Malam ini tidak hujan seperti kemarin-kemarin. Namun, mungkin sedikit mendung hingga udara yang biasanya panas kini mendingin. Rupanya udara dingin itu mulai mengganggu Arvhi hingga dia mengusap kedua tangannya agar timbul kehangatan.
Arvhi kini tengah berada di sebuah cafe di mana dia dan teman-temannya biasa nongkrong. Bukan biasa lagi sebenarnya karena memang setiap hari mereka nongkrong di cafe ini berhubung tempat ini milik salah seorang dari mereka.
Teman-teman Arvhi yang berjumlah lima orang itu juga bersekolah di SMA Insan Cendekia. Namun, tidak ada yang seangkatan dengannya. Leo, Reno, Ical, Putra adalah anak kelas dua belas. Sedangkan satu lagi Jeky adalah anak kelas sepuluh. Tidak bisa dijabarkan bagaimana mereka bisa seakrab ini. Yang jelas ke-empat anak kelas dua belas itu adalah teman sekelas, dan Arvhi mengenal mereka pertama kali saat berada di club sedangkan Jeky adalah adik dari Putra.
Arvhi dan kelima temannya terkenal sebagai murid bar-bar di sekolah. Tidak hanya guru yang mengecap mereka, tetapi para murid juga. Beruntung Arvhi masih terselamatkan karena rupa wajah dan kebiasaan memakai baju rapihnya. Sehingga para kaum hawa di sekolah kebanyakan mengira jika Arvhi adalah anak baik hanya saja terpengaruh oleh kenakalan teman-temannya.
Arvhi mengambil sebatang rokok dari dalam kotak berwarna merah tua yang tergeletak di meja. Tangan kanannya siap menyalakan api kemudian membakar ujung rokok itu. Asap mulai mengepul dan dengan santai Arvhi menghisap benda itu. Rasanya tenang, dan entah dari mana kejadian saat bersama Joy tadi tiba-tiba terekam kembali dipikirannya.
Jika dipikir-pikir, apa yang dilakukan oleh Joy tadi sudah sesuai dengan apa yang Arvhi inginkan. Cewek itu sudah menjauhinya, dan tentu tidak cerewet lagi. Namun, kenapa sekarang jadi Arvhi yang ikut campur dalam masalah Joy. Arvhi merutuk diri. Kenapa tadi dia bisa bersikap seperhatian itu. Membawakan Joy kursi, mengaku sebagai pacarnya agar Joy tidak diganggu. Arvhi rasa sikapnya sudah berlebihan. Berhubung pula Joy adalah wanita di sekolah yang pertama kali dia perlakukan seperti itu.
"Woi, ngelamun aja lo, mikir apa sih?" cerocos Ical membuat Arvhi tersentak.
"Apaan, kagak mikir apa-apa gue," kilah Arvhi.
"Halah bokis, muka-muka kaya lo gak pantes buat sok polos, tahu gue pasti lo lagi mikirin..." Reno dan ke-empat temannya kompak memandang Arvhi curiga. Namun, Arvhi dengan cepat melempari mata-mata yang melihatnya itu dengan kulit kacang yang berserakan di meja.
"Anjing lu Arvhi, sakit mata gue setan," sentak Leo kasar.
"Makanya otak lo pada gak usah mikir macem-macem, gue gak se-anjing apa yang lo semua pikirin," balas Arvhi dengan nyolot.
Reno menyudutkan bibirnya nyinyir. "Gini nih guys kelakuan orang yang ngerasa paling suci di antara kita-kita, kuy merapat, kita perawanin si bacot satu ini," ujar Reno menggebu seakan-akan sedang memimpin tawuran.
Ke-lima orang itu bersiap maju seperti akan menerkam Arvhi saat itu juga. Dengan cekatan, Arvhi beranjak untuk menghindari mereka. Arvhi berdiri dengan takut, sesekali dia tertawa karena wajah temannya bertingkah layaknya macan yang kelaparan. Entah beruntung atau tidak, tetapi Arvhi merasa teman-temannya adalah orang paling gila di dunia ini.
"Jingan ya lo pada, mundur nggak atau gue keluarin jurus gue," ancam Arvhi diiringi tawa ringan.
Sontak ke-lima orang itu mundur ketika mendengar ancaman Arvhi.
"Nggak deh Bang, nyerah gue sama jurus andalan sialan lo itu," adu Jeky tidak sanggup.
"Tau lo Vhi, gantengnya aja kelewatan tapi bau kentut lo bisa juga buat orang lewat alias koit," sanggah Putra menambahi.
Arvhi hanya tertawa. Dia bodo amat dengan keluhan teman-temannya. Setelah membuang puntung rokok pada tempat sampah, Arvhi bergegas mengambil ponselnya di atas meja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bitter Love
Novela JuvenilWhen you find love you will find bitter too. Bitter love Copyright 2019 Story by Puput Indah