Desa Gadang Banyu terletak di antara dua gunung yang menjulang tinggi. Suasananya tak begitu ramai. Desa itu pada mulanya adalah jalan penghubung antara mereka yang berada di barat, dan timur. Namun sejak ada jalan lain yang lebih singkat maka desa ini jarang disinggahi. Bukan saja karena jaraknya yang jauh dan berliku-liku, namun karena masih banyak perampok berkeliaran.
Di beranda sebuah rumah yang paling besar dan mewah di Desa Gadang Banyu seorang laki-laki setengah baya tampak tengah bersiul-siul menggoda burung perkututnya. Dia memang mempunyai banyak perkutut yang setiap hari digantung pada tonggak kayu di halaman depan rumahnya. Tak heran kalau di halaman rumahnya terdapat tonggak kayu untuk menggerek sangkar berisi perkutut. Biasanya, pembantunyalah yang mengurusi burung-burungnya itu. Namun sesekali, dia pun suka pula ikut mengurusi. Kesibukannya sebagai kepala desa agaknya tak menjadi halangan baginya untuk sesekali ikut mengurusi perkutut-perkututnya.
"Ayo, Tukong. Kau harus pandai manggung yang merdu. Jangan seperti burung hantu begitu!" teriak Kepala Desa Gadang Banyu itu pada seekor perkutut yang baru saja dikerek turun.
Perkutut yang dipanggil Tukong itu diam membisu, dengan mata menatap tajam ke arahnya. Kemudian kedua sayapnya digoyang-goyangkan dan terbang ke sana kemari di dalam sangkar seperti gelisah.
"Warso...!"
Tiba-tiba terdengar sebuah suara pelan, namun membuat kepala desa itu tersentak kaget. Tak jelas dari mana datangnya tahu tahu saja di dekatnya telah berdiri tegak dua sosok tubuh berpakaian coklat dan kuning. Wajah mereka tak jelas, karena seluruh kepalanya terbungkus kain warna merah. Hanya ada dua lubang pada bagian mata mereka yang menatap tajam ke arah kepala desa itu. Sementara dengan cepat laki-laki berusia lima puluh tahun itu melompat berbalik, dan surut ke belakang dengan siaga.
"Kenapa? Kau kelihatannya ketakutan sekali, Warso? Ayo, panggillah tukang-tukang pukul dan jagoan-jagoan silat bayaranmu itu untuk melindungi dirimu," ejek salah seorang dari kedua sosok bertopeng itu.
"Siapa kau?!" bentak Warso.
"Hm.... Apakah kau sungguh-sungguh ingin tahu? Ingatkah peristiwa sebelas tahun yang lalu, ketika dua orang bocah berpenyakit kusta yang dikejar-kejar untuk dibunuh. Orang tuanya difitnah, dengan mengatakan kalau mereka memiliki kitab ilmu silat yang menghebohkan. Sehingga banyak tokoh silat yang ikut tertarik dengan fitnah itu. Lalu kau, anak buahmu, dan tokoh-tokoh silat akhirnya membakar mereka hidup-hidup. Kau ingat itu, Warso? Dan hari ini, adalah hari pembalasan atas semua perbuatan-perbuatan yang terkutuk itu," sahut orang bertopeng itu dingin.
"Ka.., kau Panjalu dan Sumi, putra-putri Ki Dewoko dan Nyai Kumiasih...?" tanya Warso, seperti ingin meyakinkan.
"Itu bukan urusanmu!"
Mendengar jawaban itu Warso tersentak. Mendadak dia seperti ingat terhadap harga dirinya. Mana mungkin dia menunjukkan rasa keterkejutannya di depan kedua orang bertopeng ini? Apapun yang terjadi, mereka tak bisa begitu saja menggertaknya. Maka dengan sikap jumawa dan suara yang dibuat sedemikian rupa, keberaniannya berusaha ditunjukkan.
"Huh! Kalian pikir dengan menceritakan peristiwa itu akan membuatku takut? Phuih! Biarpun Ki Dewoko hidup lagi, tak bakal aku akan lari. Mereka memang sudah selayaknya mampus, karena akan membawa malapetaka saja!" dengus Warso, sambil berkacak pinggang.
"Suiittt...!!"
Bersamaan dengan itu, kepala desa itu bersuit nyaring. Maka dalam beberapa saat saja, terlihat beberapa orang laki-laki berwajah kasar telah berkumpul ditempat itu, siap dengan senjata masing-masing. Kesombongan Warso semakin bertambah saja melihat anak buahnya telah mengepung kedua orang bertopeng itu.
"Hahaha...! Warso! Apakah jumlah ini tak bisa diperbanyak lagi? Ayo, panggil semua tukang pukulmu. Tapi, jangan harap nyawamu akan kulepaskan begitu saja. Kau akan mampus, Warso!"
Kedua orang itu malah tertawa ketika dikurung sedemikian rupa. Dari nada bicara mereka, jelas kalau kedua orang bertopeng itu sama sekali tidak takut. Bahkan malah menganggap enteng para tukang pukul Kepala Desa Gadang Banyu itu.
"Keparat! Menyerahlah. Kalian sudah terkepung!" dengus Warso.
"Hehehe...! Kesombonganmu mulai terlihat, Warso! Apakah kau pikir sudah yakin akan mampu menangkapku?" ejek yang berbaju coklat.
"Hm, kenapa tidak? Pengacau busuk seperti kalian tak akan kuampuni. Kalian akan dihukum berat!" balas Warso.
"Sepertinya kau bicara tentang keadilan. Tapi kau sendiri lupa kalau telah bertindak tak adil sebelas tahun lalu. Kedua bocah itu hidup sengsara, dan mereka tak mengerti apa-apa. Tapi dengan kekejamanmu yang seperti binatang kau mengejar mereka seperti anjing buduk. Apa salah mereka, Warso? Dan, mana keadilan untuk mereka?" sindir yang berbaju kuning.
"Huh! Kau menginginkan keadilan? Inilah keadilan untukmu!" sahut Warso. Seketika diberinya isyarat pada anak buahnya untuk menangkap kedua orang bertopeng itu.
Maka seketika anak buah kepala desa itu bergerak ke arah kedua orang bertopeng ini, dengan senjata terhunus. Kelihatannya, mereka tak akan memberi ampun bila kedua orang itu tertangkap.
"Hahaha...! Kau tak akan sempat menyesal atas semua ini, Warso! Kau tak akan sempat menyesal!" teriak orang bertopeng yang memakai baju coklat sambil tertawa-tawa. Kedua orang bertopeng itu segera melompat ke sana kemari menghindari tebasan senjata tajam yang melesat gencar.
"Yeaaa...!" Orang bertopeng yang menggunakan baju coklat itu melompat tinggi menghindari sabetan golok yang menghajar pinggang. Dan seketika kaki kanannya mengayun ke depan, langsung menghajar dagu salah seorang pengeroyok.
Duk!
"Argkh!" Orang itu kontan terpukul sambil menjerit kesakitan. Tulang dadanya seketika patah akibat tendangan orang berbaju coklat. Tubuh pengeroyok itu terhuyung-huyung, kemudian ambruk ke tanah. Setelah menggelepar-gelepar seperti ayam dipotong, dia diam tak bergerak lagi.
Orang bertopeng yang bertubuh tegap itu tak sempat memperhatikan lawannya yang terjungkal, ketika dua orang pengeroyok yang lain kembali menyerang ganas. Yang seorang menusuk tepat ke arah jantungnya, sedangkan yang seorang lagi menyambar perut.
"Hup!" Untung saja orang bertopeng dan berpakaian coklat itu lebih cepat bertindak. Tubuhnya segera bergerak ke kanan, menghindari tusukan yang mengarah ke jantung. Dan seketika tangannya menangkap pergelangan tangan pengeroyok yang mengarah ke perut, sambil menarik tangan itu dengan keras untuk diadu dengan lutut kirinya, seketika dilepaskan tendangannya kaki kirinya ke perut lawan yang akan menusuk jantungnya tadi. Begitu cepat gerakan orang bertopeng itu, sehingga...
Krak!
Begkh!
"Aaakh...!"
Kedua orang itu kontan menjerit kesakitan tanpa dapat meneruskan pertarungan. Yang seorang tangannya patah, dan seorang lagi terjungkal ke tanah tak bangun-bangun lagi.
Sementara itu orang bertopeng berbaju kuning yang sejak tadi tak banyak bicara, tampak meliuk-liukkan tubuhnya. Gerakannya begitu gesit, seperti burung walet. Bahkan ilmu silatnya amat tinggi, tak kalah dengan pasangannya. Dalam beberapa saat saja dua orang lawan telah dijatuhkannya.
Bahkan orang bertopeng yang bertubuh ramping itu kelihatannya lebih kejam. Lawan yang mendekat, tak kepalang tanggung dihajar sampai mati. Kedua telapak tangannya sangat berbahaya. Sehingga akan menimbulkan luka hangus yang berbau busuk bila menyentuh lawan.
"lblis pengacau, mampuslah kau! Hiyaaat...!" teriak seorang lawan pengeroyok sambil mengayunkan golok di tangan. Sementara, kedua kawannya membantu dari belakang dan samping.
"Hup!"
Sosok ramping berpakaian kuning itu menggeser tubuhnya ke kiri, ketika salah seorang pengeroyok berusaha memapak punggung kanan dari belakang. Tubuh rampingnya berputar cepat ke atas, sementara ketiga lawannya terus mengejar. Dan dengan satu gerakan bersalto yang indah, kakinya mendarat empuk di tanah.
"Yeaaa...!"
Seorang pengeroyok meluruk deras dengan golok menyambar kepala orang bertopeng yang berbaju kuning itu. Namun serangan itu mudah sekali dielakkan. Bahkan orang bertopeng dengan pakaian kuning itu berhasil menangkap tangannya, seraya menghantamkan pukulan ke arah dada kiri. Begitu cepat gerakannya, sehingga...
Plak! Plakkk...!
"Aaa...!" Si pengeroyok itu terpekik dan terjengkang ke tanah beberapa tombak ketika sebuah pukulan mendarat di dada. Tampak tanda lima jari yang hitam seperti terbakar tergambar di dadanya. Tubuhnya kelojotan sambil berguling-gulingan sejenak. Beberapa saat kemudian diam tak bergerak. Bahkan bau busuk langsung menyeruak, dan menyengat hidung akibat pukulan itu.
Seorang pengeroyok lain mencoba mencuri kesempatan dengan menebaskan golok ke punggung, ketika orang berpakaian kuning itu melihat akibat pukulannya pada lawannya tadi. Namun serangan itu kandas, karena orang berpakaian kuning itu cepat membungkuk. Kemudian tubuhnya berbalik, seraya menghantamkan pukulan ke jantung pembokongnya.
Begkh!
"Aaakh!" Kembali terdengar pekikan kesakitan, begitu pembokong ini dadanya terhantam pukulan. Seketika dadanya hangus terbakar dan menimbulkan bau busuk menyengat. Orang itu langsung ambruk, dan tak berkutik lagi.
Warso terperangah kaget melihat para anak buahnya sama sekali tak berdaya meringkus kedua orang bertopeng merah darah itu. Bahkan satu persatu mereka tewas di tangan kedua lawannya. Diam-diam, hatinya ciut juga dan bermaksud melarikan diri.
Sebagai kepala desa, Warso memang cukup punya kepandaian lumayan. Namun justru dari situlah bisa dinilai, kalau kepandaiannya kalah jauh dibandingkan dua orang bertopeng itu. Maka diam-diam, saat anak buahnya sibuk melawan dua manusia bertopeng, Warso menyelinap ke dalam rumahnya. Begitu sampai di dalam rumahnya, istri dan kedua anaknya yang sejak tadi ketakutan melihat keributan di luar segera diajak untuk cepat angkat kaki.
"Mau ke mana kita, Kang?" tanya istri kepala desa itu dengan tubuh gemetar, ketika mereka berada di kamar.
"Sudah. Pokoknya jangan banyak tanya. Ayo, beresi cepat barang-barang berharga milikmu!" dengus Warso membentak.
Laki-laki setengah baya itu tak peduli lagi pada kedua anaknya yang masih muda. Mereka tampak gemetar ketakutan dan tak berdaya melakukan apa-apa. Warso segera menarik salah seorang, seraya berjalan dengan langkah lebar. Sementara istrinya menarik anaknya yang lain.
"Ayo, Laksi! Cepat!"
"Iya, iya...!" Dengan tergopoh-gopoh mereka bergegas keluar kamar, dan menuju pintu belakang. Namun begitu menyelinap keluar, alangkah kagetnya Warso ketika melihat salah seorang dari manusia bertopeng itu telah berdiri tegak menghadang mereka. Maka buru-buru istri dan kedua anaknya diajak berbalik, hendak lari. Namun niatnya pupus begitu manusia bertopeng yang seorang lagi telah menghadang. Wajah Warso tampak pucat. Malah istrinya terduduk lemas di tanah. Sementara kedua anaknya bersembunyi di pinggang kanan dan kiri perempuan berusia kurang dari empat puluh tahun itu.
"Hm.... Mau mencoba melarikan diri, heh?!" dengus manusia bertopeng yang berbaju coklat, dingin.
"Jangan harap kau bisa lolos dari kami," sahut manusia bertopeng yang bertubuh ramping terbungkus pakaian kuning.
"Kau lihat, Warso? Anak buahmu tak berarti apa-apa. Mereka hanya kantung-kantung nasi yang tak berguna. Sekarang kau sendiri dan tak seorang pun yang bisa menyelamatkan diri dari cengkeraman kami," lanjut orang bertopeng berbaju coklat.
"Eh! Ng..., lepaskanlah kami. Dan, ambillah semua harta benda ini, asal kalian mau mengampuni kami...," ratap Warso terbata-bata, sambil menoleh ke arah dua manusia bertopeng itu bergantian. Emas permata miliknya yang berada dalam sebuah kantung lain diangsurkannya.
"Nyawa Ki Dewoko dan Nyi Kumiasih yang diperlakukan secara kejam dan tak berperikemanusiaan, tak sepadan dengan harta benda sebanyak apa pun. Demikian pula nasib Panjalu dan Sumi yang sengsara dan dikejar-kejar bagai anjing kudisan. Semuanya tak akan bisa kau bayar dengan apa pun kecuali nyawamu, Warso!" desis orang bertopeng yang berbaju coklat.
Darah Warso tersirap. Wajahnya seketika pucat bagai mayat, mendengar kata-kata itu. Tak ada jalan lagi baginya, selain pasrah.
"Bersiaplah menerima kematianmu!" dengus manusia bertopeng yang berbaju coklat sambil melangkah pelan mendekatinya.
"Tuan, tolonglah kami. Jangan bunuh suamiku. Ampunilah kami..." Istri Warso merangkak sambil bersujud di depan manusia bertopeng itu. Tapi....
Plak!
"Aaa...!" Perempuan itu terpekik! Sungguh tak disangka-sangka manusia bertopeng berbaju coklat itu mengebutkan tangannya, dan mendarat telak di batok kepala istri kepala desa itu. Kulit kepalanya hangus terbakar dan darah kental kehitaman mengucur deras. Tubuhnya langsung ambruk ke tanah dengan nyawa melayang.
"Bedebah! Kubunuh kalian! Kubunuh kalian...!" teriak Warso kalap.
Dengan nekat kepala desa itu meluruk, langsung menyerang manusia bertopeng yang telah membunuh istrinya. Kepalan tangannya diarahkan ke wajah! Namun mudah sekali orang bertopeng berbaju coklat itu mengelak ke kanan. Seketika kaki kanannya diayunkan menghajar ke arah dada.
Wuttt!
"Hup!"
Warso berhasil menghindar dengan menjatuhkan diri ke lantai. Seketika kakinya menyapu lutut belakang lawan dengan keras. Namun mudah sekali manusia bertopeng yang bertubuh kekar itu melenting ke atas. Bahkan cepat sekali kakinya terayun kembali ke dada kepala desa itu.
Namun tentu saja Warso tidak sudi dadanya terhantam kaki lawan. Sambil mundur selangkah ke belakang, tangan kanannya segera bergerak cepat, memapak serangan. Warso berhasil menangkis dengan tangannya. Namun mulutnya jadi meringis kesakitan. Disadari kalau pergelangan tangannya telah patah. Dan dia tak ingin mempedulikannya. Bahkan kepala desa itu menjatuhkan diri ke tanah, langsung bergulingan mendekati lawan, sambil menghantamkan pukulan ke bawah perut. Namun manusia bertopeng berpakaian coklat itu terdengar mendengus pelan. Tubuhnya seketika bersalto, dengan kepalan tangan kanannya langsung ke arah punggung kiri kepala desa yang tengah bergulingan itu.
"Hiyaaa...!"
Begkh!
"Aaakh...!"
Warso kontan terjerembab ke tanah, disertai jeritan kesakitan begitu punggung kirinya terhantam pukulan yang dilepaskan sambil bersalto dari orang bertopeng itu.
"Ayaah...!" Kedua anak kepala desa itu menjerit mendapatkan ayahnya menggelepar-gelepar kesakitan. Dan ketakutan mereka pun sirna. Wajah mereka berubah merah membara, membawa api dendam. Dan begitu mengetahui ayahnya telah tewas, ditatapnya kedua orang bertopeng yang sudah berdiri berdampingan. Kedua pemuda tanggung itu tampak berdiri tegak dengan sikap menantang.
"Setan keparat! Kalian harus membayar nyawa kedua orang tuaku!" dengus salah seorang.
"Yeaaa...!"
Dengan gerakan nyaris bersamaan mereka menerjang, namun kedua manusia bertopeng itu mudah sekali menghindari. Apalagi, kedua pemuda tanggung itu sama sekali tidak mengerti ilmu silat. Pukulan yang dilakukan hanya disertai pengerahan tenaga kasar belaka. Sedangkan manusia bertopeng itu agaknya sedikit pun tak mau memberi hati. Begitu pukulan dua anak muda itu luput, sekali menggerakkan tangan saja kedua orang bertopeng itu sudah unggul di atas segala-galanya. Sehingga....
Prak! Prak!
"Aaakh...!"
Kedua anak muda tanggung itu kontan terjengkang dengan kepala pecah, begitu satu pukulan keras mendarat di sasaran. Mereka ambruk di tanah, bermandikan darah.
"Mampus!" dengus manusia bertopeng yang bertubuh kekar sambil sinis.
"Habislah sudah keluarga mereka. Kakang, siapa lagi yang akan didatangi?" sahut orang bertopeng yang bertubuh ramping.
"Banyak lagi, Sumi. Mereka semua harus mendapatkan balasan yang setimpal. Bahkan lebih menyakitkan dari apa yang pernah dilakukan terhadap kita!" sahut manusia bertopeng yang berbaju coklat. Memang, dia sebenarnya Panjalu. Sedangkan yang bertubuh ramping adalah Sumi.
"Ya, Kakang. Rasanya aku pun sudah tak sabar ingin menghajar mereka semua!" tambah Sumi dengan geram.
"Kalau begitu mari kita berangkat!"
"Baiklah!"
Kakak beradik itu segera berlalu dari tampat kediaman Kepala Desa Gadang Banyu ini. Tatkala angin berhembus, bau anyir darah dan bau busuk menyeruak dari mayat-mayat itu.***
KAMU SEDANG MEMBACA
122. Pendekar Rajawali Sakti : Sepasang Pendekar Bertopeng
ActionSerial ke 122. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.