Bagian 1 ; Awalnya di bawah hujan

5 0 0
                                    

#1

Quuin dibantu ibu menyisir rambut. Sesekali wanita muda itu juga memperbaiki letak selimut tipis dipundak putri semata wanyangnya. Mereka masih sibuk berbincang sampai ibu membantu Quuin keluar dan duduk ditempat dibiasa. Diteras rumah. Dikursi goyang berwarna hijau toska.

"Bukuku?" tanyanya.

Ibu langsung masuk kedalam rumah dan kembali dengan buku kisah romantis yang diimpikan para remaja. Meletakkan diatas pangkuan Quuin. Dibawah lipatan tangannya. Wanita itu lalu mencium dahi gadisnya sebelum pergi.

"Nanti ketika jam ditengah kota berdetang tiga kali, ibu akan pulang. Tetap disini, jangan pergi kemana pun. Kalau terjadi apa-apa, minta bantuan Nyonya Terens, tetangga kita. Ibu sayang kamu, tetap hangat anakku." Setelahnya wanita itu melangkah keluar menuju halte bus terdekat. Menuju kantor.

Quuin meraba pembatas buku yang sengaja dipasang melebihi batas kertas buku itu sendiri. Membuka lebar, lalu mulai meraba setiap susunan huruf braile yang tertera. Ketika angin mulai berhembus, ia langsung menarik selimut dipundak agar lebih rapat dan kembali melanjutkan bacaannya.

Keduanya bertemu ditengah jembatan, tepat dibawah rintik-rintik hujan. Dibatasi payung masing-masing.

Quuin tersenyum ketika membaca. Baginya, kisah romantis memang selalu menarik.

Mata mereka beradu. Sang gadis tak kuasa memandang si pria lebih lama lagi hingga ia memutuskan untuk mengalihkan pandangan. Namun sedetik setelahnya, ia sudah berada dipelukan prianya. Payung mereka jatuh ketanah. Tanpa sepatah katapun, keduanya melepaskan kerinduan masing-masing.

"Ah—" ucapnya refleks bersamaan dengan senyum merona yang terkembang.

Quuin memang selalu seperti itu. Selalu tersentuh pada setiap kata yang dia baca dibuku-buku romantis. Matanya memandang lurus kedepan. Pandangan itu melepaskan binar tanpa cahaya. Cahaya dimata Quuin memang sudah lama redup, tapi binar keinginannya tidak akan hilang.

Tak jauh darinya, Flint berdiri diantara pohon pinus disebrang jalan. Tepat didepan rumah Quuin. Ia memandanginya dalam diam. Sesekali ia juga ikut tersenyum bersamanya. Ikut merasa bahagia. Sudah sejak empat bulan lalu ia sering berdiri disana. Ditempat yang sama. Di waktu yang sama. Memandangi hal yang sama. Tanpa henti. Ia biasanya akan pulang ketika jam ditengah kota berdentang tiga kali. Waktu ketika ibu Quuin pulang dan membawa masuk putrinya.

Flint masih berdiri sampai pintu rumah dibelakangnya terbuka, seorang wanita muda dengan setelan jas dan sanggulan rambut keluar dari sana.

"Hey." Sapa wanita itu.

Flint tersenyum membalas sapaannya.

"Mengintai lagi?"

Ia mengangguk membenarkan.

"Kenapa tidak langsung kesana?"

"Tidak-tidak."

"Anak itu, namanya siapa?"

Flint kembali menatap lurus, "Namanya Quuin."

"Ah—"

Wanita itu turun melewati tangga. Menghampiri Flint lalu menepuk pundaknya pelan. Mengedip sedikit sambil berkata,

"Duduk didepan rumahku saja. Itu spot terbaik untuk mengintai."

Setelah itu ia pergi. Flint naik ketangga rumahnya ketika si pemilik rumah sudah agak jauh darinya. Mengambil duduk didepan teras. Sebenarnya mereka tidak saling mengenal, hanya saja, setelah empat bulan melihat Quuin didepan rumahnya, mereka menjadi akrab secara tiba-tiba.

Dibawah Langit yang SamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang