2

4 0 0
                                    

Mereka terlalu egois untuk sekadar berpikir bahwa kantong plastik ini masih bisa didaur ulang.

Lihatlah. Apabila banjir bandang atau hujan meteor melanda negeri kebanggaan mereka itu. Menghabiskan hampir seluruh sumber daya manusia yang ada. Aku yakin. Barulah mereka akan melolong-lolong menyebut nama kami.

Awalnya kami bukanlah pengecut. Kami bukan pecundang. Kelihatannya saja begitu. Namun, respons-respons negatif terus menampar kami berkali-kali.

Setiap tetes keringat lama-lama terasa seperti tetes darah. Hingga akhirnya pori-pori kami tak bisa mengeluarkan keringat lagi.

Aku sudah tak tahu akan mencoba apa lagi, begitu pula si Petir. Meski sesungguhnya jauh di salah satu bagian otak besarnya, yaitu lobus frontal-nya, ia masih punya banyak ide inovatif.

Harus kuakui, perusahaan dan penguasa bajingan itu banyak memengaruhi kemampuan dan kinerjaku dalam banyak hal.

Kami bisa saja menjadi hacker atau pencuri bank. Atau juga menghancurkan semua sistem keamanan negeri itu. Mengingat aku mempelajari banyak hal sebelum dibuang bagai tikus mati seperti ini.

Tapi apakah itu yang terbaik untuk dilakukan saat ini?

Sudah menjadi orang yang gagal, makin kotor pula dengan membasuh nama sendiri dengan label kriminal. Aku masih waras. Setidaknya untuk sememtara waktu ini.

***

Aku tak tahu mengapa pagi ini matahari menyambutku dengan ceria. Cahaya terangnya berhasil menyilaukan mataku yang belum siap menatap kenyataan.

Di satu sisi, meski cuaca sangat cerah, suhunya tidak panas. Tinggal di negara sub-tropis membuat kulit putihku semakin kusam dan kering. Aku jadi terlihat seperti mayat berjalan.

Di bawah langit tanpa awan, aku pergi ke satu-satunya taman di pulau kosong tak berkepemilikan ini. Lebih tepatnya pulau pembuangan. Satu-satunya pulau yang tidak dimiliki oleh negeri mana pun.

Siapa pula yang membutuhkan pulau perbatasan ini?

Pulau yang lima tahun lagi akan teehapus dari peta karena pemanasan global. Penjara mengenaskan untuk hidup selamanya.

Padang rumput hampir gersang ini luasnya sekitar empat ribu hektar. Aku sudah biasa sendirian di sini. Tak melakukan apa pun. Hanya memandang hebatnya alam semesta saling bantu-membantu. Terkadang tertawa geli mengingat manusia yang berakal malah saling tikam-menikam.

Kelinci di sini lebih mengerti perasaan pedihku dari siapapun. Jika diingat-ingat lagi, aku telah kehilangan semua ikatan darahku. Sesuatu yang dulu terus memaksaku untuk menjadi yang terbaik.

Keluarga. Yah, sekarang aku sudah tak bisa menganggap mereka sebagai keluarga.

"Keluar kau pecundang! Duniamu di ujung sana, bukan di tengah kota seperti ini! Tak ada gunanya aku melahirkanmu!"

Kalimat perintah terbuas yang pernah aku terima sepanjang hidupku. Tak pwrnah kukira akan keluar dari mulut malaikat pelindungku sendiri.

Sejak itu aku menyeret si Petir pergi. Alasannya sederhana. Karena hanya dia orang yang kukenal. Dia adalah kawanku yang berharga. Hanya ia satu-satunya orang yang mengerti diriku. Nyawa pun akan kutukar untul keselamatannya.

Katanya, kami pemuda genius yang tak tahu hukum sosial. Katanya, tak ada gunanya IQ di atas dua ratus dan lulus dari universitas ternama.

Ah, iya. Manusia-manusia dengan sebutan tikus, penjilat, pembual, dan lain-lain itu. Tak sudi kami disuruh mengabdi pada para setan yang mengaku dewa.

Kami hanya menuturkan suatu kebenaran dan kejujuran. Kedua hal yang "katanya" dijunjung tinggi di negeri ini.

Kenyataannya, kami malah ditendang ke pulau padang rumput yang hampir gersang ini.

Namun tak mengapa.

Setidaknya kami tahu bahwa merekalah yang tak pantas berada di sekitar kami. Bukan sebaliknya.

LOSER, NOT A JOKERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang