We'll

79 9 0
                                    

Gadis yang terlihat lusuh itu, sedang mengikat rambutnya menjadi kuncir kuda. Semua salah Arvhi yang mengajaknya ke rooftop, hingga buliran keringat membasahi tubuhnya. Joy menarik napas kuat-kuat, kemudian mulai menuruni tangga demi tangga untuk kembali ke kelas. Dia sudah tidak peduli dengan suara perutnya yang keroncongan, sebab yang dia butuhkan sekarang adalah AC untuk menghilangkan rasa gerahnya.

Joy membuka pintu kelasnya cepat, kemudian menutupnya asal hingga timbul suara keras seperti membanting pintu. Gadis lesu itu, mengambrukkan badan di atas kursi dengan tidak santai. Wajah masamnya terus dia pertahankan hingga Lola dan Reza berada di sampingnya.

"Gila, lo ke mana aja sih Joy? Tadi gue sama Lola udah ke kelas tapi lo nggak ada, terus kita cari keliling sekolahan, lo juga gak ada," keluh Reza penuh amarah tertahan.

"Nggak ke mana-mana Za, tadi gue beser jadi lama di toilet," balas Joy lemas akibat napasnya yang masih memburu.

"Wah, nggak ada akhlak lo asli. Kalau ke toilet bilang-bilang kenapa Joy?  Gue sama Reza tuh khawatir sama lo! soalnya hape lo aja masih di kelas, tapi lo nya ngga ada. Takutnya nih ya, lo jatoh atau kejengkang gitu terus nggak ada yang nolongin," celoteh Lola dengan raut agak dongkol.

Joy tertawa simpul. "Sekarang gue lebih hati-hati kok, jadi kalian tenang aja, gue gak bakal jatuh lagi deh, sumpah!" ujar Joy meyakinkan.

Reza menatap sinis wajah Joy yang lusuh. "Beser doang? Tapi muka lo sampe keringatan gitu? Lo nggak lagi bohong kan Joy?" selidiknya.

Joy menatap Reza dan Lola bergantian. "Bohong buat apa sih, gue keringatan karena di luar panas banget, apalagi di toilet." Joy beralibi.

Gadis itu memutar otak, mencoba mengganti topik pembicaraan. Karena yang jelas, Lola apalagi Reza tidak perlu tahu akan kebodohannya tadi.

"Btw, batagor gue mana?" tanyanya songong.

Lola dan Reza saling melempar pandangan, seolah-olah mereka sedang bertengkar, tentang siapa yang akan menjelaskan.

"Batagor lo, ya udah kita makan Joy, habisnya lo lama sih," jawab Lola penuh penekanan.

Joy mendesis. "Parah lo berdua, udah tahu gue belum makan dari tadi, gue laper banget tahu!" Joy berteriak di akhir kalimatnya, membuat Lola dan Reza tersentak.

Lantas Reza segera bangun dari posisi duduknya, kemudian melempar pandangan pada Joy.

"Yuk! ke kantin!" ujar Reza pelan dan Joy malah cemberut menatap balik Reza.

"Kaki gue pegel," adu gadis itu. Reza berdeham mendengarnya.

"Perlu digendong?" tanyanya lembut.

"Hah?" Celetuk Lola tanpa sadar. Entahlah, Lola hanya merasa telah terjadi percakapan tidak biasa antara dua orang itu.

Joy beranjak dari tempatnya, kemudian memukul lengan Reza.
"Bercanda gue tadi, udahlah kuy kantin!" seru Joy kemudian berjalan lebih dulu.

Reza dan Lola berjalan di belakang Joy. Dan lagi, ketika Lola menatap wajah Reza, pandangan cowok itu masih saja lurus menatap gadis di depannya.

***

Matahari sudah tak tampak, karena sekarang gilirannya bulan yang bertengger di langit. Malam bukan malam, karena Arvhi menyebut pukul 7 lebih 30 menit itu masih sore. Bagi Arvhi, malam itu dimulai pukul 10. Karena pada saat itu, kebanyakan orang sudah tidur tapi tak jarang pula yang belum tidur. Mungkin mereka ingin bergadang atau justru malah insomnia.

Arvhi yang masih berada di atas motornya tiba-tiba tersenyum. Bukan tanpa alasan, dia hanya saja teringat jika dulu pernah insomnia parah hingga sehari hanya tidur 1 sampai 2 jam.

Arvhi telah sampai di halaman rumahnya. Tidak lupa dia mengunci gerbang depan sebelum masuk ke dalam rumah. Setelah tugasnya selesai, dia bergegas menuju pintu dan hendak membuka kuncinya. Namun, ternyata pintunya tidak terkunci. Arvhi mendesis, bagaimana bisa pembantunya begitu teledor hingga tidak mengunci pintu kembali.

Cowok itu segera pergi ke dalam, hendak memeriksa jika mungkin ada barang yang hilang. Dan ketika dia berada di ruang tengah, dia malah menjumpai sesosok pria sedang menonton TV sambil meminum sesuatu di dalam gelas.

"Hei, Arvhi. Baru pulang kamu jam segini?" ujar pria itu.
Arvhi pun mendekat kemudian duduk di sofa sebelahnya.

"Om Andhi, ke rumah kok nggak bilang-bilang? Saya kira tadi mbok Ipah lupa buat kunci rumah, lagian mobil Om juga nggak ada di depan," jelas Arvhi panjang lebar.

Pria paruh baya itu tertawa sarkas. "Om tadi diantar oleh supir, sengaja pengen buat kejutan buat kamu, sampai-sampai Om rela nunggu kamu 3 jam."

Arvhi meringis sendiri mendengar jawaban itu. "Maaf Om, tadi saya mampir makan dulu, jadi agak malam pulangnya," balasnya tak enak hati.

Andhi geleng-geleng kepala. "Tidak apa-apa Arvhi. Wajar anak cowok pulang malam, kalau pulang siang berarti bolos sekolah," ucapnya membuat Arvhi sedikit tertohok.

"Masih suka bolos, Arvhi?" tanyanya lagi.

Arvhi menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Udah jarang sih, Om," ringisnya.

"Terus sekarang sudah punya pacar?" Andhi sambil menyeruput kopinya.

"Nggak punya, Om," balas Arvhi singkat.

Andhi terlihat menghela napas panjang. "Kenapa Arvhi? Bukannya ini masa-masanya remaja main cinta-cintaan? Padahal om yakin, dengan wajah kamu sekarang ini, kamu bisa berpacaran dengan lima gadis sekaligus," ujarnya penuh penekanan.

Arvhi menatap pria itu tajam. "Kan Om tahu, saya bukan orang yang kaya gitu."

Kini gantian Andhi yang hendak bicara serius. Dia menatap balik mata Arvhi.

"Ingat Vhi, kamu pantas bahagia. Apapun yang terjadi sama orang tua kamu, itu bukan salah kamu. Jadi om harap, kamu bisa menjalani hari-harimu seperti remaja biasanya," ujarnya, membuat Arvhi mengingat kembali hal itu tapi segera dia alihkan, karena dia sama sekali tidak sudi bahkan sekadar mengingatnya.

"Oh iya, Vannya gimana kabarnya Om?" tanya Arvhi tiba-tiba.

"Baik, katanya dia chat kamu tapi sering tidak kamu balas."

Arvhi tersenyum ragu. "Masa sih Om? Mungkin saya lupa, soalnya jarang buka pesan. Paling main handphone juga buat game doang," balasnya.

"Gimana rumah kamu ini? Aman?" tanyanya sambil mengedarkan pandangan.

"Aman Om, kan komplek daerah ini ketat jadi maling nggak mungkin masuk," balas Arvhi yakin.

"Om cuman khawatir sama kamu Vhi. Sudah rumah sebesar ini, tinggal sendiri, nggak ada pembantu nggak ada satpam. Om jadi kesel kenapa sih kamu nggak biarin papah kamu nyewa pembantu sama satpam yang banyak, jadi setidaknya kamu kan ada teman di rumah," ujar Andhi geram.

"Nggak perlu lah, Om. Kan ada mbok Ipah yang bersih-bersih rumah, lagi pula saya juga nggak suka suasana yang terlalu ramai," balas Arvhi sekenanya.

Andhi merasa tidak ada gunanya membujuk Arvhi terus-terusan. Kepala batu mana bisa dibujuk dengan mudah.

"Arvhi, Arvhi, pembantu kamu itu kan cuma kerja setengah hari, dan justru pembantu kamu itu yang buat om khawatir. Dia kamu percayakan kunci rumah ini, kalau dia curi barang kamu gimana? Tidak takut kamu?"

"Mbok Ipah nggak mungkin kaya gitu Om, dia kan udah kerja di sini sejak saya masih bayi, dan selama empat tahun ini, nggak ada barang saya yang hilang," balas Arvhi membela.

Andhi lagi-lagi hanya menggelengkan kepala. Arvhi sekarang sudah besar. Mungkin juga karena pilihannya ini, dia bisa menjadi sosok orang yang tangguh dan mandiri. Padahal seharusnya seumuran Arvhi masih butuh kasih sayang, dan perhatian dari sebuah keluarga.

***TBC***

Sori buat update yang ga pasti. Karena cerita ini bakal up kalau mood, situasi, dan kondisinya memungkinkan.

Bitter LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang