Pagi hari, langit lampak mendung, meluruhkan tiap tets airnya meski samar. Reynand menghela nafas panjang. Tatapannya tak beralih dari kaca jendela yang menampakkan pemandangan gerimis di luar sana. Ia benci hujan. Tidak ada alasan khusus. Ia hanya tidak menyukainya."Reynand!"
Seruan sang ibu dari lantai bawah berhasil mengalihkan atensinya. Tanpa berlama-lama ia segera keluar kamar untuk menemui Ibu yang melahirkannya. Meski agak pendiam, Reynand adalah tripikal orang yang penurut terutama pada sang Ibunda. Selama ini ia tak pernah membiarkan sang Ibu memanggil namanya lebih dari dua kali. Sebisa mungkin ia akan menemui Seila saat panggilan pertama.
Senyum cerah yang tersungging di wajah adalah pemandangan pertama yang Reynand lihat begitu menuruni anak tangga. Sang Ayah tampak acuh memainkan kamera kesayangannya.
"Letakkan kamera itu saat makan atau aku akan membantingnya" ancam Seila tajam membuat Petra meringis ngeri lantas dengan cepat menyembunyikan kamera kesayangannya dari pandangan sang istri.
Reynand terkekeh pelan. Hal ini memang sudah biasa terjadi dalam keluarganya. Ia segera mengambil tempat untuk duduk. Membiarkan Seila mengisi piringnya dengan nasi dan lauk pauk. "Putraku harus makan yang banyak agar punya nutrisi untuk berfikir" kata Seila dengan senyum yang tak pernah luntur.
Petra memutar bola mata malas. "Jangan manjakan dia. Dia sudah besar" katanya jengkel.
Seila mendelik tajam mendengar ucapan sang suami. "Bagiku dia tetaplah putra bungsu dikeluarga ini. Bilang saja kalau kau iri"
Kali ini Reynand tak bisa menahan tawanya. Jika anak-anak lain tidak suka melihat pertengkaran orang tuanya, Reynand berbeda. Ia justru sangat menikmati pertengkaran orang tuanya, apalagi jika mereka sampai beradu mulut atau perang dingin. Menurut Reynand, hubungan orang tuanya ini terlalu lempeng dan tidak seru. Tidak romantis, tidak juga berkonflik hingga Reynand bosan dibuatnya.
"Putra Mama tampan saat tertawa seperti itu, persis seperti idola Mama dulu" puji Seila.
Reynand tersenyum. "Benarkah? Berarti idola mama dangat tampan"
Seila berdecak kagum, menerawang wajah idola kesukaannya dulu. "Tentu saja. Dia sangat tampan. Bahkan lebih tampan daripada Papamu"
"Jangan berbicara saat makan" Ujar Pertra yang mulai jengkel dengan ucapan Seila. "Reynand, cepat habiskan makananmu. Kita akan pergi setelah ini" pria berusia kepalan empat itu mengalihkan pembicaraan.
Kening Reynand berkerut mendengar ucapan Sang Ayah. "Pergi? Saat cuaca sedang buruk seperti ini? Kemana?" Tanyanya kesal sekaligus penasaran. Ayolah... Ia sangat malas keluar rumah saat sedang hujan seperti ini. Meski pintar dan tampan, Reynand tetaplah seorang manusia yang punya rasa malas. Ia sudah membayangkan akan berbaring diranjang atau bermain game sampai puas. Mumpung hari libur.
"Aileen dirawat dirumah sakit. Kami berencana menjenguknya dan kau harus ikut. Kau temannya Gerlan, akan aneh jika kau tidak ikut" Jelas sang Mama.
Reynand mengangguk, mulai menghabiskan makanannya tanpa banyak mengeluh. Otaknya sibuk memikirkan sesuatu. Apa sakit yang diderita Aileen cukup serius hingga gadis itu harus dirawat dirumah sakit?
.
.
"Berhentilah menggonta-ganti saluran tv itu. Aku juga ingin menikmatinya!" hardik Thio jengkel. Pasalnya Aileen tak henti-hentinya menggonta-ganti saluran acara tv hingga kepala Thio pusing melihatnya.
Aileen meletakkan asal remot tv di nakas sebelah bangsal tempat ia terduduk. "Aku bosan" rengeknya.
Tania tersenyum mendengar rengekan manja putrinya. "Makan saja buah ini jika kau bosan" Tania menyerahkan piring berisi pepaya yang telah dipotong-potong.
KAMU SEDANG MEMBACA
AILEENA
General FictionWARNING: FOLLOW PENULIS SEBELUM MEMBACA! SQUEL OF VANATHEA DAPAT DIBACA TERPISAH . "Aku memperdulikan terlalu banyak hal, dan itulah masalahnya" _______________________________________ Bukan tentang Vanath dan Thea... Ini adalah sebuah cerita tent...