7. The Meeting

103 3 3
                                    

Caleb sudah menendang beribu batu kerikil yang berusaha menghalanginya berjalan tanpa sengaja. Amarahnya mulai reda, sehingga kini ia ingin rileks dan menikmati angin sore yang sejuk menerpa wajah.

Di hadapannya, ia melihat sepasang remaja sedang bermain-main lepas seolah jiwa mereka terlepas dari tubuh. Caleb pikir ia sedang melihat sepasang kekasih yang sedang menghabiskan waktu di taman ini, namun kemudian ia berpikir dua kali karena melihat kemiripan yang tampak jelas di wajah keduanya.

Mereka kembar. Wow, menarik. Tidak tahan terus menjadi pengamat diam-diam, dengan senyum malaikat andalannya Caleb melangkah mantap mendatangi kedua kembar itu. Sepertinya tidak masalah mempunyai banyak teman manusia.

***

"Taman yang indah, bukan?" ucap Caleb berusaha sopan, dengan nada sok puitisnya.
Salah satu dari mereka, yang cowok, menengok dengan lambang wifi di keningnya, "Hah?"

Yang cewek buru-buru menginjak kaki saudara kembarnya dan berbisik "Inget yang mama bilang? Jangan gampang terpengaruh sama orang asing,"--yang tentunya terdengar oleh Caleb. Caleb menahan tawanya, apa tampang gue seperti pedofil yang suka nyulik adek kelas?

"Kalian nggak perlu takut gue nyulik--kalo itu yang kalian pikir, karena warga sini kalo udah denger teriakan orang aja langsung sigap kok. Mau bukti? Nih,"

Dengan ekspresi mangap, Caleb sudah siap-siap mengeluarkan suaranya. Tapi terhenti begitu saja ketika melihat seseorang menghampirinya terburu-buru, lengkap dengan baju hitam yang menutupi tubuh mereka.

"Mereka sudah menunggumu disana."

***

Beberapa saat setelah orang asing itu pergi, si kembar cewek bertanya,
"Sarv, kamu tau nggak tadi orang itu kenapa?" Dengan bingung, cowok yang bernama Sarvy itu menggelengkan kepalanya. Tak mau ambil pusing, kedua kembar itu melanjutkan permainnya kembali.

Namun, beberapa saat kemudian, ada seorang cewek menghampiri mereka kembali. Untungnya kali ini orang itu dikenal oleh si kembar.

"Sarvian! Sirvana! Kalian kemana aja sih? Aku baru dapet kabar dari Tante Olly kalo kalian udah nyampe di komplek. Daritadi aku nyariin tau!" oceh orang itu panjang lebar.

"Eh, kak Melatine! Tadi kita abis main sebentar, terus ada orang asing ngajak kenalan. Tapi nggak sempet kita tanggepin kak, soalnya orangnya udah di bawa pergi duluan," jelas Sarvy panjang lebar. Saudarinya, Syrva, mengganggukkan kepalanya tanda setuju.

Orang yang dipanggil Melatine itu segera mengajak si kembar pulang. Dalam perjalanan, ia setengah berbisik,
"Disini, namaku bukan Melatine lagi. Just call me Caroline."

***

Ruangan itu sudah penuh berisi para orang-orang berjubah hitam, para tetua, dan tentunya Caleb, Calvin, dan Clarie. Meski udara lumayan sejuk, namun tampaknya tidak memengaruhi suasana yang akan dihadapi tiga saudara ini.

"Kalian terlihat tidak jauh beda dari pertemuan terakhir kita," salah satu para tetua, yang dikenal dengan nama Alfred, membuka topik pembicaraan.

"Ya, karena kami tidak diberi 'kebebasan', kan?" jawab Calvin dengan nada menantang, yang langsung dihadiahi tatapan tajam oleh Clarie.

Tetua lain, Sam, mengeluarkan tawanya mendengar kata-kata Calvin. Tawa mengejek tentunya.
"Apa yang kalian inginkan dari kami?" tanya Calvin langsung. Ia tidak suka basa-basi.

"Wow, tenang nak. Sama seperti biasanya, engkaulah yang paling to the point," ujar Alfred mengulur-ulur, sambil memegang segelas minuman yang entah apa itu dan entah kapan tiba-tiba sudah ada digenggamannya.

