Bagian 9

224 23 13
                                    

"Jangan pernah berani godain dia." Tuan Alfian berdiri tepat di sampingku, merangkul pundak. "Dia ... wanitaku."

Ketiga pria itu saling melempar pandang. Tersenyum sinis kemudian berlalu pergi dari hadapan kami. Pria berjambang tipis itu masih sempat melirik sekilas sebelum membaur di kerumunan teman-temannya.

"Baru ditinggal sebentar aja udah dikelilingin kumbang-kumbang," celetuk Tuan Alfian.
"Aww!" Ia meringis sakit saat aku menyikut perutnya. "Apaan, sih? Kok nyikut?"

"Tangan itu tangan, tolong dikondisikan." Aku melirik tangannya yang masih bertengger di pundakku.

"Elaahh, baru dirangkul. Gimana kalau dici--." Ucapannya terputus karena aku meraup wajah dan mendorongnya sedikit.

"Jangan mikir yang aneh-aneh, deh." Aku kembali duduk setelah rangkulannya terlepas.

"Nih." Ia menyerahkan segela minuman kepadaku. "Penampilan udah kayak princess, tapi kelakuan masih bar-bar." Ia terkekeh dan ikut duduk di sebelahku.

"Biarin," sahutku cuek. Menyeruput sedikit minuman darinya. "Temanmu yang ulang tahun, namanya siapa?"

"Tantri. Kenapa?"

"Kayaknya dia suka sama kamu, deh."

"Kenapa bisa nebak gitu?" tanyanya.

"Keliatan dari cara dia ngeliatin aku tadi. Jutek banget," jelasku.

"Nggak usah digubris. Mau dia jungkir balik sekalipun, aku tetep maunya sama kamu." Ia mengedipkan sebelah mata. "Aww!"

Aku menggeplak tangannya yang kembali merangkulku.

"Kita pulang, yuk! Acaranya nggak seru. Bosen."

"Nantilah. Baru juga nyampe. Makan dulu kita. Ok?"

Aku mendesah berat seraya membuang muka ke arah lain.

"Fian!" Salah satu temannya berlari mendekat. "Ikut ke atas dulu. Si Tantri pengen ngomong."

"Ngomong apaan? Suruh ke sini aja orangnya," tolaknya cuek.

"Sebentar doang. Ayo! Dia udah nungguin itu." Temannya menarik-narik lengan Tuan Alfian.

"Iya." Tuan Alfian menyentak lengan temannya dan segera berdiri. "Tunggu sebentar, ya." Ia menoleh kepadaku.

Aku mengangguk. Belum jauh Tuan Alfian melangkah, ia kembali berbalik menghampiriku.

"Apa?" tanyaku bingung.

"Nggak usah senyum-senyum sama cowok lain. Pasang aja muka jutek. Awas, ya!" Ia memperingati kemudian berlalu pergi. Aku melongo mendengar ucapannya.

Apa-apaan dia?

Selepas kepergiannya, aku berdiri dan berjalan menghampiri meja di ujung dekat kolam renang. Meletakkan gelas dan mengambil beberapa cemilan yang sudah di sediakan di sana.

Ehm ... enak juga kuenya.

Aku menikmati hidangan yang tersedia tanpa peduli dengan pandangan orang-orang di sini. Terserah mereka mau bilang apa. Sayang sekali makanan seenak ini dibiarkan begitu saja.

Anna's Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang