Ki Ajar Ningrat geram bukan main karena merasa dipermainkan orang yang tak jelas rupanya. Telah cukup lama mengejar, namun belum juga bisa dipastikan siapa sebenarnya bayangan kuning itu. Gerakannya cepat luar biasa. Agaknya itu memang disengaja, untuk menunjukkan kalau ingin meninggalkan pengejarnya, maka bukan persoalan susah.
Ki Ajar Ningrat bertambah penasaran saja, sebab meskipun telah mengerahkan seluruh kemampuannya, tetap saja tidak dapat mengejar. Sementara, padepokannya sendiri sudah tertinggal jauh. Dan kini orang tua itu mulai sadar kalau telah terpancing. Sebenarnya tadi pun sudah disadarinya. Namun, dia merasa malu kalau sampai berhenti dan membiarkan orang yang dikejar mempermainkan dirinya. Namun setelah sekian lama berlan napasnya mulai tak beraturan. Bahkan tenaganya sudah banyak terkuras. Kalau begini terus-menerus tentu tenaganya akan habis. Sementara, orang yang diburunya itu tak menunjukkan keletihan sama sekali.
"Setan! Agaknya dia memang sengaja membuatku letih dan memancingku jauh ke sini!" maki orang tua itu, seraya menghentikan langkah dan mengatur napasnya.
"Hihihi...! Orang tua busuk, apakah kau akan memilih tempat kematianmu di sini?!" Tiba-tiba terdengar tawa mengikik, yang disertai suara meledek terhadap Ki Ajar Ningrat.
"Heh?!" Ki Ajar Ningrat terperanjat kaget. Dan belum habis kekagetannya, mendadak di depannya melesat turun sesosok tubuh ramping mengenakan topeng berwarna merah darah. Orang inikah yang tadi dikejarnya?
"Siapa kau?!" bentak Ki Ajar Ningrat mengancam.
"Kau tak perlu tahu. Namun kalau ingin tahu tujuanku, aku menghendaki nyawamu," sahut orang bertopeng itu datar.
"Siapa kau sebenarnya?! Tak ada angin tak ada hujan, malah mencari masalah dengan orang lain. Kalau bukan sinting, kau pastilah orang sok jago!" dengus Ki Ajar Ningrat gemas.
"Hi hi hi...! Apa pedulimu dengan urusanku? Mau sinting atau tidak, itu bukan urusanmu. Tapi kaulah yang terlalu usil. Bahkan kejam tak berperikemanusiaan saat membunuh Ki Dewoko dan Nyi Kumiasih. Kalian telah membakarnya hidup-hidup. Padahal, dia tak bersalah dan tak tahu menahu soal kitab itu. Atas nama mereka, aku menuntut balas padamu. Bersiaplah, Orang Tua Hina," kata orang bertopeng itu.
"Phuih! Siapa pun kau, majulah. Aku tak takut padamu!" sahut Ki Ajar Ningrat garang sambil bersiap membuka jurus.
"Hiyaaat..!"
Orang bertopeng yang sebenarnya adalah Sumi itu memulai serangannya sambil membentak nyaring. Kepalan tangan kanannya menghantam ke arah dada. Namun sigap sekali Ki Ajar Ningrat menggeser tubuhnya ke samping, dan seraya mengayunkan satu tendangan ke arah perut. Sayang bersamaan dengan itu tubuh Sumi telah melenting tinggi sambil membuat putaran. Maksudnya, hendak menghantam rahang lawan dengan tendangan kaki kanannya.
Wut!
"Uts...!" Ki Ajar Ningrat cepat membuat salto dengan kedua kaki mengincar perut Sumi. Tapi gadis itu tak peduli. Kakinya tetap dihantamkan, membawa dua buah serangan yang masing-masing hendak menginjak dada, dan sekaligus menyapu tendangan orang tua itu.
Plak!
"Hiiih!" Orang tua itu kontan meringis menahan ngilu akibat benturan barusan. Dari situ bisa diketahui kalau tenaga dalam orang bertopeng itu lebih kuat. Itulah sebabnya, dia cepat bergulingan untuk menghindari diri dari pijakan.
"Yeaaa...!" Namun dengan cepat tubuh orang bertopeng itu melayang mengikuti gerakannya. Bahkan lebih dulu berada di depan mencegat tubuh Ki Ajar Ningrat yang masih bergulingan. Sambil berputar, dilepaskannya satu sapuan ke arah perut.
"Hih!"
"Uts!" Untung saja orang tua itu cepat mengetahui, seketika tubuhnya melenting menghindari dan melompat ke belakang. Namun orang bertopeng itu tak menyia-nyiakan kesempatan. Tubuhnya langsung melesat mengejar sambil mengayunkan ke palan tangan kanan yang berisi tenaga dalam kuat. Begitu cepat serangannya sehingga Ki Ajar Ningrat tak mungkin mampu menghindar. Dan...
Begkh!
"Aaakh...!" Ki Ajar Ningrat menjerit setinggi langit ketika tulang rusuk bagian kanannya terdengar patah terhantam pukulan orang bertopeng itu. Tubuhnya kontan terpental disertai rasa nyeri yang tak tertahankan.
Mendadak, pada saat tubuh Ki Ajar Ningrat sedang melayang. Dari arah berlawanan melesat sosok bayangan coklat seperti menyambutnya. Sekilas, bayangan coklat itu bermaksud menolongnya. Namun tak disangka-sangka, ternyata sosok berpakaian coklat itu melepaskan satu pukulan maut yang membuat Ki Ajar Ningrat tak sempat menjerit. Tubuhnya kontan melayang berbalik sejauh satu tombak dengan kepala remuk. Nyawanya langsung melayang, sebelum tubuhnya jatuh tersungkur ditanah.
"Kakang! Ternyata kau cepat juga menyelesaikan tugasmu...!" seru orang bertopeng berpakaian kuning yang tadi menjadi lawan Ki Ajar Ningrat.
Sosok bayangan coklat yang baru datang itu berperawakan tegap dan juga memakai topeng berwarna merah darah. Kedua orang bertopeng ini memandang sekilas kepada mayat orang yang mulai menyebarkan bau busuk itu. Mereka lalu membuka tutup kepalanya, dan menyimpan kain merah darah itu di balik baju. Maka kini terlihat wajah sebenarnya di balik topeng itu!
Yang berbadan tegap terbungkus pakaian coklat adalah seorang pemuda gagah berusia sekitar dua puluh lima tahun. Bentuk mukanya segi empat dengan rahang menonjol, dan dihiasi kumis tipis. Sorot matanya jernih dan tajam, menandakan ke cerdasan otaknya. Namun dari wataknya, terpancar kekejaman hatinya.
Sedangkan yang bertubuh ramping terbungkus pakaian kuning adalah seorang gadis berusia sekitar dua puluh tahun. Wajahnya manis dan berkulit kuning. Rambutnya sebatas bahu. Dengan celana pangsi warna hijau dan ikat pinggang dari kain merah, terlihat pas dengan kulitnya.
Mereka memang Panjalu dan Sumi, yang sebelas tahun lalu dikejar-kejar tokoh persilatan. Dan ketika dikejar tokoh hitam yang bernama Kaliambar, keduanya terjatuh di jurang. Untung saat itu mereka tersangkut di sebuah pohon yang tumbuh di tebing jurang. Sehingga, nyawa mereka selamat. Dan dengan merayapi tebing jurang, mereka terus turun ke dasarnya.
Ketika menemukan sebuah goa, mereka memasukinya. Ternyata di sana mereka menemukan kitab berisi jurus-jurus silat dan ilmu kesaktian. Setelah dipelajari selama sebelas tahun, kini mereka jadi ancaman tokoh-tokoh persilatan yang pernah mengejar-ngejar mereka dan membunuh orangtua mereka.
"Kakang! Apakah sudah kau bereskan mereka semua?" tanya Sumi.
"Sudah. Bahkan tak kusisakan seorang pun juga!" sahut Panjalu, dengan dengusan.
Mendengar itu, Sumi tertawa girang. Matanya yang berkilat tajam, sekilas terlihat indah dan menawan. Namun kalau diperhatikan lebih seksama, akan tersirat hawa kebengisan dan dendam membara yang bergejolak hebat di hatinya.
"Apakah kita akan langsung menuju ke tempat kediaman Ki Kaliambar itu, Kakang?" tanya Sumi kembali.
"Bagaimana menurutmu? Apakah kita biarkan dulu mereka saling berbaku hantam atau tangan kita sendiri yang menghabisi?" Panjalu malah balik bertanya.
"Bagiku, keduanya sama saja. Mereka mati di tangan kita atau bukan, yang penting dendam kita sudah terbalas bukan?"
"He he he...! Kau memang cerdik, Sumi. Tapi aku belum puas kalau belum menyaksikan sendiri kematian mereka."
"Maksud, Kakang?"
"Bagaimana kalau kita ke sana, dan memastikan kematian mereka."
"Hm.... Usul yang baik, meskipun masih banyak lagi yang harus dikerjakan...."
"Aku mengerti, Sumi. Masih banyak lagi orang-orang yang harus merasakan dendam kita. Tapi, yakinlah. Kita akan membereskan mereka satu persatu. Nah, mari kita kerjakan apa yang bisa dikerjakan lebih dulu!" ujar Panjalu.
"Baiklah...," sahut gadis itu.
Panjalu dan Sumi telah berlari cepat menuju ke satu arah. Namun, mendadak langkah mereka terhenti ketika melihat dua ekor kuda berlari kencang dari arah yang berlawanan. Pemuda itu terkejut ketika melihat dua ekor kuda berbulu hitam dan putih yang telah dikenalnya. Tak salah lagi, dua orang penunggang kuda itu pernah bertemu dengannya. Mendadak ditarik lengan adiknya untuk berhenti.
"Kenapa?" tanya Sumi, bingung.
"Ssst....! Bersikaplah seperti orang desa yang bodoh dan tak mengerti apa-apa...," ujar pemuda itu.
"Kakang, apa maksudmu? Aku tak mengerti?" tanya gadis itu bingung.
"Sudahlah. Turuti apa kata-kataku saja!"
Meskipun gadis itu terlihat bingung, namun menurut saja apa yang dikatakan kakaknya. Dan benar saja dugaan anak muda itu.
Ternyata kedua penunggang kuda yang baru berhenti persis di depan kakak beradik itu adalah sepasang anak muda. Yang seorang adalah pemuda tampan memakai baju rompi putih. Sedangkan yang berkuda di sebelahnya adalah seorang gadis memakai baju biru muda. Tampak sebuah kipas berwarna keperakan terselip di pinggang, dan sebilah pedang bergagang kepala naga tersampir di punggung.
"Tuan Pendekar Rajawali Sakti! Oh, senang sekali bisa bertemu denganmu kembali!" sapa pemuda berbaju coklat itu sambil memberi hormat. Demikian juga adiknya.
Pemuda berbaju rompi putih itu memang Rangga, alias Pendekar Rajawali Sakti. Dan gadis di sebelahnya adalah Pandan Wangi. Tampak bibirnya tersenyum lebar, melihat pemuda yang beberapa hari lalu pernah ditolongnya saat tengah pingsan.
"Hm.... Kau Sorang, bukan?"
"Betul, Tuan Pendekar!" sahut orang yang mengaku Sorang, dan sebenarnya Panjalu.
"Ah! Jangan menyebutku Tuan Pendekar. Panggil saja aku Rangga... "
"Oh! Rasanya kurang pantas. Tuan adalah seorang pendekar besar. Dan lebih dari itu, aku berhutang budi padamu. Bagaimana mungkin aku bisa menyebut nama begitu saja," kata Sorang.
"Hm.... Ternyata bantuan sepele saja masih kau ingat. Sudahlah. Yang penting kalau kau berniat menghormatiku, kenapa tak menyebutkan namaku? Dan itu berarti kau menganggapku sebagai kawan. Nah, bagaimana?" ujar Rangga, tersenyum manis.
"Eh, baiklah kalau memang demikian..."
"Begitukan lebih baik. Apa yang sedang kalian lakukan di sini. Dan, siapa gadis itu?"
"Oh.... Ini Dewi, adikku. Kami..., kami...," pemuda itu tak meneruskan kata-katanya. Kepalanya tertunduk.
Sekilas, Rangga bisa menangkap kesedihan di wajah mereka. "Kenapa, Sorang? Apa yang telah terjadi pada kalian?"
"Se... sejak peristiwa beberapa hari yang lalu, aku merasa perlu untuk belajar ilmu silat untuk membela diri. Maka, aku dan adikku pun pergi ke Padepokan Muria yang diketuai Ki Ajar Ningrat. Namun baru saja menjadi muridnya malapetaka telah terjadi. Dua orang manusia bertopeng datang tiba-tiba dan mengacau. Ki Ajar Ningrat binasa di tangan mereka. Begitu juga beberapa orang tamunya yang hari itu berkunjung. Beberapa muridnya banyak yang tewas. Sementara yang lainnya menyelamatkan diri, termasuk kami. Tuan eh! Rangga, tolonglah kami! Kedua manusia bertopeng itu barangkali masih mengamuk di sana!" jelas pemuda yang bernama Sorang sambil menjura hormat.
"Hm Kedua manusia bertopeng merah darah?"
"Betul! Dari mana kau tahu?!"
"Sepanjang perjalanan, aku mendengar berita itu. Jauhkah padepokan itu dari sini?!"
"Cukup jauh juga. Namun bila berkuda, mungkin tak akan terasa..."
"Kalau demikian, naiklah di belakangku. Dan adikmu suruh naik di belakang kawanku ini!"
"A..., apakah kau akan mengajak kami kembali ke padepokan?"
"Aku ingin bertemu kedua orang bertopeng itu!"
"Eh! Ng..., baiklah. Mari, Dewi!" ajak Sorang, seraya melompat ke belakang punggung kuda Rangga. Demikian pula gadis yang dipanggil Dewi. Dia melompat ke belakang Pandan Wangi.
Dan tak berapa lama kemudian, mereka kembali memutar arah menuju Padepokan Muria.
Menjelang senja, Rangga, Pandan Wangi, dan kakak beradik itu tiba di Padepokan Muria. Dalam perjalanan tadi, mereka menemukan beberapa sosok mayat yang bergelimpangan di tepi jalan. Mayat-mayat itu tak lain murid-murid Padepokan Muria, seperti yang dikatakan Sorang pada Rangga. Kini di halaman depan padepokan, sambil berjalan perlahan-lahan mereka menemukan tiga sosok mayat dengan tubuh nyaris membusuk, menebarkan aroma menusuk hidung. Ketiganya tidak bisa dikenali lagi wajahnya. Rangga menggeleng dengan wajah geram. Padepokan itu pun terlihat berantakan. Bahkan beberapa pohon tumbang. Agaknya, tadi memang telah terjadi pertarungan cukup seru.
"Apakah salah satu di antara tiga mayat itu guru kalian?" tanya Rangga, menunjuk kebga mayat itu.
"Entalah, kami tak yakin. Tapi kalau melihat dari baju yang dikenakan rasanya bukan...," sahut Sorang, dengan wajah sedih.
"Lalu, ke mana kira-kira gurumu itu? Apakah dia melarikan diri?"
"Tidak! Guru kami tak sepengecut itu. Mungkin mengejar manusia bertopeng yang kabur, setelah melakukan pembunuhan keji ini," jelas Sorang.
Ketika mereka tadi menuju ke sini memang tidak melewati tempat mayat Ki Ajar Ningrat terbujur. Mereka, memang mencari jalan lain yang lebih singkat, sehingga menemukan mayat para murid utama padepokan ini.
"Tahukah kalian, ke mana kira-kira perginya orang bertopeng itu?" tanya Pandan Wangi yang sejak tadi lebih banyak berdiam diri.
Gadis itu agaknya merasa kurang menyukai kedua kakak beradik ini. Ada sesuatu dan mereka yang membuatnya curiga. Dari pertama kali bertemu Sorang, Pandan Wangi pun sudah merasa curiga. Mereka sama sekali tak memberi kesan sebagai orang desa. Atau barangkali hanya karena naluri kewanitaannya belaka. Mungkin ada hal lain yang membuatnya menduga demikian. Sorang menggeleng lemah.
"Mereka membunuh sembarang orang?" tanya Rangga.
"Kami sama sekali tak tahu-menahu soal mereka. Juga, kami tak tahu apa yang menyebabkan mereka berbuat demikian...." sahut Sorang lemah.
Rangga hanya mengangguk. "Sekarang kalian akan ke mana?" tanya Rangga.
"Entalah... Barangkali kami akan mengunjungi seorang sanak keluarga di Desa Wuwungan," jawab Sorang.
"Kalian akan menetap di sana?"
"Mungkin begitu. Rasanya, tempat itu cukup aman dibandingkan daerah lain..."
"Baiklah. Kalau demikian, kami akan pergi dulu. Mudah-mudahan di jalan bisa bertemu manusia bertopeng itu. Sekalian mencari tahu, apa yang menyebabkan mereka berbuat demikian," kata Rangga.
"Ya itu bagus sekali, Rangga. Semoga kau berhasil!"
Rangga dan Pandan Wangi langsung naik ke punggung kuda masing-masing. Setelah menggebah pelan, kuda-kuda itu melangkah perlahan-lahan meninggalkan tempat ini.
"Mampirlah kalian bila berada di desa itu. Kami tentu akan menyambut dengan gembira," ujar Dewi agak keras, ketika sepasang pendekar dari Karang Setra itu sudah cukup jauh.
Sebenarnya, Pandan Wangi kesal bukan main melihat tingkah gadis tadi. Apalagi ketika tersenyum-senyum kepada Rangga, dan tak mempedulikan dirinya. "Huh! Memuakkan...!" gerutu Pandan Wangi. Rangga menoleh dan tersenyum kecil.
"Kenapa?"
"Jangan berpura-pura!" sahut Pandan Wangi, mendengus kesal.
"Kau cemburu?" tanya Rangga pelan. Memang bisa diduga apa yang membuat kekasihnya bersikap demikian.
"Kau tentu senang bukan?!"
"Jangan berpikir begitu, Pandan. Mungkin mereka hanya menunjukkan keramahannya. Kalaupun dia tersenyum, barangkali hanya sekadar suka denganku...," ledek Rangga.
"Huh!" Pandan Wangi hanya mendengus, mendengar ledekan Rangga. Dan Rangga tersenyum melihat kelakuan kekasihnya.
"Pandan.... Apakah kau tak curiga kepada mereka?" tanya Rangga pelan.
"Hm... Kukira kau sudah terpikat oleh senyum maut gadis itu, sehingga tak memiliki prasangka apa-apa terhadap mereka!"
"Sudahlah, Pandan. Ada hal lain yang lebih penting yang harus kita kerjakan. Yakni kakak beradik itu. Dan aku tak menangkap dendam dan kesedihan pada sorot mata mereka, atas kematian kawan-kawan seperguruan. Bahkan tak berusaha mencari guru mereka..."
Pandan Wangi masih berdiam, dan belum menyahuti ucapan Rangga.
"Padahal, mereka bisa meminta tolong pada kita untuk mencari kedua manusia bertopeng itu. Tapi, itu tak dilakukan. Mereka juga tak merasa cemas melihat kawan-kawannya tewas dengan tubuh mengerikan," tambah Rangga.
"Hm... Tidakkah Kakang memperhatikan cara mereka naik ke punggung kuda kita? Ringan dan enteng sekali. Itu menandakan kalau mereka memiliki ilmu meringankan tubuh yang cukup sempurna. Dan bagi murid yang baru belajar ilmu silat, mana mungkin mampu melakukannya...," gumam Pandan Wangi.
"Itu memang lepas dari perhatianku. Tapi, aku merasa kalau sorot mata mereka mempunyai tenaga batin kuat. Dan itu hanya dimiliki orang yang mempunyai kepandaian hebat..."
"Kita harus menyingkap teka-teki ini, Kakang. Sudah banyak yang menjadi korban. Dan mungkin akan bertambah terus selama mereka masih berkeliaran," tegas Pandan Wangi.
"Ya.... Kita harus mencari tahu, apa yang diinginkan mereka sebenarnya!"
Sepasang pendekar dari Karang Setra itu menggebah kudanya. Maka kedua hewan itu langsung berlari kencang.! Setelah beristirahat semalaman di pinggir sebuah hutan, Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi kini tiba di sebuah desa yang tak terlalu besar. Penduduknya yang tidak terlalu padat, hidup sebagai petani. Jarak mereka satu rumah dengan yang lain pun cukup jauh. Sehingga, kesunyian selalu mewarnai kehidupan desa itu. Terlebih-lebih, pada pagi hari. Biasanya pada waktu seperti itu, sebagian besar pemuda dan laki-laki penduduk desa pergi ke sawah.
Namun, pagi ini suasana tak seperti biasanya. Tampak penduduk desa berkumpul di sebuah halaman yang cukup luas, di depan sebuah pondok yang terpisah dari pondok-pondok lainnya. Rangga dan Pandan Wangi yang merasa tertarik, segera memacu kudanya perlahan ke sana. Sebentar saja, sepasang pendekar dari Karang Setra itu telah tiba di depan pondok yang telah dipenuhi penduduk desa. Mereka segera turun dari kuda masing-masing, dan bergerak mendekati seorang penduduk.
"Maaf, Paman. Apa yang telah terjadi dirumah ini?" tanya Rangga ramah, pada laki-laki yang bertubuh kurus dan berkulit gelap.
Orang tua itu memandang curiga Rangga dan Pandan Wangi. "Kalian siapa? Apakah kawan-kawan mereka?" orang tua itu balik bertanya.
"Mereka! Mereka siapa yang Paman maksudkan?" tanya Rangga bingung.
"Orang-orang yang telah mengeroyok Ki Kaliambar."
"Ki Kaliambar? Siapa dia...?"
Orang tua bertubuh kecil itu tak langsung menjawab. Rasanya memang sedikit aneh, bila dua anak muda yang berpakaian seperti pendekar itu tak mengenal Kaliambar. Bukankah dia tokoh yang cukup disegani. Mungkin saja setelah sebelas tahun mengasingkan diri di tempat ini, kedua anak muda itu baru saja turun ke dunia luar. Sehingga, wajar saja kalau tak mengenalnya.
"Kami tak tahu apa penyebabnya. Tapi tiba-tiba saja, mereka datang berempat, kemudian terjadi pertarungan. Mereka behasil mengalahkan Ki Kaliambar, dan membuatnya tewas. Namun, dua orang dari mereka pun telah tewas juga dihajar Ki Kaliambar. Dan pada saat yang bersamaan, entah dari mana datangnya tahu-tahu muncul dua orang bertopeng. Mereka langsung menghabisi kedua orang yang tersisa, sehingga tewas dengan tubuh membusuk," jelas orang tua itu singkat.
"Orang bertopeng?" tanya Rangga meyakinkan.
"Betul. Mereka dua orang, mengenakan topeng berwarna merah darah. Yang seorang bertubuh besar dan tegap. Dan seorang lagi bertubuh ramping seperti perempuan. Ilmu silat mereka sangat tinggi, tapi sangat sadis. Buktinya, kedua orang musuh Ki Kaliambar itu tewas dengan tubuh membusuk, mengeluarkan bau menusuk hidung," lanjut orang tua itu.
"Hm... Kapan peristiwa itu terjadi?"
"Tadi malam. Beberapa orang yang kebetulan lewat di dekat sini, menyaksikan peristiwa itu."
"Ke mana kira-kira orang-orang bertopeng itu melarikan diri?"
"Ke arah selatan...."
"Ada yang mengetahui, siapa kira-kira mereka? Tahukah Paman, kira-kira siapa yang menaruh dendam kepada Ki Kaliambar?"
Orang tua itu menggeleng lemah. "Tidak. Tak ada seorang pun di desa ini yang tahu banyak tentang Ki Kaliambar. Dia jarang bergaul dan jarang bertemu penduduk desa ini. Kadang-kadang, bahkan tak keluar dari rumahnya sampai berhari-hari. Kami hanya tahu dari beberapa orang penduduk yang sering berdagang keluar desa ini. Mereka mendengar, kalau Ki Kaliambar adalah seorang pendekar tersohor...."
Rangga menganggukkan kepala. "Terima kasih...," ucap Rangga sambil mengajak Pandan Wangi kembali menaiki kudanya masing-masing.
"Kisanak, tunggu dulu! Bolehkah aku tahu, siapa kalian sebenarnya. Dan apakah punya kepentingan dengan Ki Kaliambar hingga datang ke desa ini?"
Rangga tersenyum sambil menggelengkan kepala. "Tidak. Kami hanya pengembara yang kebetulan lewat di desa ini, namaku Rangga. Dan ini kawanku, Pandan Wangi...," kata Rangga, segera menggebah kudanya.
Orang tua itu menganggukkan kepala. Wajahnya biasa saja sebab tak mengenal nama-nama itu sebelumnya. Kalaupun ada keheranan dan rasa takjub di wajahnya, karena kedua anak muda itu sangat serasi. Yang pemuda tampan dan yang perempuan cantik. Dia betul-betul tak percaya kalau mereka hanya sekadar berkawan. Paling tidak, di antara mereka ada jalinan asmara. Atau bahkan merupakan sepasang suami istri!
"Kita ke selatan, Kakang?" tanya Pandan Wangi ketika mereka baru saja keluar dari perbatasan desa itu.
"Tentu saja. Kedua orang bertopeng itu membuatku penasaran. Aku mendapat kesimpulan, mereka tak sembarangan membunuh. Tokoh-tokoh yang dibunuhnya hanya tertentu saja."
"Kenapa Kakang berpendapat demikian?"
"Desa ini terpencil. Tapi, mereka menyempatkan datang ke sini hanya untuk mencampuri urusan orang. Demikian pula Ki Ajar Ningrat dan orang-orang padepokannya. Setahuku, tak jauh dari situ ada sebuah perguruan silat yang cukup terkenal dan diketuai seorang tokoh yang berkepandaian tinggi. Tapi Sorang dan Dewi mengatakan, tokoh itu tak diundang dalam pertemuan yang diadakan dikediaman Ki Ajar Ningrat. Ada apa ini? Lalu, Kepala Desa Gadang Banyu beserta anak buahnya yang tewas. Padahal, di kampung masih banyak tokoh persilatan yang cukup tangguh. Kalau orang-orang bertopeng itu ingin membuat kekacauan mereka tentu membakar atau merampok serta membunuh sembarangan orang. Dan kalau mereka mencari pendekar tak terkalahkan, tentu sudah banyak korban yang berjatuhan. Tapi sejauh ini, masih orang-orang tertentu saja...," kata Rangga menjelaskan panjang lebar.
Pandan Wangi hanya mengangguk-angguk mendengarkan. "Kalau demikian, untuk apa berlama-lama, Kakang? Mari cepat kita ke sana?!" ajak gadis itu sambil menghela kuda berbulu putihnya.
Rangga menghela kudanya, agar berlari kencang bagai tiupan angin. Dalam wakru sekejap saja, Pandan Wangi telah tersusul. Bahkan Rangga terus memacu Dewa Bayu, meninggalkan gadis itu jauh di belakangnya. Disadari kuda yang ditunggangi Rangga bukan kuda sembarangan. Kuda hitam bernama Dewa Bayu itu mampu bergerak cepat, tak mampu dikejar oleh kuda tangguh manapun. Itulah sebabnya dia tenang-tenang saja dan tak bermaksud mengejar. Namun di satu tikungan jalan gadis itu berhenti, karena tiba-tiba terdengar suara pertarungan. Pandan Wangi segera memacu kudanya ke arah yang berbelok itu. Padahal, Rangga memacu kudanya lurus saja.***
KAMU SEDANG MEMBACA
122. Pendekar Rajawali Sakti : Sepasang Pendekar Bertopeng
ActionSerial ke 122. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.