BAGIAN 4

307 15 0
                                    

Hari ini di Perguruan Kijang Kencana tak seperti biasanya. Perguruan yang diketuai Ki Ajar Ningrat ini agaknya banyak didatangi beberapa tokoh persilatan. Mereka berkumpul dan duduk bersila di ruang utama padepokan yang cukup besar dan luas. Ki Ajar Ningrat sendiri tak mau banyak berbasa-basi dalam pertemuan itu.
"Kisanak semua. Seperti diketahui belakangan ini, kita mendengar kabar kalau Ki Kaliambar ternyata telah menemukan kitab pusaka yang banyak dicari berbagai kalangan persilatan. Menurut apa yang kudengar, kitab itu berisi ilmu silat tingkat tinggi yang belum ada tandingannya. Namun konon pula bisa mempengaruhi orang yang mempelajarinya menjadi liar dan beringas. Bahkan nafsu membunuh dalam diri orang yang mempelajari kian menggelegak. Hal ini tentu saja amat membahayakan bagi kita semua. Ki Kaliambar adalah tokoh golongan hitam. Dan kalau betul kitab itu jatuh ke tangannya, maka celakalah dunia persilatan nantinya. Tentu dia akan membuat gelisah orang di mana-mana. Ada pun maksud dari pertemuan ini adalah untuk mencari jalan keluar dan mengatasi masalah itu," jelas Ki Ajar Ningrat.
"Ki Ajar! Dari mana kau tahu kalau Ki Kaliambar telah mendapatkan kitab itu?" tanya seorang bertubuh gemuk dan pendek dengan kepala besar serta dahi lebar. Dia bernama Paluh Dugan, salah seorang tokoh persilatan yang cukup disegani di kawasan sebelah barat.
"Tentu saja dari orang-orang yang bisa kupercaya. Kesimpulan itu diambil ketika terakhir kali Ki Kaliambar mengejar putra-putri Ki Dewoko dan Nyi Kumiasih. Setelah itu kedua bocah tersebut lenyap tiada berita. Jadi, apalagi kalau bukan tewas dibunuh olehnya? Mustahil Ki Kaliambar membunuh kedua bocah itu, kalau belum mendapatkan kitab pusaka yang dimaksud. Dan hal ini perlu kubicarakan lagi, sebab belakangan mulai terungkap adanya kematian beberapa tokoh persilatan, yang berawal dari Kepala Desa Gadang Banyu beserta seluruh keluarganya dalam keadaan mengenaskan. Bukankah itu dilakukan orang yang menganut ilmu iblis?" sahut Ki Ajar Ningrat panjang lebar.
"Lalu, apa yang akan kita lakukan? Menghukum Ki Kaliambar?" tanya salah seorang dengan suara datar. Orang itu memakai baju hijau dan berdada bidang. Namanya, Ki Wangsa Jalu.
"Apa yang bisa kita lakukan selain itu?" timpal yang lain, bertanya.
"Itu tidak mudah. Kepandaian Ki Kaliambar cukup hebat. Dan setelah mempelajari isi kitab pusaka itu, sudah pasti kepandaiannya bertambah hebat lagi," sahut Ki Paluh Dugan.
"Bagaimana, Ki Ajar?" tanya seorang tokoh bertubuh kecil dan berkumis tipis. Namanya Ki Pandanaran.
"Yah.... Kita memang tak punya jalan lain...," sahut Ki Ajar Ningrat lemah.
"Tunggu dulu!"
Mendadak seorang memotong pembicaraan. Orang itu bermuka lonjong. Sorot matanya tajam, dengan kumis tebal yang telah memutih, seperti rambut kepalanya. Tubuhnya agak tinggi dan kurus.
"Apakah Ki Cokro punya usul?" tanya Ki Ajar Ningrat datar. Agaknya orang tua itu sedikit tak senang mendengar bicaranya diputus begitu saja.
"Beginikah keputusan yang diambil tokoh-tokoh yang menyatakan dirinya sebagai kaum lurus? Rupanya kalian lebih suka mengambil keputusan sepihak tanpa bukti jelas. Kita tidak bisa menghukum manusia seenaknya saja. Ki Kaliambar belum tentu bersalah, sebelum diketemukan bukti yang jelas. Jangan sampai kita membunuh orang yang tak bersalah," sahut orang yang dipanggil Ki Cokro.
"Hm.... Alasan Ki Cokro memang benar. Tapi jangan lupa, Ki Kaliambar adalah tokoh golongan hitam yang selalu berbuat semaunya. Ada atau tidak kitab itu, tetap saja merupakan kewajiban kita untuk memberi pelajaran padanya. Bukankah begitu, Kisanak semua?" sahut Ki Ajar Ningrat seraya mengedar pandang kepada yang lain.
Sebagian membenarkan pendapat Ki Ajar Ningrat, tapi sebagian lagi membenarkan apa yang dituturkan Ki Cokro. Ki Ajar Ningrat agaknya tak puas dengan hasil itu. Dipandangnya Ki Cokro.
"Ki Cokro! Bagaimana kalau aku dapat membuktikan kalau Ki Kaliambar memang bersalah?" tantang Ki Ajar Ningrat, agak ketus.
"Akan kulihat, apakah bukti itu benar," balas Ki Cokro.
"Kalau ternyata benar?"
"Kau tak perlu memaksaku. Tanpa diminta pun, aku akan turun tangan menghukum orang itu!" tegas Ki Cokro.
"Hm, baiklah. Kalau demikian, beri aku waktu tiga hari untuk membuktikan kebenaran pendapatku, bahwa Ki Kaliambar memang suatu ancaman. Bukan saja bagi tokoh-tokoh persilatan, tapi juga bagi semua orang!"
Ki Cokro hanya tersenyum kecil. Dia tak tahu, kenapa Ki Ajar Ningrat begitu bernafsu untuk memburuk-burukkan Kaliambar. Yang jelas, ketika heboh tentang kitab pusaka yang banyak diperebutkan orang, Ki Ajar Ningrat termasuk tokoh yang menginginkannya. Namun, ternyata Kaliambar yang beruntung bertemu kedua bocah itu.
"Bagaimana kalau ternyata tuduhanmu tak benar?" tanya Ki Cokro, balik bertanya.
Ki Ajar Ningrat tersenyum kecil. "Ki Cokro! Apakah kini kau telah berubah dan membela orang yang sebenarnya tak patut dibela?"
"Aku tak berpikir begitu. Tapi hanya meluruskan, bagaimana menilai seseorang dengan cara benar. Meskipun, orang itu selalu berbuat onar," sahut Ki Cokro singkat, namun cukup mengena. "Lagi pula..."
"Awas!" Teriak seseorang, sehingga memutuskan ucapan Ki Cokro, memang mendadak saat itu melesat sesuatu dari luar. Maka begitu mendengar teriakan itu, seketika mereka semua berusaha menghindar.
Bahkan kening Ki Ajar Ningrat nyaris tertancap kalau saja tak cepat-cepat bergeser ke samping. Mereka benar-benar tersentak kaget, ketika menoleh dan melihat sebuah ranting kayu yang tertancap papan di belakang Ki Ajar Ningrat. Di situ terlilit selembar kulit kambing berukuran kecil dan tipis. Ki Ajar Ningrat segera mengambil benda itu, dan membukanya. Tampak beberapa baris tulisan tertera di dalamnya.
'Ada yang menuduhku berbuat keji dan hendak memburuk-burukan namaku. Dan dia akan mampus sesaat lagi!
Kaliambar'
"Huh! Dikira aku takut dengan ancamannya ini! Phuih!" geram Ki Ajar Ningrat, kesal.
Ditunjukkannya isi tulisan itu kepada yang lain. Dan mereka segera membaca dan cepat mengetahui isinya. Ki Ajar Ningrat memanggil beberapa orang muridnya yang memerintahkan untuk mencari orang yang telah melemparkan ranting tadi. Setelah memberikan perintah, kembali dia memandang tamu-tamunya satu persatu. Dan terakhir dia memandang ke arah Ki Cokro.
"Apa yang akan Ki Cokro katakan setelah membaca tulisan ini?" tanya Ki Ajar Ningrat, dingin. Ki Cokro diam beberapa saat seperti sedang berpikir. Dia memang tak tahu, sampai di mana kemampuan orang yang bernama Kaliambar. Tapi dari ranting kayu yang mampu menembus dinding papan tepat di belakang Ki Ajar Ningrat, bisa dipastikan orang yang melakukannya memiliki tenaga dalam hebat.
