04; H ─ you can lean it on me too

4 1 1
                                    

hereabouts

Setelah gue, Rachi, sama Mita selesai dengan segala jalan-jalan kami sore ini (makan siang yang telat, bantu Rachi cari-cari buku kumpulan soal yang nggak yakin akan dia kerjain, belanja stok sabun buat tempat gue dan Rachi) kita bertiga memutuskan kalo sore ini nggak bisa langsung berakhir gitu aja. Ayo lah, jalan-jalan ke mall terus pulang? Nggak akan terjadi kalau kalian jalannya sama Hala Paramartha. Jadi, atas usul gue (yang didukung oleh Rachi) akhirnya kita bertiga memutuskan untuk mampir sebentar ke salah satu taman yang ada di daerah Jakarta Selatan. Buat apa? Belum tau juga, mungkin duduk-duduk aja sambil beli kopi sachet tiga gelas? Mungkin juga cuma mau perhatiin jalanan yang ramai sama beragam kendaraan? Pokoknya dinikmatin aja.

Mita memutuskan untuk keluar paling dulu dari dalam mobil. Disusul Rachi yang emang selalu seneng mengekor sama Mita, lalu gue yang sebelumnya masih sibuk sama kunci mobil dan tas gue. Setelah makan siang tadi, gue memang sadar kalo Mita jadi diem aja dan merespon seadanya. Gue udah pancing dengan nyuruh Rachi ngobrol sama dia di toko buku dan nawarin dia buat ikutan beli kebutuhan dia yang mungkin juga udah mulai habis. Tapi responnya cuma sebatas, "Iya," atau "Eh? Oke," aja. Nggak ada serentetan, "Ih, gue mau yang ini dong! Kayaknya yang ini bagus ya?" atau "La, lo cocoknya sama yang ini!" yang biasanya selalu keluar dari mulutnya. Mita nggak biasanya kayak gini. Masalahnya disini ada 2 poin :

1. Amita Denallie nggak mungkin diem aja kalau masalahnya tentang penerbit

2. Berarti ada masalah yang lebih rumit tapi dia belum bisa cerita sama gue

Dan dua-duanya bukan hal yang gue suka. Terutama poin kedua.

"Kak, mau beli kopi juga?"

Suara Rachita sukses menyentak gue kembali ke kenyataan. Gue beranjak dari sisi mobil dan menghampiri dia dan Mita yang udah duduk-duduk di bangku taman. Di tangan Mita udah ada segelas kopi susu kesukaannya sementara di tangan Rachi ada segelas susu jahe favoritnya dari kecil. Gue mengangguk, "Kopi hitam satu, Chi." dan segera beralih untuk duduk disisi Mita.

Pandangan Mita hanya berfokus kehadapannya; jalanan dengan kendaraan-kendaraan yang melintasinya. Tatapannya bukan tatapan mengobservasi, atau mengamati. Tatapannya kosong, tidak mencari-cari seperti biasanya yang dia lakukan. Benar-benar bukan seperti Mita. Gue sudah bersahabat sama Mita sejak SMA kelas 10 sehingga gue sangat mengenal dia. Mita dan tatapan mengobservasinya yang nggak pernah absen. Mita dan pikirannya yang selalu bekerja setiap saat, bahkan disaat diamnya mengisi ruang. Nggak ada Mita yang bengong, Mita yang mendadak diam. Jarang sekali gue menemui versi Mita yang ini, dan gue menjadi sangat khawatir sekarang.

Gue meletakkan telapak tangan kanan gue di bahunya, pelan dan lembut. "Lo tau kalo lo bisa cerita apapun ke gue, 'kan?" yang dijawab dengan anggukan darinya. Namun tatapannya masih terpaku ke jalan, dan masih kosong pula. Gue yakin kopi susu digenggaman dia masih sangat panas, tapi genggamannya nggak gemetar. Genggamannya kuat, seakan suhu panasnya ditelan cuma-cuma sama tubuhnya.

Nggak lama, Rachi datang dengan dua gelas minuman digenggamannya. Salah satunya punya gue, cairan pekat favorit. Gue langsung meraihnya dari Rachi dan menghirupnya tanpa ragu. Kopi hitam yang masih panas memang kesukaan gue sejak lama.

Tapi enggak dengan Mita. Minumannya masih diam didalam genggaman kuatnya.

"Kak, aku mau ke sebelah sana. Ada yang lagi bikin mural, mau foto-foto mumpung bawa kamera. Nggak papa, 'kan?" Gue mengangguk mengiyakan permintaan Rachi. Gadis itu langsung berlari menuju tempat mural yang dimaksudnya, kepangannya bergerak kesana dan kesini seiring langkah cepatnya. Lucu, padahal gue yang setiap hari mengepang rambutnya. Dan gue selalu berharap nggak akan pernah berhenti melakukannya.

[3] hereaboutsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang