BAGIAN 7

253 13 0
                                    

Ki Sembung Jali telah mendengar semua yang diceritakan Ki Kalimaya mengenai orang-orang bertopeng itu. Mungkin itu pula yang menyebabkan dirinya berjaga-jaga malam ini. Demikian juga Ki Kalimaya beserta muridnya. Agaknya, mereka sepakat untuk menghadapi orang-orang bertopeng itu.
"Apakah Ki Kalimaya yakin kalau mereka akan menyatroni kita?" tanya Ki Sembung Jali ragu.
"Hm... Kuat dugaanku begitu. Semua tokoh yang terbunuh adalah yang sebelas tahun lalu ikut dalam pembantaian di Desa Gadang Banyu itu," jelas Ki Kalimaya.
"Ya! Aku pun mendengar pula dari para pedagang yang sering melewati desa ini. Cepat atau lambat, dia akan ke sini juga...," sahut Ki Sembung Jali.
"Kepandaian mereka sangat hebat, Ki. Kau mesti berhati-hati dan harus selalu waspada...," desah Ki Kalimaya, seperti tercekat di tenggorokan.
Ki Sembung Jali memandang tamunya dalam-dalam. "Menurutmu, apakah Pendekar Rajawali Sakti tak bermaksud campur tangan dalam urusan ini...?" tanya Ki Sembung Jali ragu.
"Entahlah. Tapi, dia memang banyak bertanya soal mereka...," sahut Ki Kalimaya.
"Seandainya saja dia berada di sini...," desah Ki Sembung Jali.
"Ki! Kita tak bisa mengandalkan bantuan pada seseorang. Kesalahan ini secara tak langsung adalah beban kita. Maka kita harus memikulnya tanpa mengandalkan bantuan orang lain....''
"Ya, aku mengerti. Meskipun dilakukan, karena kita dikelabui kepala desa itu."
"Sudahlah. Nasi sudah menjadi bubur. Tiada guna lagi disesali."
Ketiga orang itu terdiam beberapa saat. Sementara, di luar keadaan semakin gelap. Udara dingin mulai merayap masuk ke ruang tamu ini. Ketika cahaya kilat menerangi tampat itu untuk sesaat, maka bisa diduga kalau sebentar lagi akan turun hujan. Dan kegelisahan pun seperti merayapi mereka. Menunggu sesuatu yang tak pasti namun seolah ada di depan mata. Bahkan selalu mengancam keselamatan mereka.
Slap!
"Heh?!" Ketiga orang itu tersentak kaget, ketika sekelebat bayangan bergerak cepat melewati jendela depan. Mereka segera bersiaga dengan senjata masing-masing. Ki Sembung Jali meraih tombaknya dan menggenggam erat-erat. Sementara, Ki Kalimaya beserta muridnya menggenggam sebilah pedang.
"Siapa?!" bentak Ki Sembung Jali. Orang tua itu segera bergerak ke depan dan membuka pintu lebar-lebar. Sorot matanya tajam mengawasi keadaan di luar. Namun sedikit pun tak terlihat tanda-tanda yang mencurigakan. Orang tua itu mulai berpikir, apakah matanya yang mulai rabun? Tapi...
Bruakkk!
"Yeaaa...!"
"Hei!" Bukan main terkejutnya ketiga orang itu, ketika tiba-tiba dari atap menerobos dua sosok tubuh berpakain kuning dan coklat, langsung bergerak menyerang Ki Kalimaya dan muridnya.
"Hiyaaat..!" Ki Kalimaya melompat untuk menghindari serangan. Pedangnya langsung terhunus menghajar bagian kepala sosok yang baru menginjakkan kakinya di tanah.
Wuttt!
Namun sosok berpakaian coklat dengan topeng merah darah itu sigap sekali menundukkan kepala, sekaligus mengayunkan sebelah kaki. Cepat dilepaskannya satu tendangan ke arah dada.
Zet!
"Uts!" Ki Kalimaya melompat ke belakang. Namun sosok tubuh yang bertopeng itu terus mengejar, melepaskan satu kepalan tangan bertenaga kuat yang menyambar perut.
"Hih!"
Bet! Bet!
Pada saat yang gawat itu Ki Sembung Jali melompat sambil mengayunkan tombaknya yang berputar-putar cepat, ke arah orang bertopeng dan berpakaian coklat yang memang Panjalu itu. Namun, Panjalu lebih cepat melompat ke atas, langsung membuat beberapa putaran. Kemudian bagai sebuah anak panah, tubuhnya meluruk deras menghantam lurus ke kening orang tua itu.
"Yeaaa!"
"Uts!" Ki Sembung Jali cepat-cepat menjatuhkan diri ke lantai hingga kepalan tangan Panjalu yang diiringi tenaga dalam tinggi lewat setengah jengkal dari kepalanya. Sementara Ki Kalimaya cepat bertindak. Kembali pedangnya dibabatkan ke tubuh laki-laki bertopeng coklat itu dalam beberapa gerakan memotong yang cepat. Namun belum lagi melanjutkan serangannya....
"Aaa..!"
Ki Sembung Jali dan Ki Kalimaya dikejutkan teriakan Tarmuji yang sendirian menghadapi orang bertopeng satunya lagi. Tubuh Tarmuji terjungkal disertai semburan darah segar dari mulut lalu membentur dinding dengan keras. Namun orang bertopeng yang bertubuh ramping dan tak lain dari Sumi itu tak memberi kesempatan sedikit pun. Sebelum tubuh Tarmuji roboh, dia melompat dan bermaksud menghabisi secepatnya.
Saat itulah, Ki Kalimaya langsung menghentikan serangannya pada Panjalu, dan langsung begerak cepat menghadang orang bertopeng yang bernama Sumi. Dengan kecepatan dahsyat, pedangnya diayunkan ke tubuh ramping milik manusia bertopeng yang berbaju kuning itu.
Wut! Wut!
"Hup!"
Sumi cepat menundukkan kepala, menghindari sambaran pedang Ki Kalimaya. Dan dengan kecepatan kilat, kepalan tangan kanan beralih mengancam perut Ki Kalimaya.
Wut!
"Uts!"
Namun tanpa memberi kesempatan sedikitpun, Sumi terus mencecarnya. Tubuhnya cepat berputar, seraya melepaskan tendangan kaki kiri ke arah dada. Serangan yang demikian cepat ini membuat Ki Kalimaya terkejut. Sebisanya dicobanya untuk menangkis.
Plak!
"Uhhh...!" Ki Kalimaya jadi meringis sendiri ketika merasakan tangannya terasa nyeri akibat benturan dengan kaki manusia bertopeng itu. Maka buru-buru pedangnya diayunkan sekuat tenaga ketika Sumi akan melanjutkan serangan. Tapi manusia bertopeng berpakaian kuning ini telah melenting ke atas. Begitu telah berada di udara, dia mengincar batok kepala orang tua itu.
"Uts...!" Ki Kalimaya cepat menjatuhkan diri, sehingga kepalan tangan Sumi luput menghantamnya.
Sementara itu dari pertarungan lain, terdengar suara berdentang nyaring. Tombak yang tadi digenggam Ki Sembung Jali tampak terlempar menghantam dinding. Orang tua itu sendiri menjerit kesakitan, ketika tubuhnya terlempar. Namun dalam keadaan begitu dia masih sempat menguasai diri dan berpijak kokoh di atas kedua kakinya.
"Yeaaa...!" Panjalu sudah melompat menyergap ketika orang tua itu baru saja menyentuh lantai. Terpaksa Ki Sembung Jali melenting cepat, menghindari injakan kaki Panjalu yang kuat luar biasa.
Bresss!
Lantai dekat Ki Sembung Jali jebol sedalam satu jengkal, begitu Panjalu tak menemukan sasaran. Kedua orang bertopeng itu terus menyerang gencar lawan masing-masing. Sementara Ki Kalimaya dan Ki Sembung Jali hanya bisa bertahan mati-matian. Agaknya kematian mereka hanya menunggu waktu saja. Namun tiba-tiba...
"Berhenti...!"
"Heh?!"
Terdengar bentakan nyaring yang disertai tenaga dalam tinggi. Kemudian disusul meluruknya dua sosok tubuh dari atas atap dan mendarat manis di antara mereka. Sepasang orang bertopeng itu terkejut. Mereka cepat melarikan diri lewat dinding yang telah jebol berantakan ketika melihat siapa yang datang. Namun dua sosok yang tak lain Pendekar Rajawali Sakti dan Kipas Maut itu tak membiarkan mereka lolos begitu saja. Rangga dan Pandan Wangi cepat melesat disertai ilmu meringankan tubuh yang sudah sangat sempurna, menghadang mereka di halaman rumah Ki Sembung Jali. Kini Pendekar Rajawali Sakti berhadapan dengan Panjalu, sedangkan Pandan Wangi berhadapan dengan Sumi.
"Sudah kuperingatkan agar kalian tak lagi membuat kekacauan di mana-mana. Cukuplah sudah apa yang kalian lakukan selama ini. Tapi, nyatanya kalian keras kepala dan telah dirasuki iblis!" desis Pendekar Rajawali Sakti.
"Pendekar Rajawali Sakti! Di antara kita tak ada persoalan. Kenapa selalu usil dan ikut campur urusan kami?!" kata Panjalu, tak senang.
"Sebenarnya aku tak bermaksud ikut campur, kalau saja perbuatan kalian benar dan bijaksana. Tapi apa yang kalian lakukan selama ini, semata-mata menuruti nafsu iblis dan dendam belaka. Apakah kalian tak bisa memaafkan dan membiarkan apa yang telah terjadi untuk diambil hikmahnya?" sahut Pendekar Rajawali Sakti kalem.
"Hahaha...! Bicaramu seperti seorang pendekar saja! Kau bicara tentang pembunuhan yang kami lakukan? Padahal tanganmu sendiri kotor berlumur darah. Orang sepertimu tak layak bicara seperti itu!" sindir Panjalu yang bertopeng merah darah ini.
"Aku memang tak mengingkarinya. Tanganku memang berlumuran darah dan kotor. Tapi kau harus tahu orang-orang yang terbunuh di tanganku sebagian besar adalah para pengacau dan pembuat keonaran," kilah Rangga.
"Sudah, jangan banyak bicara! Lebih baik kalian menyingkir. Persoalan itu sudah jelas, dan mereka telah mengakuinya. Lantas kau tahu apa tentang penderitaan yang kami alami?" sinis nada suara Panjalu.
"Kenapa tidak? Aku tahu persoalan kalian. Makanya aku mengingatkan kalian agar tak menuruti nafsu setan dan dendam yang akan menyulitkan diri sendiri. Sorot matamu tak akan bisa menipuku. Bahkan aku tahu wajah di balik topengmu itu!" ucap Rangga dingin.
Kata-kata Rangga membuat orang bertopeng itu terdiam beberapa saat lamanya. Mulai diduga-duga, benarkah apa yang dikatakan Pendekar Rajawali Sakti itu? Rangga telah mengetahui wajah di balik topeng ini?
"Huh! Kau jangan asal bicara, Pendekar Rajawali Sakti!" dengus orang bertopeng berpakaian coklat itu.
"Kau boleh coba. Tapi tak usah kukatakan. Aku mengingatkanmu sebagai seorang sahabat. Maka, urungkanlah dendam itu. Dan hiduplah kalian secara baik dan benar. Lupakan semua masa lalu yang pahit itu."
"Phuih! Tutup mulutmu!" Panjalu tiba-tiba menyentak. Dan pada saat itu juga tubuhnya tiba-tiba mencelat menyerang Pendekar Rajawali Sakti.
Pendekar Rajawali Sakti menangkis kepalan tangan Panjalu, sehingga tangan mereka saling beradu. "Yeaaa...!"
Plak!
Laki-laki bertopeng itu menahan nyeri pada tangannya akibat benturan dengan tangan Pendekar Rajawali Sakti tadi. Namun dia seperti tak peduli. Bahkan tiba-tiba saja tubuhnya berbalik, lalu dengan tenaga dalam kuat tangannya kembali bergerak ke arah dada. Rangga cepat memiring ke kiri sambil mengayunkan kaki kananannya ke dagu.
"Uts!" Panjalu melompat ke belakang. Namun Pendekar Rajawali Sakti tak membiarkan begitu saja. Tubuhnya langsung meleting membawa jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.
"Hiyaaat..!"
Melihat serangan dahsyat ini, Panjalu berniat mengadu nyawa. Seketika pukulan mautnya disiapkan untuk menghadang serangan Pendekar Rajawali Sakti. Namun Rangga malah menarik pulang pukulannya, dan melanjutkan lentingannya menggunakan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Sejenak tubuhnya melayang di udara, bagai kapas saja.
Wer!
Brakkk!
Sedangkan pukulan maut Panjalu yang tidak menemui sasaran itu menghantam sebuah pohon hingga hancur berantakan, tepat ketika Pendekar Rajawali Sakti mendarat di tanah. Pertarungan antara Pendekar Rajawali Sakti melawan Panjalu kembali berlangsung sengit. Sehingga yang tampak hanya bayangan merah yang saling berkelebat.
Sementara itu Pandan Wangi telah bertarung melawan Sumi. Bahkan tempat pertarungan di sekitarnya telah porak-poranda. Sebenarnya Pandan Wangi yang bertarung dengan tangan kosong, tak terlalu terdesak oleh serangan-serangan Sumi. Namun hatinya sudah kesal dan naik darah, karena diremehkan lawannya. Maka tanpa berpikir panjang lagi, langsung dicabutnya Kipas Baja Putih yang terselip di pinggang.
Sret!
"Hi hi hi...! Hm.... Agaknya kepandaian si Kipas Maut hanya begitu saja. Karena tak mampu melawan, kini hendak menggunakan senjata. Ayo! Kenapa tak dicabut saja pedangmu sekalian? Bukankah dengan begitu akan semakin seru?" ejek wanita bertopeng berpakaian kuning ini.
"Hm... Aku menggunakan kipas ini, karena akan lebih lama mencabut nyawa busukmu. Kalau pedangku tercabut, kau tak akan mampu bertahan lebih dari tiga jurus!"
"Ingin kulihat, sampai di mana kemampuanmu!" desis Sumi menantang.
"Lihat serangan!" Pandan Wangi membentak sambil mengembangkan kipas mautnya. Pandan Wangi mengamuk sejadi-jadinya. Namun bukan berarti jurus-jurusnya semakin ngawur. Justru serangannya malah membuat wanita bertopeng itu terkejut setengah mati. Bahkan dia terpaksa jungkir balik menyelamatkan diri dari sambaran kipas maut Pandan Wangi yang tak dapat dipandang enteng, karena disertai pengerahan tenaga dalam kuat. Sekali terkembang, maka terdengar deru angin sambaran kipas yang sangat dahyat, lalu cepat mengatup kembali dan menusuk bagaikan mata pedang. Belum lagi serangan kepalan tangan Pandan Wangi yang kadang menyodok ke dada, serta tendangan kaki kanan yang menghajar ke arah lambung.
"Hiyaaat..!"

***

122. Pendekar Rajawali Sakti : Sepasang Pendekar BertopengTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang