Pagi kali ini adalah kegemaran Arvhi. Belum genap pukul 7, tetapi matahari sudah bersinar dengan teriknya. Laki-laki yang biasa menampangkan wajah jutek dan galak itu kini berubah. Rupanya telah terbentuk lengkungan pada bibirnya dan eye smile yang tak luput dia perlihatkan ketika sedang mendongakkan kepala menatap langit.
Sayangnya, hanya awan, langit, dan mungkin juga burung yang melihat senyumnya. Coba saja dia seperti itu di sekolah, pasti rentetan fans garis keras Arvhi makin banyak.
Arvhi menyudahi aktivitasnya itu, dia segera menaiki motor kemudian melaju pergi meninggalkan halaman rumahnya. Dalam perjalanan menuju sekolah, dia masih saja tersenyum di balik kaca helmnya. Entah sejak kapan, yang jelas, Arvhi sudah lama sekali menyukai matahari. Mungkin semenjak dia menjadikan matahari sebagai role model hidupnya.
Dulu, Arvhi pikir, dia adalah orang yang paling sendirian di dunia. Namun, ketika dia mulai menyadari kehadiran matahari yang dapat bersinar terang walaupun sendirian, pikiran Arvhi sudah tidak lagi suram. Sebenarnya matahari mungkin tidak sekuat itu, dan mungkin juga dia menyimpan banyak misteri dan luka, tetapi apa? Dia masih tetap bersinar, dan melakukan apa yang harus dia lakukan setiap harinya.
Ya, Arvhi hanya perlu mengambil peran matahari sedikit.
Berpura-pura lupa, tidak terjadi apa-apa, dan bersikap baik-baik saja adalah hal yang perlu dia lakoni. Sebenarnya tidak, dia tidak sendiri, semua orang berpura-pura bukan?
***
Gadis berkepang rambut tunggal itu sedang memainkan pulpennya. Sebenarnya dia hanya perlu menulis saja tanpa harus berpikir, tetapi dia rasa jawaban yang tercatat di buku Lola tidak jelas bahkan takselaras dengan apa yang ditanyakan oleh Bu Desi kemarin.
Akui saja jika Joy bodoh, kenapa dia lupa mengerjakan PR sejarah, dan sekarang malah menyontek jawaban Lola. Jika saja pelajaran Bu Desi tidak pada jam pertama, Joy pasti punya waktu untuk mengerjakannya sendiri.
"Serius amat, nulis apaan sih?" tanya Reza tiba-tiba, membuat Joy terlonjak.
"Reza bego ih, ngagetin gue aja, jadi nyoret kan!" kesal Joy sambil memanyunkan bibirnya.
Reza tertawa sarkas, sedangkan Joy mengambil tip-x dari kotak pensilnya.
"Yelah, chill aja Joy, guru-guru lagi mau rapat tahu," ujar Reza santai.
Mata Joy langsung berbinar, dia segera menatap Reza nyalang kemudian melemparkan tip-x hingga terkena pundak cowok itu. Reza mengaduh, tetapi Joy malah merasa puas.
"Salah siapa nggak ngomong dari tadi," balasnya sewot.
Tidak lama kemudian, Lola datang dengan raut wajah sumringah. Joy geleng-geleng kepala, karena tidak pernah mengerti, kenapa orang bisa sebahagia itu sehabis dari toilet.
"Eh, Reza, udah di sini aja," goda Lola seraya duduk pada bangkunya.
"Iya, kenapa?" balas Reza jutek. Dan sekarang Joy mengerti, alasan Lola datang-datang penuh dengan senyuman.
"Sumpah ya La, ternyata guru-guru lagi rapat, tahu gini gue gak perlu susah payah, seneng banget deh gue," ungkap Joy bertubi-tubi.
"Iya Joy, gue juga seneng," tambah Lola, sambil terkesima menatap Reza.
Reza hanya membalas Lola dengan tatapan datar, dan kini Joy bingung memandang Lola dan Reza bergantian.
"Joy nanti nonton yuk, gue tadi menang taruhan pas mabar sama temen gue, dapet tiket dua, gue bingung mau nonton bareng siapa, jadi bareng lo aja kali ya," jelas Reza panjang lebar.
Berbeda dengan Reza yang menampakkan wajah excited, Joy malah memasang wajah lesu. "Yah, Za, gue pengen sih, tapi gak bisa, soalnya nggak ada waktu," balas Joy dengan suara memelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bitter Love
Teen FictionWhen you find love you will find bitter too. Bitter love Copyright 2019 Story by Puput Indah