07

53 6 0
                                    

Happy Reading!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Happy Reading!

...

Kalau handphonenya bisa Vino gunakan, pasti sudah ia pakai untuk memfoto tiap hal yang sempat ia lihat. Karena pemandangan di sekitarnya benar benar indah.

Bahkan desa yang kelihatan biasa ini tampak luar biasa dengan berbagai tanaman menjalar di sekitar rumah.

Ngomong ngomong soal tanaman menjalar, Vino jadi ingat kembarannya yang sudah mengetahui kekuatannya itu. Benar kata Asya, emosi yang tidak stabil membuat kita lebih mudah mengeluarkan kekuatan. Kalau begitu, apa Vino perlu marah marah  terlebih dahulu?

Gak. Pasti ada waktunya, pikir Vino ulang.

“Kita harus ke kepala desa.” Daniswara berkata. Ia tidak peduli dengan beberapa penduduk yang menatapnya sambil berbisik bisik.

“Gue dilihatin gini jadi insecure,” celetuk Vino, menatap ke penduduk di sekitarnya.

Meski biasanya juga sudah sering mendapati dirinya di tengah kerumunan orang sebagai perhatian mereka di sekolahnya, tapi ketika disini ia merasa tidak nyaman dengan tatapan mereka. Sejujurnya di sekolah juga sih. Vino jadi berpikir, apa dia memang dilahirkan untuk menjadi terkenal?

Ia bisa mendengar bisik bisik menyebutkan kerajaan dan si pemegang kekuatan. Vino jadi meringis, bagaimana ya reaksi mereka kalau tau kekuatannya bahkan belum ia ketahui?

Vani disampingnya mendengus, ternyata perempuan itu lebih galak daripada kelihatannya.

Vani mengeluh, “kalau bisik harusnya volumenya dikecilin lagi dong. Emangnya kita gak bisa denger kalau congornya gede begitu? Apa sengaja biar kita denger?”

Vino terkaget. Kembarannya ternyata selalu asal ceplos.

“Van, ih. Kenyaringan atuh ngomongnya.”

Dari belakang, Asya menyahut. Perempuan itu entah kenapa senang sekali berada di dekat keduanya.

“Gapapa, bagus kok nyaring-nyaring. Biar yang diomongin sadar.” Balas Vani.

Lalu di samping Asya ada Rama. Laki laki itu entah kapan telah berdiri di sana. Lagian, barisan mereka selalu tidak teratur.

Kalau semacam Dea selalu berlari mengekori Daniswara untuk menjaga posisi kepala barisan anak anak, si kembar malah terlihat seperti pengikut arus. Misalnya kalau mereka lelah ya tiba tiba saja sudah di belakang barisan, atau kalau bertenaga mereka bakal tiba tiba menyusul ke depan. Atau bahkan ada Asya yang bergerak ke depan dan belakang barisan, giat bergerak untuk mencari topik pembahasan.

Daniswara di hadapan mereka sudah sibuk berbicara dengan seorang lelaki.

Pembicaraan mereka tampak sangat serius, membuat yang lainnya saling mengobrol sendiri.

“Semuanya.” Daniswara menepuk tangannya. Membuat sorotan kembali kepada dirinya. “Kita dapat tempat buat menetap. Tapi kita harus membagi orang yang tinggal di rumah para penduduk. Agra, Rama dan Defan bisa satu tempat. Vino, Briel dan aku. Dea, Billa dan Lia. Sedangkan Asya bisa bersama Vani.”

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 29, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

POWER.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang