Bagian 5 ; Takdir mereka

2 0 0
                                    


#1

Quuin dituntun ibu menuju halte. Hari ini ia akan pergi menghabiskan uang ibu alih-alih menonton pertandingan Mine. Ketika naik ke bus, ibu membuatnya duduk didekat jendela dan membuka kacanya agar angin bisa mengenai wajah Quuin. Gadis itu bahagia.

"Hari ini mau belanja apa?"

Quuin berpikir sebentar, dalam kegelapan ia memikirkan orang-orang yang hadir dihidupnya beberapa hari yang lalu. Anak sekolahan yang membantunya ke apotik, tetangga depan rumahnya yang waktu itu terkena demam dan seorang anak laki-laki yang menabrak miniatur ibu.

"Belanja hadiah?"

"Hadiah? Untuk siapa?"

"Ada banyak orang baik yang kutemui beberapa hari lalu bu."

"Benarkah?"

Quuin mengangguk. Entah ibu melihatnya atau tidak.

"Aku mau memberikan mereka hadiah."

"Orang baik seperti apa? Mungkin ibu bisa membantu mencarikan hadiah."

"Ibu ingat ketika aku memberikan kantung obat dari apotik dua hari yang lalu?"

"Heem."

Quuin melanjutkan ceritanya. Mengenai anak perempuan berjepit rambut capung yang sangat ramah, tetangga seberang rumah yang terkena demam dengan ornamen hiasan kuku yang agak menyakitkan ketika mengenai kulit tangan dan anak laki-laki yang menabrak miniatur ibu sampai pecah. Quuin menceritakannya dengan perasaan senang sekaligus takut-takut ketika ibu mengetahui ia keluar dari rumah sembarangan seperti itu.

"Quuin, sudah ibu bilang. Kalau terjadi apa-apa minta bantuan Nyonya Terens."

"Iya aku tau bu. Tapi aku tidak bisa terus-terusan meminta bantuannya."

Ibu menghela napas, tidak ingin melanjutkan perkataannya karena Quuin mungkin saja akan merasa sedih nantinya. Ibu mengelus rambutnya.

"Tidak apa-apa. Lain kali jangan lakukan lagi, oke?"

Quuin mengangguk patuh. Kali ini angin benar-benar menyentuh seluruh wajahnya. Ia merasa damai. Mungkin angin menyukainya? Entahlah.

#2

Tery keluar rumah menuju pasar kota terdekat. Tidak dekat sebenarnya, ia hanya ingin berjalan kaki. Ingin mengetes apakah kakinya masih kuat berjalan atau tidak. Dalam diam ia kembali memikirkan David. Setelah perkelahian mereka semalam, David pulang tanpa mengatakan apapun, meninggalkan dia yang masih menangis didalam rumah memegangi handphone.

Tery tau pria itu pasti merasa patah hati, tapi hanya itu satu-satunya cara membuat David berhenti mencarinya, dengan membuatnya merasakan sakit terdalam. Tery sudah berjalan sekitar tiga kilometer ketika dari jauh, seorang anak berseragam mendekatinya.

"Hai bu."

Tery yang dipanggil ibu sedikit tersenyum. Bingung sebenarnya, tapi dia suka dipanggil begitu.

"Ah iya?"

"Beberapa hari yang lalu aku melihat ibu di dalam bus ketika menyemprot parfum. Ingat?"

"Ah—" Tery langsung mengingat anak itu.

"Setelah melihat ibu hari itu, aku merasa ibu harus menjadi panutanku yang baru. Ibu keren." Anak itu mengacungkan ibu jarinya didepan wajah.

Tery tersenyum, tidak menyangka kalau anak perempuan itu akan berkata seperti tadi.

"Ibu mau kemana?"

"Pasar. Kamu gak kesekolah?"

"Mau berangkat. Ayo, aku akan mengantar ibu ke pasar dengan selamat."

Dibawah Langit yang SamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang