BAGIAN 6

251 14 0
                                    

Kini Pandan Wangi tiba di suatu tempat yang agak tinggi. Dugaannya betul. Di bawah sana tampak terjadi suatu pertarungan yang seru. Dua orang laki-laki tak dikenal. Yang masing-masing telah berusia lanjut dan masih muda. Sementara lawan mereka adalah orang yang sedang mereka cari. Sepasang manusia bertopeng.
"Berhenti...!"
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring, yang disusul meluruknya sosok bayangan biru. Sebentar saja, di depan seorang manusia bertopeng telah berdiri satu sosok gadis cantik berpakaian biru. Dia tak lain dari Pandan Wangi. Setelah memperhatikan pertarungan sejenak, gadis itu memang memutuskan untuk meluruk turun.
Kedua orang bertopeng itu menghentjkan serangan dan memandang Pandan Wangi dengan sorot mata tajam.
"Hm Kukira siapa, nyatanya si Kipas Maut yang terkenal itu...," sahut salah seorang bertopeng yang bertubuh tegap terbungkus pakaian coklat. Di balik topengnya memang tersembunyi wajah Panjalu. Sementara sosok yang satu lagi jelas Sumi, adik Panjalu.
"Hm, kau mengenaliku rupanya. Siapa kalian?! Dan apa yang kau lakukan terhadap kedua orang ini," desis Pandan Wangi curiga, sambil menunjuk laki-laki tua dan pemuda yang kini beristirahat di bawah pohon.
"Kau tak perlu tahu. Ini urusan kami. Menyingkirlah sebelum mencampuri urusan ini lebih jauh!" sahut orang bertopeng yang berbaju kuning dengan suara dingin.
"Sudah banyak yang menjadi korban kekejaman kalian. Jadi mana bisa aku berdiam diri begitu saja?!" sahut Pandan Wangi tegas.
"Hm.... Kau akan menyesal nantinya. Kuperingatkan sekali lagi, pergilah. Dan, jangan mencampuri urusan kami!" Ada nada mengancam yang dikeluarkan orang bertopeng dari kata-katanya.
"Jangan mengancamku. Tapi, kalianlah yang sebaliknya pergi. Dan jangan lagi membuat korban di mana-mana. Kalau tidak terpaksa aku akan menghentikannya!"
"Hahaha...! Kata-katamu sungguh berani, Kipas Maut! Tapi kalau aku berkata seperti tadi, bukan berarti takut denganmu. Tapi demi keselamatanmu sendiri. Tapi kalau tetap keras kepala, kau akan menyesal sendiri. Dan sekarang, meskipun kau akan menyingkir, tak ada jalan bagimu. Kau terlalu lancang mencampuri urusan orang! Dan untuk itu, kematianlah bagianmu!" dengus orang bertopeng memakai baju coklat.
"Hm.... Ingin kubuktikan kata-katamu!" sahut Pandan Wangi dingin sambil mencabut kipas mautnya.
"Hup!"
Kedua orang bertopeng itu bersiap. Dari sorot matanya terlihat rasa tak senangnya, disertai nafsu membunuh. Terlebih-lebih yang bertubuh ramping. Dia melompat lebih dulu, dengan sebuah serangan berbahaya.
"Mampuslah kau, Perempuan Lancang! Yeaaa...!"
Bet!
Si Kipas Maut menyambut serangan dengan kelebatan kipasnya yang cepat ke berbagai jurusan di tubuh orang bertopeng itu. Namun, tubuh terbungkus pakaian kuning itu lincah sekali maliuk bagai orang menari, menghindari setiap serangan lawan. Bahkan Pandan Wangi nyaris dibuat terkejut, ketika tiba-tiba saja serangkum angin berhawa panas menyambar muka.
"Hiyaaa...!"
"Uts...!" Buru-buru gadis berpakaian biru itu bersalto ke belakang. Namun pada saat yang bersamaan, orang bertopeng yang berpakaian coklat telah mencelat sambil mengayunkan kepalan tangannya ke dada Kipas Maut.
Pandan Wangi tidak kehilangan akal. Dengan cepat kipasnya dikibaskan ke atas membentuk pusaran angin kencang. Sosok berpakaian coklat itu terkejut, tidak buru-buru menarik serangannya. Sementara orang bertopeng yang bertubuh ramping telah mengejar dengan pukulan maut, tatkala kedua kaki Pandan Wangi baru saja menyentuh tanah.
"Hiyaaat..!"
"Uts! Sial...!" Dengan jungkir balik Pandan Wangi membuat lompatan ke samping. Akibatnya, sebuah pohon yang berbatang cukup besar hangus terbakar, karena menjadi sasaran serangan. Bukan main terkejutnya Pandan Wangi melihat hal itu. Namun belum lagi habis rasa keterkejutnya, orang bertopeng yang berbaju coklat telah kembali melesat menyerang disertai tenaga dalam kekuatan penuh. Seketika terdengar desir angin kencang, seperti topan yang menghantam ke arahnya.
"Yeaaa...!" Pandan Wangi cepat bagai kilat melenting ke udara, kemudian menukik sambil memutar kipas baja putih di tangannya dengan pengerahan tenaga dalam penuh. Serangan yang demikian cepat ini tertuju ke arah dua orang lawannya secara bersamaan.
Werrr...!
"Heh?!" Serangan Pandan Wangi sama sekali tak diduga oleh kedua manusia bertopeng itu. Meskipun secara serabutan, mereka berhasil menghindarkan diri. Bahkan kembali balas menyerang dengan sengit. Kini pertarungan pun kembali berlangsung secara cepat dan alot.
Terlihat sekali kalau kedua orang bertopeng itu tak ingin memberi sedikit pun peluang bagi Pandan Wangi. Mereka terus mendesak, dan bermaksud menghabisi Kipas Maut secepatnya. Sementara Pandan Wangi bukannya tak merasakannya. Dia berusaha bertahan mati-matian dari serangan yang semakin bertubi-tubi. Namun jelas, terlihat, perlahan-lahan pertahanannya mulai terdesak hebat. Meskipun permainan ilmu kipas Pandan Wangi tergolong hebat, namun gerakan dan kerja sama kedua orang bertopeng itu luar biasa. Lebih dari itu, mereka memiliki tenaga dalam kuat. Itu terlihat dari setiap serangan mereka yang selalu menimbulkan desir angin kencang. Sehingga mampu membuat Pandan Wangi bergetar!
Dalam kedudukan yang sudah sangat terancam, mendadak melesat sosok bayangan putih yang langsung menyerang salah seorang manusia bertopeng itu.
"Hiyaaa...!"
"Heh?" Sepasang manusia bertopeng itu begitu terkejut, melihat sosok bayangan putih yang melesat demikian cepat. Bahkan begitu muncul, langsung memapak serangan orang bertopeng yang bertubuh lebih besar.
Kini Pandan Wangi sendiri telah lebih leluasa menghadapi seorang lawannya. Bahkan perlahan-lahan terlihat mulai mampu menekan manusia bertopeng yang berbaju kuning.
"Huh! Pendekar Rajawali Sakti yang kudengar, ternyata memang suka mencampuri urusan orang lain! Bahkan merasa dirinya hebat tak terkalahkan!" dengus orang bertopeng dan berpakaian coklat itu geram karena serangannya digagalkan.
"Tak bisa kubiarkan perbuatan kalian yang sewenang-wenang!" sahut sosok bayangan putih yang memang Rangga atau Pendekar Rajawali Sakti, dengan nada tegas.
"Huh! Kau tahu, kenapa semua ini kami lakukan?!" dengus orang bertopeng yang sebenarnya adalah Panjalu itu dengan nada suara dingin.
"Rasanya aku memang tak perlu tahu. Yang jelas mayat-mayat bergelimpangan di mana-mana karena ulah kalian yang kejam."
"Kau tak mengerti apa-apa Pendekar Rajawali Sakti. Yang kau tahu, hanya kulit luarnya saja. Tapi karena kau telah mencampuri urusanku, maka aku tak akan mengampunimu!" kata Panjalu.
"Siapa sudi menerima ampunanmu!" balas Rangga, enteng.
"Keparat! Mampuslah kau...!" Panjalu seketika membentak sambil menyorongkan telapak tangan kanannya ke depan. Maka dari telapak tangannya keluar serangkum angin kencang yang menderu-deru, membawa hawa panas dan meliuk-liuk seperti cambuk
Werrr...!
"Hup!" Pendekar Rajawali Sakti melompat ke kiri dan kanan untuk menghindari pukulan maut yang dilancarkan Panjalu. Dan setiap kali pukulan itu tak mengenai sasaran, maka benda yang terkena langsung terbakar dan hangus menjadi arang. Rangga mendecak kagum menyaksikan kehebatan pukulan maut yang dilancarkan orang bertopeng itu. Pada suatu kesempatan, Panjalu bermaksud mencuri kesempatan, saat Pendekar Rajawali Sakti sedang kerepotan.
Melihat hal ini rahangnya bergemeletuk. Orang bertopeng itu seperti berpacu melawan kecepatan geraknya. Bahkan kepalan tangan kanannya dihantamkan ke dada Pendekar Rajawali Sakti Pemuda berbaju rompi putih itu cepat mundur ke belakang, seraya mengebutkan tangannya untuk menangkis kepalan yang mengarah kedadanya.
Plak!
Dengan gerakan mengagumkan, Pendekar Rajawali Sakti melepaskan tendangan berputar yang mengincar leher. Tak ada waktu lagi bagi Panjalu, selain menangkis tendangan yang dilepaskan demikian cepat. Maka....
Plak!
"Uh...!" Panjalu mengeluh kesakitan, ketika tangannya menangkis tendangan Pendekar Rajawali Sakti. Namun dia cepat menguasai diri dengan pukulan mautnya, yang terarah ke dada Pendekar Rajawali Sakti pada jarak cukup dekat.
Namun Rangga telah menyadarinya. Maka dipapaknya serangan itu, dengan pengerahan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' pada tingkat yang cukup tinggi. Sehingga....
Glarrr...!
Satu ledakan dahsyat, begitu dua tangan beradu yang sama-sama berisi ilmu kedigdayaan hebat. Bahkan tubuh Panjalu sampai terlontar ke belakang. Untungnya, dia cepat membuat gerakan salto beberapa kali, sehingga dapat mematahkan daya lontaran, walaupun agak terhuyung ketika menjejakkan kakinya.
Sementara pada saat yang sama terdengar keluh kesakitan dari pertarungan lain. Rangga yang hanya terjajar beberapa langkah terkejut karena menyangka kalau Pandan Wangi berada dalam bahaya. Buru-buru perhatiannya dialihkan. Namun saat itu juga manusia bertopeng yang berbaju coklat cepat melesat kabur. Sedangkan yang berbaju kuning sudah lebih dulu kabur setelah mendapat perlawanan sengit dari Pandan Wangi.
"Pandan, kau tak apa-apa?" tanya Rangga cemas.
Gadis itu menggeleng sambil menyelipkan kipas mautnya di pinggang. "Kenapa mereka Kakang biarkan kabur?"
"Aku mengkhawatirkan keselamatanmu, Pandan. Biarlah lain kali mereka akan kita bereskan. Kau sungguh tak apa-apa?" tanya Rangga kembali.
"Huh! Kalau saja dia tak keburu kabur, mungkin aku akan berhasil memenggal kepalanya!" desis Pandan Wangi geram.
"Kau berhasil melukainya?"
"Bahunya terserempet ujung kipasku..."
"Sudahlah. Kurasa mereka pun tak akan bisa bergerak jauh. Kalau nanti bertemu kembali, kita akan menangkap dan melihat siapa yang ada di balik topeng itu."
Pada saat itu, terlihat dua orang yang semula didesak habis-habisan oleh kedua orang bertopeng tadi mendekati.
"Pendekar Rajawali Sakti dan Kipas Maut, aku Kalimaya. Dan ini muridku, Tarmuji. Kami mengucapkan terima kasih yang tak terhingga atas pertolongan kalian berdua...," ucap laki-laki tua itu seraya memberi salam penghormatan.
Rangga dan Pandan Wangi membalas, dan memandang sekilas pada mereka. Yang paling tua berusia sekitar enam puluh tahun. Tubuhnya kurus dan memiliki janggut seperti kambing. Sedangkan yang satunya lagi berusia sekitar tiga puluh tahun dan bertubuh kurus.
"Kisanak. Apakah kalian mempunyai persoalan dengan orang-orang bertopeng itu sehingga ingin membunuh kalian?" tanya Rangga datar.
"Ceritanya panjang...," tutur Ki Kalimaya, lirih.
"Sudikah kalian menceritakannya kepada kami...?" pinta Rangga.
"Lebih kurang sebelas tahun yang lalu, aku mendengar kabar kalau suami istri yang bernama Ki Dewoko dan Nyi Kurniasih mengetahui tempat sebuah kitab pusaka berisi ilmu silat tingkat tinggi. Kitab itu banyak dicari tokoh persilatan sehingga mereka berebut ke sana. Aku pun ke sana dan melihat kejadian yang sama sekali tak kuduga. Karena diamuk amarah, para tokoh persilatan itu membakar suami istri itu hidup-hidup. Mereka menuduh kalau Ki Dewoko dan istrinya telah membunuh dua orang tokoh persilatan yang datang secara baik-baik untuk meminjam kitab itu," Ki Kalimaya memulai ceritanya.
Mata orang tua itu menerawang jauh, seperti berusaha mengumpulkan ingatannya. Sementara Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi mendengarkan penuh perhatian.
"Kejadian itu pun dikarenakan pihak kepala desa telah menyulut kemarahan para tokoh persilatan dengan memfitnah suami istri itu. Katanya, Ki Dewoko dan istrinya adalah sepasang tokoh sesat yang sangat kejam. Namun sebelum mereka ditangkap, ternyata kedua anaknya yang berpenyakit kusta sempat melarikan diri. Akhirnya, kedua anak itulah yang menjadi sasaran tokoh-tokoh persilatan dalam usaha menemukan kitab pusaka itu...," jelas Ki Kalimaya panjang lebar.
Rangga dan Pandan Wangi mengangguk angguk mengerti. "Lalu, apa hubungannya dengan kedua orang bertopeng tadi?" tanya Rangga kembali.
"Mereka mengaku bernama Panjalu dan Sumi, putra-putri Ki Dewoko dan Nyi Kumiasih yang tewas dibakar hidup-hidup oleh para tokoh persilatan itu," sahut Ki Kalimaya.
"Hm... Pantas mereka berbuat kejam begitu. Tapi, dari mana mereka mempelajari ilmu silat yang tangguh itu...?"
"Entalah. Menurutku, mereka mungkin selamat dari kejaran Kaliambar. Lalu mencari kitab pusaka itu dan mempelajarinya. Kemudian setelah sebelas tahun ini, mereka membalas dendam kepada tokoh-tokoh yang ikut dalam pembantaian kedua orangtuanya..."
"Kira-kira di mana mereka berada saat ini. Atau, kemana kira-kira tujuan mereka selanjutnya, Ki?" tanya Rangga.
"Tentu saja mencari tokoh-tokoh yang terlibat dalam pembunuhan kedua orangtua mereka..."
"Hm.... Bisakah kau menyebutkan satu persatu, siapa-siapa saja yang akan jadi korbannya?" kali ini Pandan Wangi yang bertanya.
"Yang tersisa memang tak banyak. Dan sebagian besar sudah tewas di tangan mereka. Selain kami berdua, masih tersisa kira-kira lima orang tokoh lagi...," jelas Ki Kalimaya, sambil menyebutkan kelima tokoh yang dimaksud.
"Siapa di antara tokoh-tokoh itu yang tempatnya agak dekat dari sini..?"
"Ki Sembung Jali. Dia menetap di Desa Wuwungan, sebelah utara desa ini."
"Desa Wuwungan?" Rangga dan Pandan Wangi sama-sama terkejut mendengarnya.
"Kenapa, Rangga, Pandan? Apakah ada sesuatu yang khusus tentang desa itu?" tanya Ki Kalimaya heran.
"Eh, tidak. Hanya kami mempunyai kenalan di desa itu. Barangkali, kalian mau bergabung dan menemani kami ke sana?" tanya Rangga menawarkan.
"Memang kami berniat ke sana, sekaligus menjumpai Ki Sembung Jali untuk membicarakan persoalan ini. Kebetulan sekali kalau kalian berkenan mengajak kami bersama-sama. Aku akan senang sekali menerimanya," sahut Ki Kalimaya.
"Pandan, berikan kudamu pada mereka berdua," ujar Rangga.
"Baik, Kakang," sahut gadis itu seraya melompat ringan.
"Kau naik kudaku," ujar Pendekar Rajawali Sakti lagi.
Gadis itu segera bergerak, dan melompat ke punggung Dewa Bayu. Indah sekali gerakannya, membuat Ki Kalimaya berdecak kagum.
"Tadi kau bilang punya rencana? Rencana apa, Kakang?" tanya Pandan Wangi. Gadis itu menanyakan alasan kenapa Rangga menolak tawaran menginap Ki Sembung Jali saat mereka mampir di rumah orang tua itu. Sepasang pendekar dari Karang Setra itu tadi memang sempat mampir di rumah Ki Sembung Jali, sekaligus mengantarkan Ki Kalimaya dan Tarmuji. Namun karena ada sesuatu rencana yang akan dijalankan, Pendekar Rajawali Sakti cepat-cepat memohon pamit. Sementara, Ki Kalimaya dan Tarmuji ditinggal di sana.
"Apakah kau tak bisa melihatnya?"
Pandan Wangi menggeleng.
"Ki Sembung Jali dan Ki Kalimaya adalah orang yang dicari kedua manusia bertopeng itu..."
"Lalu?" tanya Pandan Wangi masih bingung.
"Hm.... Tentu saja ini kesempatan baik bagi kedua orang bertopeng itu, untuk menghabisi mereka secara bersamaan. Kita akan mengintai tempat itu malam nanti. Mereka tentu akan melaksanakan pembunuhan itu saat keadaan sepi. Maka saat itulah kesempatan untuk membekuk kedua orang bertopeng itu," jelas Rangga singkat.
Pandan Wangi tersenyum kecil mendengar rencana itu. "Bagus sekali, Kakang," puji gadis itu.
Rangga hanya tersenyum kecil mendengar pujian itu. "Nah! Sekarang, kita coba mencari kedua kakak beradik itu di desa ini. Kalau tak ketemu, kita menginap saja di rumah penginapan," usul Pendekar Rajawali Sakti, sambil menjalankan kudanya perlahan-lahan.
Pandan Wangi diam tak menyahut ketika Rangga menyebut kedua kakak beradik itu. Hatinya memang tak suka kalau harus sering-sering bertemu. Terutama sekali dengan gadis yang bernama Dewi. Sorot matanya genit dan sering melirik Rangga. Mereka terus memacu kudanya dengan pelan, melewati jalan desa yang kecil dan berdebu. Dan ketika melewati kelokan jalan...
"Rangga...!" Terdengar suara panggilan, membuat Rangga dan Pandan Wangi segera berbalik.
"Hei?!" Cepat Rangga turun dari kudanya diikuti Pandan Wangi. Sambil menuntun kuda masing-masing, mereka melangkah menghampiri Sorang.
Rangga mengenali orang yang memanggilnya. Tentu saja, karena dia tak lain dari Sorenag. Kelihatannya, pemuda itu berjalan tergesa-gesa sekali menghampirinya.
"Aku tak melihat adikmu? Di mana dia?" tanya Rangga, ketika dekat.
"Dia sedang sakit. Dan sekarang sudah agak lebih baik setelah diobati oleh seorang tabib," jawab Sorang.
"Syukurlah," ucap Rangga.
"Kapan tiba?" lanjut Sorang bertanya.
"Baru saja. Kami kebetulan melewati desa ini, dan teringat pada kalian...," Rangga terpaksa berdusta.
"Oh, ya.... Silakan kalau kalian berdua ingin mampir. Tapi jangan kaget, sebab tempat kami sangat sempit dan jelek," kata Sorang ramah.
"Tak mengapa..." Mereka berjalan perlahan-lahan sambil bercakap-cakap menuju kediaman Sorang. Tak terlalu jauh tempat tinggal Sorang. Sehingga sebentar saja mereka sudah tiba di depan rumah kecilnya yang sederhana itu.
"lnilah tempat tinggal kami!" kata Sorang.
Rangga dan Pandan Wangi memperhatikan sekilas rumah itu. Memang betul apa yang dikatakan Sorang. Rumah itu kecil. Bahkan di sana-sini terlihat banyak yang rusak, sehingga mengesankan bagai rumah tua yang telah lama tak ditempati.
"Silakan...!" ucap Sorang, mempersilakan kedua tamunya masuk.
Sorang memang tak berdusta tentang adiknya. Begitu mereka masuk, Dewi tampak berbaring di atas sebuah dipan yang telah reot. Tubuhnya panas. Bahu kirinya terbalut kain putih yang masih terlihat noda darah merembes keluar. Dia sedikit terkejut melihat kedatangan kedua orang tamunya, namun berusaha bersikap ramah.
"Tidur saja dahulu kalau memang kau masih lemah...," ujar Pandan Wangi sambil tersenyum kecil, ketika Dewi berusaha bangkit.
Seketika benak Pandan Wangi menggayut sebuah pertanyaan. Jangan-jangan gadis itulah yang dilukainya dengan kipas maut, waktu bertarung kemarin.
"Ohhh..., tidak. Tubuhku sudah sedikit lebih baik. Nanti setelah Kakang Sorang membuat obat, aku akan sembuh kembali," sahut Dewi lemah.
"Ke mana sanak keluarga kalian?" tanya Rangga, ketika Sorang berada di dapur membuat ramuan jamu dari akar-akar yang dibawanya dalam keranjang kecil tadi.
"Eh! Mereka telah tak ada, saat kami tiba disini...," sahut Dewi gugup.
"Ke mana?"
"Entalah. Menurut penduduk desa ini, mereka telah lama pergi...."
"Paman, atau...?"
"Ya, Paman. Adik ibu kami?" sahut gadis itu cepat.
"Hm.... Sungguh aneh. Rupanya dia seorang yang senang mengasingkan diri dari keramaian. Dan tempat ini pun terpisah agak jauh dari keramaian desa...." gumam Rangga, seperti berkata-kata sendiri.
"Ya. Dia memang seorang aneh... "
Rangga tersenyum kecil, kemudian memandang luka di bahu gadis itu. "Lukamu itu kenapa?" tanya Rangga.
"Eh! Ini..., ng.... Semalam kami terburu-buru. Dan bahuku, tersangkut ranting kayu patah yang tajam," sahut gadis itu tergagap.
Rangga mengangguk-angguk.
Sementara itu Sorang telah kembali membawa secangkir ramuan obat yang dibuatnya sendiri. Ramuan itu segera diangsurkan pada Dewi, untuk diminum. Tak lama Dewi telah mengangsurkan cangkir dari tempurung kelapa yang telah tandas isinya, pada kakaknya.
"Sebentar lagi panas tubuhmu akan turun...," kata Sorang lirih, sambil mengambil cangkir tempurung kelapak dari adiknya.
Dewi menarik selimut untuk menutupi sebagian tubuhnya. Rangga dan Pandan Wangi tahu diri, kalau gadis itu hendak beristirahat. Apalagi ketika Sorang mengajak mereka untuk ke beranda depan. Di situ, ada sebuah dipan bambu yang sudah reot, namun masih cukup kokoh untuk diduduki.
Di beranda, Sorang banyak bercerita mengenai apa yang pernah didengarnya tentang kehebatan Pendekar Rajawali Sakti dan Kipas Maut. Dan ini membuat kedua tamunya jadi jengah. Sepertinya, cerita Sorang itu berlebih-lebihan. Dan Rangga paling tidak suka mendengarnya.

***

122. Pendekar Rajawali Sakti : Sepasang Pendekar BertopengTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang