu pulang. Saya pamit pulang terlebih dahulu," pamit Radi kemudian berdiri untuk bersiap pulang.
Gagah mengangguk kemudian ikut berdiri, diikuti oleh istri keduanya dan Ranu. Radi mencium tangan Gagah kemudian Ningtyas.
"Hati-hati di jalan ya, Radi! Jangan ngebut," nasihat Ningtyas.
Radi tersenyum dan mengangguk. "Aku pulang ya Ran."
Ranu berusaha tersenyum manis walau ia sudah merasa sangat lelah dan ingin beristirahat karena besok ia harus bekerja. Ia tetap mengantar Radi hingga calon suaminya itu mengendarai motornya, menjauh dari pandangan Ranu.
"Ran, makan malam?" tanya Ningtyas.
"Aku sudah makan tadi sore sebelum pulang. Aku lelah sekali, Ma. Habis mandi mau langsung tidur, Besok harus survey ke tempat usaha beberapa client," tolak Ranu halus.
"Oh, ya sudah. Mandinya pakai air hangat, jangan pakai air dingin. Ohya, tadi ada surat dari teman penamu seperti biasa. Mama taruh meja belajarmu," ujar Ningtyas.
Rasa pegal yang dirasakan Ranu sedikit berkurang mendengar surat dari teman penanya. "Terima kasih, Ma."
Ranu bergegas mandi dan kemudian mengunci pintu kamarnya. Ia menemukan amplop berwarna merah jambu di meja belajarnya. 'Teman pena'-nya itu selalu mengirim surat dengan amplop warna itu karena tahu bahwa merah jambu adalah warna kesukaan Ranu.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAHASIA
Storie d'amore"Semua orang merasakan jatuh cinta, beberapa dapat bersama mengarungi mahligai pernikahan, dan... ada yang tidak bisa memiliki cinta maupun pernikahan...." Begitulah ucapan sang wanita tokoh utama pada ibunya yang kerap menanyakan 'Kapan ia akan men...