Dua bocah kecil tengah berlari tersuruk-suruk menembus lebatnya ilalang dan ranting-ranting pohon yang menghambat jalan. Sesekali mereka tampak menoleh ke belakang untuk memastikan apakah telah aman. Bocah perempuan yang berlari di belakang sudah terengah-engah dengan napas hampir putus. Sesekali tubuhnya terjungkal namun bocah laki-laki yang berlari didepannya tak mempedulikan. Meski di belakang tak terlihat apa-apa dia terus berlari sekuat tenaga. Sementara bocah perempuan itu sudah bangkit kembali dengan susah payah. Lututnya terlihat berdarah. Sedang kulit bahunya luka-luka kecil akibat tergores ranting-ranting pohon.
"Kakang Panjalu, berhentilah sejenak. Aku sudah tak kuat lagi. Napasku sesak...!" teriak bocah perempuan itu.
Namun agaknya bocah laki laki yang dipanggil Panjalu tak hendak menghentikan larinya. Bahkan tak menoleh ke belakang sama sekali.
"Aduh...!" Bocah perempuan itu mengaduh kesakitan ketika kembali terjerembab. Barulah bocah laki-laki itu menoleh dan menghampirinya.
"Sumi...! Ayo, cepat! Kau tak ingin mereka mengejar dan membunuh kita, bukan?!"
"Aku tak kuat lagi, Kang...," keluh bocah perempuan yang dipanggil Sumi.
Panjalu tampak kesal sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Bola matanya liar menatap ke belakang berkali kali dengan wajah cemas.
"Ayo, naik!" ujarnya sambil berjongkok, bermaksud menggendong adiknya.
"Kang! Kita istirahat dulu. Aku lapar dan haus...," keluh Sumi.
"Aduuuh! Coba tahan dulu rasa lapar dan hausmu itu. Mereka akan terus memburu dan membunuh kita. Bahkan...," Panjalu tak meneruskan kata-katanya.
Panjalu menatap wajah adiknya lekat-lekat. Sementara Sumi sama sekali tidak bergerak, dan hanya menunduk. "Baiklah.... Kita bersembunyi di tempat yang aman dan mencari buah-buahan yang bisa dimakan...," lanjut bocah laki-laki berusia sekitar empat belas tahun itu seraya menggandeng tangan adiknya.
Mereka terus melangkah memasuki semak belukar yang banyak ditumbuhi pohon buah-buahan. Sambil mencari tempat berlindung, Panjala mulai mencari buah yang banyak tumbuh di sekitarnya.
Sementara, Sumi duduk pada akar pohon yang cukup besar ketika melihat kakaknya memanjat sebatang pohon. Wajah bocah perempuan itu tampak pucat bagai tak berdarah. Sekujur badannya kotor dan penuh bercak-bercak hitam yang tak berdarah ditambah koreng-koreng yang belum sembuh. Demikian pula kakaknya. Kedua bocah itu memang mengidap penyakit kusta.
Sumi begitu asyik memperhatikan kakaknya yang sudah berada di atas pohon, memetik buah jambu air yang ranum-ranum. Namun belum lagi buah itu dilemparkan ke arahnya, mendadak...
"Hahaha...! Mau lari ke mana lagi kalian sekarang?!"
Tiba-tiba terdengar bentakan keras bercampur tawa kegirangan dari belakang bocah perempuan berusia dua belas tahun itu. Kemudian berlompatan lima sosok laki-laki berwajah seram mengelilinginya.
"Kakang Panjalu!" Sumi tersentak kaget. Dan sambil menjerit memanggil kakaknya, dia bangkit dan bermaksud melarikan diri.
"Tangkap bocah itu!" Salah seorang dari kelima pengepung telah mencegat sambil menyodorkan golok, begitu mendengar perintah.
"Ayo! Jangan coba-coba melarikan diri! Diam di tempat!" bentak orang itu pada jarak satu tombak.
Laki-laki berkumis melintang itu memang tak mau berdekatan dengan bocah bernama Sumi, karena takut ketularan penyakitnya. Sementara bola mata bocah perempuan itu menatap tajam dengan perasaan takut, namun penuh kebencian.
"Mana kakakmu?!" gertak laki-laki berkumis melintang itu lagi.
Sumi hanya diam seribu bahasa.
"Sial! Hei?! Apa telingamu tuli?! Mana kakakmu?! Ayo, jawab! Kalau tidak kupancung kepalamu!"
"Aku di sini!" sahut Panjalu tiba-tiba melompat turun dari atas pohon.
Sebenarnya, Panjalu bisa saja bersembunyi dan menyelamatkan diri dari incaran kelima orang yang seluruhnya mengenakan seragam hitam itu. Namun bocah ini tahu betul kalau mereka sangat kejam. Mereka tak segan-segan untuk membunuh, walaupun yang dihadapi hanya bocah kecil. Itulah sebabnya, dia lebih memilih turun dan menghampiri adiknya. Perasaan sebagai kakak tak rela adiknya bakal menjadi bulan-bulanan nanti.
"Bagus! Rupanya kau sayang pada adikmu, ya? Nah, ayo tunjukan pada kami. Di mana kitab itu!" bentak laki-laki yang berkepala botak.
Panjalu memeluk adiknya, seraya menatap kelima orang itu satu persatu. Telinganya memang merasa tidak asing lagi mendengar pertanyaan itu. Sehingga, tak ada alasan baginya untuk mengatakan tak tahu. Percuma saja. Memang, semua orang merasa yakin kalau bocah itulah yang mengetahui di mana kitab ilmu silat yang amat langka dan banyak dicari tokoh persilatan.
"Ayo, katakan cepat!" bentak laki-laki berkepala botak itu lagi. Keempat kawannya menatap garang kedua bocah itu.
"Baiklah. Mari ikut kami...," sahut Panjalu sambil melangkah pelan.
"Tunggu! Mau ke mana kau?!" bentak laki-laki berkumis melintang seraya mengacungkan golok dengan tatapan curiga.
"Bukankah kalian menginginkan kitab itu?" sahut Panjalu, enteng.
"Hm... Jangan coba-coba mengakali kami. Tunjukkan saja, di mana tempatnya!" desis laki-laki yang berwajah penuh bopeng.
"Apakah kalau kutunjukkan tempatnya, lantas kalian percaya dan mau melepaskan kami?"
Mendengar pertanyaan itu, laki-laki berwajah bopeng ini menoleh kepada kawan-kawannya. Mereka berpikir sesaat. "Baiklah. Tapi, awas! Kalau sampai berani menipu kami, kalian berdua akan mampus, tahu?!" kata laki-laki yang berkumis melintang, memberi keputusan.
"Tentu...!" sahut Panjalu sambil tetap merangkul pundak adiknya. Kini kakak beradik itu melangkah paling depan di antara kelima orang berpakaian serba hitam yang berada di belakang.
KAMU SEDANG MEMBACA
122. Pendekar Rajawali Sakti : Sepasang Pendekar Bertopeng
ActionSerial ke 122. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.