Durga berteriak menyayat begitu lehernya terbabat pedang milik Kaliambar. Tubuhnya langsung terhuyung-huyung dengan tangan memegangi leher yang telah mengucurkan darah. Sebentar kemudian tubuhnya ambruk dan langsung menggelepar tak berdaya. Dia tewas beberapa saat kemudian, dengan leher hampir buntung.
Sementara di lain tempat kedua bocah itu terlihat ketakutan melihat pertarungan itu. Terlebih-lebih Sumi, meski belakangan ini sering melihat, namun darahnya masih tersirap menyaksikan orang terluka menyemburkan darah dan menggelepar seperti ayam dipotong. Tubuhnya kontan menggigil. Namun, Panjalu cepat menenangkannya. Dan bocah laki-laki itu melihat peluang untuk melarikan diri dari tempat itu.
"Ayo, cepat! Mereka sedang sibuk, ini kesempatan untuk kabur!"
Panjalu segera menarik tangan adiknya. Langsung diajaknya Sumi berlari meninggalkan tempat itu, disaat pertarungan antara Lima lblis Maut yang kini berjumlah empat orang melawan Kaliambar. Maka dengan langkah tersaruk-saruk, Sumi mengikuti kakaknya yang berlari sekencang kencangnya.
"Pelan-pelan saja, Kang! Kakiku sakit..." keluh bocah perempuan itu.
"Ayo! Kau harus menguatkan semangatmu. Jangan mengeluh. Kalau kita tertangkap lagi, habislah riwayat kita. Siapa pun yang menang, sama saja. Mereka tetap akan membunuh kita!"
Sumi tak membantah. Air matanya kini meleleh menahan perih di kakinya. Persendian lututnya seperti mau lepas ketika dibawa lari sedemikian kencang dan dalam keadaan terpaksa begini. Tapi hatinya berusaha dikuatkan. Benaknya terus membayangkan, kalau saja mereka sampai tertangkap, maka golok atau pedang yang tajam akan segera menggorok leher. Dan membayangkan hal itu, langkahnya semakin cepat.
Mereka terus berlari menelusuri kaki bukit, dan mendaki gunung tinggi yang tampak di depan. Tidak dipedulikan lagi onak duri dan batu-batu gunung sebesar kerbau, serta jurang yang menganga di kanan dan kiri. Mereka terus berlari seperti tak mau berhenti.
"Kakang, berhenti dulu. Napasku mau putus rasanya...!" keluh Sumi terengah-engah.
"Iya, iya.. Aku pun capek sekali...," sahut Panjalu sambil menghentikan langkah.
Bocah laki-laki itu melihat adiknya terduduk di bawah sebuah batu besar dengan napas kembang kempis. Segera dihampirinya Sumi, lalu berusaha untuk duduk bersandar di sebelah adiknya. Kedua bocah itu memandang jauh ke depan, sambil sesekali melirik ke arah yang tadi dilalui dengan hati was-was. Di depan mereka, terbentang jurang lebar dan dalam. Dari atas terlihat kehijauan gerumbulan dedaunan lebat di bawah sana. Sementara di dekat mereka, terdapat jalur dua arah yang harus dilalui. Dan, entah menuju ke mana.
"Kang, kira-kira siapa yang menang di antara mereka...?" tanya Sumi.
"Siapa? Orang yang berkelahi itu?" Panjalu malah balik bertanya.
Bocah perempuan itu mengangguk.
"Entah. Orang berbaju putih itu hebat. Meski dikeroyok lima orang, tapi tak takut. Bahkan berhasil membunuh seorang musuhnya..."
"Dia jahat juga, Kang?"
"Orang-orang itu semuanya jahat pada kita, Sumi! Mereka tak boleh dipercaya."
"Aku dendam pada mereka, Kang! Apalagi, pada orang-orang yang telah membunuh kedua orangtua kita!" dengus bocah perempuan itu tiba-tiba dengan mata berkilat tajam.
"Aku juga. Kalau sudah besar nanti, aku akan mencari guru yang hebat dan berlatih ilmu olah kanuragan. Akan kuhajar mereka semuanya!" sahut Panjalu geram.
"Aku ikut, Kang!
"Tentu. Kau akan kuajak juga!"
Mendadak, saat itu muncul di hadapan kedua bocah itu seorang pemuda berbaju putih. Kedatangannya bagai hantu saja, sehingga kedua kakak beradik itu terkejut kaget, dan buru-buru bangkit sambil berjalan mundur menjauh.
"Heh?!"
"Kakang...," desah Sumi lirih dengan wajah pucat ketakutan.
"Tenanglah, Sumi..."
"Laki-laki ini yang tadi..."
"Iya, aku tahu. Kelima Orang tadi barangkali telah mati di tangannya," sahut Panjalu.
"Hahaha...! Hei, Bocah! Mau ke mana kalian? Ke sini lebih dekat padaku. Jangan takut. Aku tak akan menyakiti kalian!"
Pemuda berbaju putih yang tak lain Kaliambar itu tertawa keras. Kemudian dengan muka manis, dia berusaha membujuk kedua bocah itu sambil mengulurkan tangan. Sedangkan Panjalu dan Sumi tak bergeming. Wajah mereka ditekuk sedemikian rupa, dengan sorot mata tajam tak percaya.
"Ayo, ke sini. Aku ingin minta tolong sesuatu pada kalian," bujuk Kaliambar.
"Tidak! Kau jahat sama seperti mereka!" sahut Panjalu tegas, sambil terus mundur kebelakang.
"Eee...! Siapa yang mengajarimu berkata begitu? Ayo, ke sini kataku!" bentak Kaliambar, mulai hilang kesabarannya melihat sikap bocah itu.
"Tidak! Kau jahat, dan pasti akan membunuh kami!"
"Hehehe...! Siapa yang mengatakan begitu? Untuk apa aku meski membunuh kalian? Dan kalau aku ingin membunuh, maka sudah sejak tadi kulakukan. Tapi buktinya aku tidak melakukannya, kan? Nah! Itu berarti aku memang tak berminat membunuh kalian," bujuk Kaliambar lagi.
Panjalu diam mendengar kata-kata itu. Namun, otaknya terus berputar. Pengalaman yang didapat pada hari-hari belakangan ini sangat menjadi pelajaran baginya untuk tidak mempercayai siapa pun di dunia ini.
"Nah! Sekarang kalian percaya, bukan? Aku hanya ingin minta tolong saja lanjut Kaliambar sambil tersenyum kecil.
"Menolong apa?" tanya Panjalu. Sebenarnya bocah itu sudah menduga, apa yang diiinginkan pemuda ini. Tadi pun ketika bertarung, sudah jelas terdengar kalau keinginan pemuda ini pasti adalah kitab yang sama sekali tidak diketahuinya.
"Bagus. Kalau bisa menolongku, kalian akan kubebaskan. Bahkan akan kulindungi. Siapa pun yang berani mengganggu kalian akan kutebas lehernya," lanjut Kaliambar.
Mendengar kata-kata itu, Sumi tampak gembira. Kecemasan di hatinya berangsur-angsur hilang. Perlahan-lahan dilepaskannya pelukan pada kakaknya. Tapi, tidak demikian halnya Panjalu. Rasanya semanis apapun yang keluar dari mulut laki-laki itu, tak akan mengubah pendapatnya kalau semua orang jahat dan memusuhi mereka.
"Apa yang bisa kami tolong?" Panjalu mengulangi pertanyaannya.
"Singkat saja. Semua orang tahu, orang tua kalian menyimpan sebuah kitab berisi pelajaran ilmu silat tingkat tinggi dari seorang tokoh terkenal yang dititipkan padanya. Nah! Tahukah kalian, di mana kitab itu disembunyikan?" tanya Kaliambar sambil tersenyum lebar.
"Kitab itu tak ada padaku. Juga, kedua orang tua kami tak bercerita apa-apa tentang hal itu...," sahut Panjalu pelan.
"Hm.... Jangan membohongiku."
"Tuan! Kakangku berkata yang sebenarnya. Kami tak tahu-menahu soal kitab itu. Sekarang, tolong lepaskan kami...," sahut bocah perempuan itu cepat.
Wajah Kaliambar tampak berubah. Senyum seketika hilang. "Katakan, di mana kitab itu berada! Atau, kalian akan kusiksa," ancam Kaliambar, datar.
Sumi kembali memeluk tubuh kakaknya mendengar ancaman itu. Ketenangan hatinya kembali berkecamuk. Dan kepercayaannya pada laki-laki itu hilang seketika.
"Ayo, katakan! Di mana kitab itu berada!" bentak Kaliambar garang dengan mata melotot.
"Kami sungguh-sungguh tak tahu di mana kitab itu berada...," sahut Panjalu.
Setan!"
Sring!
"Kakang, aku takut..." Sumi merinding ketakutan sambil menyembunyikan wajahnya ke balik punggung Panjalu, ketika melihat pemuda itu mencabut pedangnya dan diacungkan ke arah mereka.
"Ayo, katakan cepat! Atau, kalian akan mampus sekarang juga?! Cepat jangan sampai kesabaranku hilang!"
Panjalu tergagap mendengar bentakan itu, namun sebisa mungkin berusaha menenangkan diri. Matanya sekilas kebelakang. Dan memang, jalan telah buntu, karena jurang menganga lebar. Diam-diam, dia mengeluh dalam hati.
Sementara Sumi sudah menangis sesegukan menahan rasa takut yang amat sangat. Saat itu pula tubuh Panjalu bergetar hebat, seperti kehilangan akal. Memang tak ada lagi jalan keluar bagi mereka di tempat ini. Dalam keadaan demikian, tiba-tiba saja melintas pikiran nekat di hati bocah laki-laki itu. Seketika tubuh adiknya dipeluk erat-erat. Kemudian sambil mendengus garang ditatap pemuda berbaju putih itu tajam-tajam.
"Kau boleh berkata sesukamu. Tapi, jangan harap bisa memaksaku!"
"He, Bocah Setan! Kau pikir aku tidak berani membunuhmu!" gertak Kaliambar, berang.
Mata pemuda itu melotot lebar dan gerahamnya bergemeretak. Agaknya, dia bukan sekadar menggertak. Nyatanya perlahan-lahan kakinya melangkah mendekati kedua bocah kecil itu. Namun....
"Hup!"
"Heh?!"
Tak disangka-sangka, Panjalu melompat kedalam jurang di belakangnya, sambil memeluk adiknya. Kaliambar tercekat kaget, dan tak keburu menangkap mereka.
"Aaa...!"
Pemuda itu hanya bisa mendengar jeritan panjang kedua bocah yang diincarnya. Sambil menggerutu kesal, kembali pedangnya disarungkan sambil melongok ke dalam jurang. "Bocah goblok! Mampuslah kau di bawah sana!" dengus Kaliambar geram, sambil berlalu dari tempat itu.
![](https://img.wattpad.com/cover/230748743-288-k118736.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
122. Pendekar Rajawali Sakti : Sepasang Pendekar Bertopeng
AksiSerial ke 122. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.