Bagian 10

235 21 4
                                    

Sepanjang perjalanan Tuan Alfian malah terus cengengesan melirikku yang cemberut. Menyebalkan sekali dia. Senang di atas penderitaan orang. Aku benar-benar malu. Orang-orang bersorak dan bersiul menggoda saat ia menggendong paksa ke mobil. Bodoh memang. Harusnya aku teriaki saja dia penculik.

Eh? Jangan, deh. Kasihan. Nanti wajah rupawannya hilang tak berbentuk. Haha.

Tuan Alfian lebih dulu masuk ke dalam rumah sedangkan aku mengekorinya.

"Lho, kalian kenapa? Kenapa wajahmu lebam, Fian?" tanya Nyonya Maria yang sedang duduk membaca majalah di ruang tengah.

"Nggak apa-apa, Mbak." Ia melenggang pergi ke kamarnya tanpa menoleh lagi.

"Anna, kenapa kamu pulangnya nyeker?" tanyanya penasaran.

"Nggak apa-apa, Nyonya. Tadi sepatunya saya pake buat mukul curut jadinya disuruh buang," jawabku berbohong.

"Curut?" Kening Nyonya Maria berkerut.

"Saya pamit ke belakang, ya, Nyonya." Aku pergi setelah Nyonya Maria mengangguk, masih dengan wajah bingungnya.

Ibu sedang menyiram tanaman halaman belakang saat aku menghampirinya.

"Biar Anna aja, Bu." Aku mengambil alih selang di tangannya.

"Kamu udah pulang, Neng?"

"Iya, Bu. Baru aja."

"Nggak ada apa-apa, kan, di sana? Mereka nggak jahatin kamu, kan?"

Aku menggeleng. "Nggak, Bu."

"Ini?" Ibu menyentuh belakang rambutku yang masih lengket bekas dilempar tadi. "Sudah ibu bilang kamu nggak usah ikut, Neng."

"Nggak apa-apa, Bu. Ini mah bukan masalah besar buat Anna. Lagian, Tuan Alfian belain, kok."

Oh, iya! Aku jadi teringat wajahnya yang lebam-lebam. Apa dia berkelahi karena membelaku?

"Sudah sana kamu mandi dulu, Neng. Habis itu bantu ibu masak buat makan malam." Ibu mengambil kembali selang di tanganku.

"Iya, Bu."

Aku menuruti perkataannya. Namun sebelum mandi, sebaiknya aku membawakan es batu dan saputangan juga obat untuk luka di wajah Tuan Alfian.

"Anna!"

Aku menoleh saat baru hendak menaiki tangga. Tuan Alex baru pulang ke rumah.

"Ya Tuan. Ada apa?"

Ia mengulum senyum seraya menggaruk kepala belakangnya. "Nggak ada apa-apa."

Aku mengernyitkan dahi kemudian kembali berjalan menaiki tangga. Tuan Alex mengikuti di belakang menuju kamarnya. Sesaat sebelum aku mengetuk pintu kamar Tuan Alfian, Tuan Alex kembali memanggil.

"Ya?"

"Kamu sangat cantik hari ini." Wajahnya merona. Ia langsung melangkah cepat dan menghilang begitu saja di balik pintu kamar.

Sedangkan aku sendiri masih berdiri terpaku di tempat. Pujiannya sudah berhasil membuat jantung berdentum kencang. Aku menarik napas dalam dan menggelengkan kepala cepat. Mencoba mengusir pikiran dan perasaan tentang dirinya.

"Tuan." Aku mengetuk pintunya berkali-kali.

"Masuklah!" serunya.

Tuan Alfian berdiri di depan kamar mandi seraya menggosok rambutnya dengan handuk kecil. Pantas saja dia lama menyahut panggilanku.

"Kenapa?" Ia berjalan ke arah sofa dan duduk di sana.

"Ini. Saya bawakan obat untuk lukanya." Aku menghampiri dan berdiri tepat di hadapannya.

Anna's Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang