AILLENA __ 08

170 16 7
                                    


.

.

Terkadang kita harus melihat sesuatu yang berbeda dari sudut pandang yang berbeda pula

*-*-*-*
.

.

Sreekk...

Suara pintu yang digeser pelan berhasil mengalihkan atensi Dean dan Virga. Tania dengan raut khawatirnya menatap kosong ke arah Aileen yang tertidur. Merasa jika adiknya butuh privasi, Virga segera keluar setelah menepuk pelan pundak Dean.

"Bagaimana keadaannya?" tanya Tania setelah lama terdiam.

Dean tersenyum. "Sudah lebih baik. Setidaknya dia tidak butuh donor darah"

Tania memejamkan mata, membiarkan liquid bening yang sejak tadi bersarang di pelupuk matanya berjatuhan. Bibirnya tak henti mengucapkan rasa syukur. Ia berjalan mendekati bangsal dan menincium sayang kening putri bungsunya. "Kau pasti lelah setelah oprasi tadi. Istirahatlah, aku yang akan menjaga Aileen"

Dean menggeleng. "Kau saja yang istirahat. Aileen pasti akan senang saat bangun nanti dan melihat keberadaanmu. Dia selalu mengatakan jika dia merindukan Mamanya"

Wanita yang usianya nyaris kepalan empat itu tersenyum tipis. Ada rasa nyeri di hatinya saat mendengar ucapan sang suami. Ketiga anaknya pasti sangat merindukan kepulangannya dirumah. "Kau tau... Aku merasa telah mengulang masa lalu. Rasanya seperti meninggalkan Vito sendirian dirumah" katanya pelan. "Ibu macam apa yang tidak ada saat anaknya membutuhkan kehadirannya"

Dean segera merengkuh Tania dalam pelukan hangatnya. "Jika kau merasa buruk menjadi seorang Ibu, maka aku merasa lebih buruk menjadi Ayah dan kepala keluarga"

Tania menangis dipundak Dean setelah mendengar penuturan sang suami. Pada akhirnya semua orang tua akan menyalahkan diri sendiri atas segala sesuatu yang menimpa anak-anaknya.

Diluar ruangan, tanpa diketahui siapapun Thio tengah mengepalkan erat tangannya dengan mata berkaca-kaca menyaksikan pemandangan dari kaca jendela kecil dipintu. Ia sengaja menolak tawaran Gia untuk menyusul Virga, Meta dan Gerlan ke kafetaria karena ingin menemui sang adik. Namun, sepertinya ia harus mengurungkan niatnya untuk masuk saat melihat orang tuanya didalam ruangan.

Melihat orang yang ia sayangi menangis adalah hal yang paling Thio benci. Ia bersyukur bukan Gerlan yang melihat ini, meskipun terlahir sebagai anak kembar, posisi anak sulung tetaplah dipegang oleh Gerlan. Thio tidak mau menambah beban pikir saudara kembarnya itu. Tatapannya kini beralih pada Aileen yang tampak tak terganggu dengan isak tangis sang Mama. Mungkin terdengar jahat. Namun, Thio berharap Aileen tak bangun malam ini. Adik kecilnya itu pasti akan terus-terusan menyalahkan diri sendiri karena membuat sang Ibu menangis.

"Huft..." Thio menghela nafas berat. Mengusap air mata yang entah sejak kapan mengalir dipipinya. Dalam hati Thio tersenyum kecut. Satu sekolah pasti akan tertawa meledek saat melihat Thio yang dicap playboy (meski kenyataannya tidak) mengangis didepan sebuah pintu. Ia sudah cukup menerima kritik pedas setelah vidio rekaman berisikan ia yang tengah memukuli Edgar tersebar. Untunglah semua fans-fans setia selalu mendukungnya. Menjadi public figur membuatnya harus bisa mengatur ekspresi dan tingkah laku dihadapan banyak orang. Ia dipaksa harus melakukan sesuatu yang berada diluar kehendaknya.

"Kenapa tidak masuk?" suara itu berhasil membuyarkan pemikiran Thio. Sisulung keluarga prawisra memandang sang adik dengan alis berkerut, salah satu tangannya membawa satu cup kopi.

AILEENA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang