Love Story_12.

13 2 0
                                    

Klaudia menyikut pinggang Klara.

"Apa sih, Di?" desis Klara kesal.

"Lu mau emang di bawa ke BK?"

Klara menggeleng cepat. "Enggak lah gila kali lu ya? Lagi mana ada orang yang bahagia masuk ruangan neraka itu?"

Klaudia tersenyum sinis. "Tuh manusia samping lu, sumringah banget kaya orang mau dapet rezeki aja."

Mareta terus saja berjalan dengan senyum yang tercetak jelas di wajahnya. Gadis itu tidak menghiraukan teman-temannya yang saling berbisik di sampingnya. Dia tidak sabar mencoba sesuatu yang beda kali ini.

Klara mendengus menatap Mareta. Benar apa yang diucapkan Klaudia, gadis gila di sampingnya berjalan dengan cepat seperti tak sabar ingin menjemput rezeki. Bahkan sekarang dirinya dan Klaudia berjalan beberapa langkah dibelakang gadis itu.

"Hutapea!" seru Klaudia setengah berteriak. Gadis keturunan Jepang itu sangat kesal, sendari tadi ia terus menyabarkan hati agar tidak menerkam Mareta sekarang juga. Tapi sayangnya gadis berdarah Medan asli itu tidak memperhatikan ubun-ubunnya yang sudah gosong.

Mareta menjawabnya dengan gemingan malas. Hal itu membuat Klaudia semakin kesal. Klaudia mencekal pergelangan tangan Mareta. Dengan sekali hentakan gadis bermarga Hutapea itu berbalik menghadapnya. Tapi sayang sepertinya keberuntungan sedang tak memihak kepada Klaudia. Dalam hitungan detik Klaudia dan Mareta sudah menggelepar di lantai koridor, Klara yang melihat kejadian naas itu hanya menutup mulut berharap suara tawanya tidak sampai terdengar ke telinga dua orang yang sedang rebahan di hadapannya.

Baru saja Klaudia ingin membuka mulut bersiap memarahi orang yang membuatnya terjatuh dengan tidak hormat tapi suara bell menghentikan niatnya. Dengan tergesa Klaudia bangkit dan membereskan seragamnya yang sedikit berantakan.

Tak lama berbondong-bondong para siswa-siswi berlarian melewati koridor untuk menuju kelas masing-masing. Mareta, Klaudia, dan Klara mati-matian menahan tubuhnya agar tidak terjatuh. Mereka bertiga bernafas lega ketika keadaan semakin kondusif, mereka yakin orang-orang yang tidak beradap tadi sudah masuk ke kelas.

Ke tiga gadis itu bersandar pada dinding koridor, mencoba menenangkan jantung mereka yang berlomba-lomba.

Merasa sudah tenang, gadis bermarga Hutapea itu menoleh kepada ke dua temannya yang terlihat mengenaskan dengan peluh yang bercucuran, dan penampilan yang berantakan.

Klaudia menaikan satu alisnya menghadap Mareta. Sekarang dirinya sungguh kesal dengan gadis Hutapea sialan di hadapannya. Karena gadis itu pagi-pagi dirinya sudah tertimpa kesialan yang bertubi-tubi, apa lagi ia juga harus menyiapkan mentalnya yang akan menghadapi keidiotan Bu Mardiah yang sudah akut.

Mareta tersenyum geli melihat tatapan Klaudia yang tak bersahabat, gadis itu menghiraukannya, dan katakanlah moodnya sedang baik karena dirinya sedang ingin perdamaian lalu melancarkan rencananya yang sudah ia susun sekedemian rupa.

"Klara! Klaudia! Mareta!"

Mereka bertiga tersentak mendengar nama mereka dipanggil secara tiba-tiba.

"Bangsat lu kodok babi anj-" Klara langsung membekap mulutnya. Sungguh tadi ia benar-benar keceplosan, biasanya ia tidak gampang selatah ini. Pasti ini karena efek parnonya.

"Klara ...!"

"I-iya, siap ada apa, pak?"

"Ngomong apa tadi kamu?"

Klara menoleh ke sampingnya, terlihat beberapa langkah dari posisinya, berdiri lelaki yang memakai seragam olahraga itu sedang menatapnya tajam. "Eh, Pak Sigit. Apa kabar?" Klara menelan salifanya susah payah ketika hanya geraman yang ke luar dari mulut lelaki paruh baya di hadapannya. "Bapak dari kapan di sini?" tanyanya mencoba mencairkan suasana yang seakan-akan membakarnya.

"Dari tadi." Lelaki itu melihat ke arah ke dua muridnya yang tak menghiraukan keberadaannya.

Klaudia langsung menyentuh jantungnya yang meloncat-loncat hebat. Sedangkan Mareta gadis itu terus mengumpat dalam hati.

"Kalian itu benar-benar ya!" Lelaki yang bernama Sigit itu menggeleng heran, ia tidak habis pikir dengan jalan otak ke tiga muridnya,  tak mau ambil resiko proses penuaannya lebih cepat karena sering marah-marah dirinya memilih meninggalkan ketiga gadis itu.

Mareta mengerucutkan bibirnya kesal. "Pak!" teriaknya karena melihat guru olahraga itu yang berjalan menjauh.

Klara bertolak pinggang menghadang Mareta yang berniat mengejar Pak Sigit, salah satu guru olahraganya yang sangat menyebalkan.

Mareta berkelit ke kanan mencoba meloloskan diri dari Klara. Tapi harus gagal karena Klaudia langsung gerak cepat menghadang dirinya, mengisi celah agar tak ada jalan untuk ia mengejar Pak Sigit. "Audi!" teriaknya prustasi. "Minggir enggak lu berdua!"

Klaudia hanya menaikan pundaknya acuh. "Eta! Dengerin kata gue,"

"Eta, Eta. eta terangkanlah?" ucap Mareta sambil memutar bola mata jengah.

Klaudia tersenyum sinis. "Audi, Audi. Audi Merisa?" sahutnya.

Klara melipat ke dua tangan. Gadis itu sungguh kesal. Jika sudah seperti ini pasti tidak ada yang mau mengalah, selagi mendengarkan sahabatnya yang sedang berdebat, ia memilih menyingkir sebentar mencari tempat yang pas untuknya menikmati pertunjukan dadakan yang di gelar di hadapannya. Baru saja matanya ingin terpejam, suara yang menyerupai petir menghantam indra pendengarannya berulang-ulang.

"Klara!"

"Klara!"

Klara langsung berdiri bersiap untuk lari. Tapi langkahnya terhenti, dirinya mematung. "Kok bisa ya geledek manggil nama gue? Emangnya dia tau dari mana?" gumamnya.

"Klara! Sini!"

Klara menoleh ke arah ke dua temannya yang berjalan mendekat. "Ayo kita harus pergi!"

Klaudia dan Mareta mengerutkan alis dalam secara bersamaan.

Mengerejap beberapa kali Klara baru tersadar. Wah mati gue! Ternyata suara ini orang, kali geledek.

"Klara lu ngomong apasih?" tanya Klaudia yang merasa bingung dan heran. Dirinya tak paham dengan perkataan yang diucapkan Klara barusan.

"Emmmm, anu. E-etu."

Mareta memutar bola mata. "Udah deh, Di." Klaudia melemparkan tatapan tajamnya ke arahnya, lagi dan lagi dirinya mengacuhkannya, ia tau pasti gadis keturunan Jepang itu sudah ingin membunuhnya sekarang. Tapi saat ini kemarahan sahabatnya bukan yang terpenting, ada hal yang lebih penting dari ini. "Ayo kita tanya Klara? Dia pilih yang mana?" tanyanya mencoba mengabaikan Klaudia yang sudah bertanduk, siap menyeruduknya kapan saja.

Mendengus, Klaudia mencoba bersabar kembali, meski rasa sabarnya sudah di stok terakhir, hampir mendekati 0,0%. Sekarang ia harus mengalah demi kemenangan. Karena dirinya yakin pasti Klara setuju dengannya. "Terserahlah." Ucapnya acuh sambil mengangkat dagu angkuh.

Dengan bermodalkan tingkat kepedean yang tinggi Mareta tersenyum remeh ke arah Klaudia. "Gimana, Ra?"

"Hah? A-apa?"

"Lu pilih siapa?"

Klara terdiam, ia tidak tau harus memilih siapa? Ke dua-duanya sahabatnya. Dirinya juga tidak tau siapa yang benar dan salah. Terlagi gadis cantik itu tak tau apa yang menjadi bahan pertimbangan ke dua sahabatnya, sampai suaranya menjadi fotingan terpenting.

Klaudia sudah sangat gerah melihat Mareta yang selalu menampilkan wajah dan senyuman angkuhnya. Dasar gadis saiko, bathinnya. "Buru Napa, Ra? Gerah nih gue."

"Gue-"

"Gue apa?" Potong Klaudia karena Klara tak kunjung berucap.

# # #

Yeaye aku up. Sorry kalau banyak typo atau kata2 yang tidak sesuai dengan cara kepenulisan dari chapter sebelumnya.

Note : revisi setelah tamat.

#tbc!

Please jangan jadi sailent readers ajah yaa.

LOVE STORY IN THE DARK (On Going.)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang