Keesokan paginya aku keluar dari kamar dengan mata sembab dan wajah lesu. Ibu sudah menunggu di depan pintu sembari tersenyum menguatkan dan membelai rambut. Kami akan pergi dari rumah ini setelah selesai menyiapkan sarapan untuk keluarga Nyonya Ratna terlebih dulu.
"Biar Anna aja yang bawain, Bu." Aku mengambil alih tas dari tangan ibu.
"Ayo, Neng!" Ibu menggenggam tangan kananku yang bebas.
Tuan dan Nyonya besar juga kedua putranya tengah duduk menunggu kami di ruang tengah. Memang Nyonya Ratna sudah meminta kami untuk menemui mereka setelah selesai sarapan. Seharusnya Tuan Alex dan ayahnya sudah berangkat kerja. Namun, karena ada masalah ini, mereka jadi menunda keberangkatan ke kantornya.
Pandangan mata mereka serempak melihat ke arah tanganku yang tengah menjinjing tas yang lumayan besar. Aku hanya berani melirik sebentar, setelah itu kembali menundukkan pandangan.
"Kalian mau ke mana? Kenapa bawa tas segala?" Tuan Burhan membuka suara.
"Anu, Tuan. Saya sadar putri saya Anna sudah lancang di rumah ini. Maafkan kami, Tuan. Kami siap dipecat dari sini," jawab ibu.
"Siapa yang bilang saya akan memecat kalian?" Kini Nyonya Ratna yang membuka suara.
"Jadi Nyonya ...." Ibu tidak melanjutkan ucapannya.
"Saya tidak akan memecat kalian. Saya tidak mau kehilangan pembantu sebaik kalian. Apalagi masakan Bu Lasmi dan Anna sama-sama enak," imbuh Nyonya Ratna.
"Alhamdulillah," gumam ibu pelan, tapi masih bisa didengar olehku.
"Anna."
"I-iya, Nyonya?" Aku memberanikan diri mengangkat wajah menatapnya.
"Kamu tahu kesalahanmu apa?" tanya Nyonya Ratna.
"Iya, Nyonya. Maafkan saya." Aku menunduk kembali. Merasakan desir perih di dalam dada.
"Nyonya tenang saja. Saya jamin putri saya akan menjauhi kedua tuan muda." imbuh ibu.
Semuanya tiba-tiba serempak tertawa kecuali Tuan Alfian. Sedari tadi ia hanya diam seraya memegang gelas minum di tangan. Aku memberanikan diri meliriknya. Ternyata ia juga sedang menatapku.
Pandangan kami saling mengunci untuk beberapa saat. Aku spontan menahan napas. Jantung ini pun seolah enggan berdetak saat melihat tatapan dinginnya. Menakutkan seperti saat baru pertama kali kenal dulu.
Aku dan ibu saling melempar pandang bingung melihat mereka tertawa.
"Itu nggak perlu Anna lakuin Bu Lasmi," ujar Tuan Burhan.
"Maksudnya Tuan?" Ibu masih ragu dengan maksud yang diucapkannya.
"Kami sudah sepakat merestui Alex menikah dengan Anna," ungkap Tuan Burhan.
Mataku membelalak terkejut dengan mulut sedikit terbuka. Benarkah yang kudengar barusan? Mereka merestui kami? Rasanya ini tidak mungkin. Apa aku sedang bermimpi?
Aku mencubit pipi sendiri. Sakit. Ternyata ini nyata. Aku ... menikah dengan Tuan Alex?
Aku melirik Tuan Alex di sofa samping kanan. Ia mengulum senyum seraya mengedipkan sebelah matanya.
"Apa saya nggak salah dengar, Tuan? Putri saya nggak pantas masuk keluarga ini. Status sosial kami terlalu jauh," lirih ibu.
"Bu Lasmi nggak perlu khawatir. Kami sudah setuju asalkan Alex bahagia. Senyum Alex kembali setelah kepergian Maria dan itu semua berkat kehadiran Anna," ujar Tuan Burhan.
"Jadi bagaimana Anna? Apa kamu bersedia menikah dengan Alex?" tanya Nyonya Ratna.
Aku menelan ludah susah payah. Meski ini nyata, tetap saja terasa seperti mimpi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anna's Love Story
RomanceDua anak majikan sama-sama jatuh cinta kepadanya. Siapakah yang akan Anna pilih pada akhirnya? (Anna's Love Story)