Tidak ada yang menanggapi perkataan Alfred barusan. Semuanya menunggu perkataan Alfred selanjutnya.
"Aku sudah tau tentangmu dan gadismu itu," ucapnya perlahan. "Dan kudengar, ternyata kau satu sekolah dengannya?" Calvin menganggukkan kepalanya dengan ritme kaku. "Aku ingin tahu sudah seberapa jauh langkahmu mendekatinya."

Alfred mulai berjalan ke arah Calvin, diamatinya wajah kaku pemuda itu baik-baik. Oh, tentu saja dia sudah tahu semuanya. Ia hanya ingin Calvin mengakui langsung 'kesalahannya'.

"Kenalan, satu sekolah, main bareng, mengamati dari jauh, selesai." jawab Calvin singkat. Jawabannya tidak membuat Alfred puas, sehingga Alfred bertanya lagi dengan penuh penekanan di setiap katanya, "Apa aku tidak salah dengar 'Bunga Melati untuk kesayangan Melati'?"

Pada akhirnya, Calvin menghela napas pasrah. Ia sudah tau para tetua akan memaksanya menjawab, lalu memberinya hukuman nanti. "Yah, aku tidak tahan melihatnya sedih, dan tiba-tiba saja terlintas dipikiranku bahwa bunga melatilah obatnya. Lalu semuanya terjadi begitu saja. Maaf. Aku tak sengaja mengatakannya."

Semuanya bungkam saat itu. Entah sedang mencerna, ataupun mengejek dalam hati, Calvin tidak peduli. "Lagipula dia sedang tertidur kan?"

Satu lagi tetua yang daritadi bungkam, Graham, kini mengeluarkan suaranya. "Bukan itu masalahnya nak. Tindakanmu itu bisa saja membangunkan ingatan gadismu itu sepenuhnya. Dan ketika semua itu terjadi, aku tidak tahu lagi dunia kita akan menjadi seperti apa."

***

Salah satu hobi Caroline saat ini, tidur memandangi awan melalui jendela. Tampak awan mulai menggelap tanda matahari akan tertidur. Caroline mengedarkan pandangannya lagi ke jendela rumah depan, rumah si saudara berwajah malaikat.

Sepi sekali, pikirnya dalam hati. Usai mengantar Sarvy dan Syrva ke kamar mereka masing-masing, Caroline kembali ke kamarnya untuk istirahat. Setelah ingatan yang kembali muncul dipikirannya tadi, Caroline penasaran, bagaimana selanjutnya? Ia ingin sekali tahu, tapi sekaligus takut untuk mencari tahu.

Ia mulai berguling-guling, merasakan empuknya kasur yang sudah menemaninya sejak lama. Caroline melihat lagi ke rumah Calvin, seakan menemukan sesuatu yang ganjal disana.

Dan benar, saat pandangannya turun ke lantai bawah, terlihat para makhluk berjubah hitam yang sedang mengelilingi Calvin, Clarie, Caleb, dan 3 orang kakek-kakek berumur 50 tahunan yang sedang dalam perbincangan serius. Meneliti lagi, Caroline melihat tampang resah di wajah Clarie dan Caleb.

Segera saja, ia bergegas menolong tetangga sekaligus teman barunya.

***

"Jadi apa yang harus kulakukan?" Calvin bertanya, ada nada lelah di dalamnya.

"Karena kau lah yang memiliki kenangan terdalam bersamanya, maka jauhi dia." jawab Alfred tegas dan mantap.
"Dan sebagai gantinya, Caleb, kau kuberi tugas untuk mendapatkan hatinya."

Calvin menatap para tetua dengan sorot mata kaget, begitu juga Caleb. Sontak saat itu juga, pintu rumah mereka tiba-tiba terbuka. Tubuh mungil itu, wajah manisnya, berdiri mengatur nafasnya seperti baru berlarian.

Caroline.

***

Muahahahaha! Haii im back guyss, udah panjang blom nih? Gak mau kalah dong aku buat nutup 2014 ini dengan part baru Chocolate & Strawberry! Maaf banget slow update karena stuck abis:(( hihi doakan saja semoga gak stuck lagi!!

Btw, konflik sudah mau dimulai. Bakal ada banyak flashback di part-part selanjutnya, so stay tune!

Happy new year, may all the good things happen in 2015!

31 Desember 2014

Chocolate & Strawberry [SLOW UPDATE]Where stories live. Discover now