Apa betul kitab yang banyak dicari-cari tokoh persilatan itu telah jatuh ke tangan Kaliambar? Dan, apakah semua isinya telah dipelajari selama sebelas tahun, sehingga mampu berbuat seperti ini? Kemudian terbayang dalam benak Ki Cokro, apa yang dikatakan Ki Ajar Ningrat tadi. Bisa jadi, memang demikian. Buktinya Kaliambar bukanlah tokoh golongan lurus. Bukan saja akan menjadi ancaman tokoh-tokoh persilatan golongan lurus, tapi akan membuat keonaran bagi orang yang tak tahu apa-apa.
"Bagaimana, Ki Cokro?" Ki Ajar Ningrat mengulangi pertanyaannya dengan suara datar.
"Baiklah. Siapa yang bersedia bergabung denganku?" sahut Ki Cokro sambil bangkit berdiri.
"Apakah Ki Cokro akan mendatangi tempat Ki Kaliambar dan menghukumnya?" tanya salah seorang. Namanya Kertosono.
"Ya!" sahut Ki Cokro mantap.
"Kalau begitu, aku ikut!" sahut Kertosono.
"Aku juga!" sahut Ki Paluh Dugan, diikuti yang lain.
Jumlah yang ingin membuat perhitungan pada Kaliambar kini berempat. Sementara, sisanya diam tak bicara. Mungkin ada yang tak setuju dengan rencana itu. Tapi, Ki Cokro tak menyinggung lebih lanjut. Padahal, pada mulanya mereka tadi begitu menggebu-gebu ingin membunuh dan menghukum Kaliambar.
"Kami akan mencari cara lain, meski tujuan kita sama...," sahut Ki Ajar Ningrat pelan seperti mewakili yang lain.
"Baiklah. Kalau demikian, kami permisi dulu!" sahut Ki Cokro, seraya bangkit berdiri.
Dan bersama ketiga orang kawannya, Ki Cokro meninggalkan ruangan utama padepokan itu dengan langkah tergesa-gesa. Ki Ajar Ningrat sendiri tampaknya tak berusaha menghalang-halangi. Sejak tadi, kelihatannya memang sudah timbul perang dingin di antara mereka. Hal itu memang tak heran, karena sejak dulu telah tertanam rasa persaingan di antara mereka. Dan tentu saja persaingan dalam hal kedigdayaan.
"Eyang Guru! Eyang Guru...!"
Salah seorang murid Ki Ajar Ningrat tergopoh-gopoh mendatangi ruang utama itu. Setelah menjura hormat, wajahnya diangkat dengan napas tersengal. Ki Ajar Ningrat yang saat itu sedang tersenyum kecil, seketika kaget melihat kedatangan seorang muridnya.
"Ada apa?!"
"Kakang Prawiro dan empat orang murid lain yang tadi disuruh berkeliling, telah tewas dengan luka mengerikan," lapor murid itu, terbata.
"Apa?!" Sepasang alis Ki Ajar Ningrat terangkat tinggi. Orang tua itu langsung bangkit dengan wajah kaget. Begitu pula ketiga orang tamunya yang masih berada diruangan itu.
"Siapa yang melakukan semua itu?" bentak Ki Ajar Ningrat.
"Eh! Ti..., tidak tahu, Eyang. Me... mereka tewas dengan tubuh hampir membusuk dan menyebarkan bau yang menyengat," sahut murid itu.
"Bedebah!" Ki Ajar Ningrat menggeram.
Ketiga tamunya saling berpandangan dengan wajah heran.
"Apakah itu bukan perbuatan Ki Kaliambar?" tanya Ki Wangsa Jalu.
"Pasti dia! Siapa lagi yang memiliki ilmu iblis itu kalau bukan dia!" dengus Ki Ajar Ningrat, dengan wajah geram dan kemarahan meluap.
"Apa yang kita lakukan sekarang terhadapnya, Ki?" tanya Ki Pandanaran.
"Sebaiknya, kita bergabung dengan Ki Cokro dan yang lain. Dengan begitu, akan lebih mudah membinasakannya!" usul Ki Wangsa Jalu.
"Tidak! Kita harus bersabar sampai menunggu hasil kerja mereka. Setelah itu, baru kita pikirkan langkah yang tepat!" tegas Ki Ajar Ningrat.
"Tapi untuk apa lagi bersabar, Ki? Semua sudah jelas. Dan kesabaran kita toh tak akan membuat Ki Kaliambar surut atau menghentikan sepak-terjangnya. Lebih baik, kita bergabung saja dengan Ki Cokro dan kawan-kawannya!" sambung Ki Pandanaran.
Dan baru saja Ki Ajar Ningrat akan bersuara....
"Aaa...!" Tiba-tiba dari luar terdengar jeritan melengking tinggi.
"Heh?!"
Mereka semua terhentak kaget. Tapi, Ki Ajar Ningrat telah lebih dulu melompat keluar.
"Keparat! Tikus itu rupanya mau bermain-main denganku, huh!"
Begitu tubuh Ki Ajar Ningrat keluar, ketiga orang tamunya ikut melesat untuk melihat apa yang telah terjadi. Dan begitu mereka tiba di halaman depan, tampak banyak murid Ki Ajar Ningrat tengah mengerubungi tujuh orang murid lain yang berada di pagar depan yang kedapatan tewas. Tampak dada kiri mereka hangus seperti terbakar serta mengeluarkan bau busuk yang menusuk hidung. Ki Ajar Ningrat memandang ke sekeliling murid-muridnya yang berada di situ.
"Siapa yang melakukan semua ini?!" dengus orang tua itu garang.
Namun tak satu pun dari muridnya yang menjawab. Wajah mereka tertunduk lesu dan takut-takut.
"Tolol! Apa mata kalian buta tak bisa melihat, siapa yang melakukannya, hah?!" bentak Ki Ajar Ningrat garang.
"Hahaha...! Orang tua dungu! Kaulah sebenarnya yang tolol!"
"Heh?!" Ki Ajar Ningrat dan beberapa orang yang berada di tempat itu tersentak kaget, ketika tiba-tiba terdengar suara tawa yang diiringi ejekan. Tampaknya suara itu disertai tenaga dalam, sehingga menggema ke seluruh sudut-sudut tempat itu.
"Orang tolol memang patut mampus dan tiada gunanya hidup!" Kembali terdengar suara bernada ejekan, yang belum diketahui jelas asalnya.
"Pengecut! Tunjukkan dirimu! Kaukah yang melakukan ini terhadap murid muridku?!" bentak Ki Ajar Ningrat disertai tenaga dalam, sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling.
Sementara ketiga tamu Ki Ajar Ningrat juga sama belum bisa mengetahui, di mana orang yang mengirimkan suara itu bersembunyi. Padahal dalam dunia persilatan, mereka bukanlah orang sembarangan. Namun suara tadi seperti dikeluarkan dari arah yang berbeda!
"Hahaha...! Tua bangka busuk! Kaulah yang pengecut! Dan bagi seorang pengecut hanya ada satu jalan keluar. Mati!"
Kembali terdengar suara yang seperti bergaung di tempat itu. Hal ini tentu saja membuat Ki Ajar Ningrat semakin geram karena merasa dipermainkan.
"Kalau memang merasa berani, tunjukan dirimu! Ingin kulihat, bagaimana muka orang sombong sepertimu!" bentak Ki Ajar Ningrat semakin geram.
"Baiklah. Nah! Ikutlah denganku. Dan urusan kita diselesaikan berdua. Kau tentu tak akan menolak, bukan? Aku yakin kau seorang tokoh pemberani dan tak mengenal takut! Hahaha...!"
Brusss!
"Heh?!" Ki Ajar Ningrat sempat melihat sekelebatan bayangan dari sebatang pohon berdaun rimbun di depan pondoknya yang melesat cepat ke arah selatan. Ki Ajar Ningrat mengerahkan ilmu lari cepatnya untuk mengejar. Bersamaan dengan itu pula terlihat beberapa orang murid utamanya menyertai dari belakang, karena merasa khawatir akan keselamatan gurunya.
Baru saja Ki Ajar Ningrat lenyap bersama murid-muridnya, sekonyong konyong melesat satu bayangan coklat mengenakan selubung kepala warna merah darah. Sebentar saja, sosok berpakaian coklat itu mendarat di depan ketiga tamu Ki Ajar Ningrat. Badannya tegap dan sorot matanya yang terlihat dari dua belah lubang di topeng begitu tajam menusuk.
"Hahaha...! Pucuk dicinta ulam tiba. Siapa sangka hari ini pekerjaanku akan sedemikian mudah dilakukan? Dalam sekali tepuk, banyak nyawa melayang!" kata orang berbaju coklat dan bertopeng itu tertawa lebar.
"Siapa kau?!" bentak Ki Wangsa Jalu garang.
"Aku malaikat maut yang akan mencabut nyawamu!" sahut orang bertopeng merah itu, mendengus sinis.
"Kurang ajar! Jangan sembarangan kau bicara!"
Sret!
Dengan wajah berang Ki Wangsa Jalu langsung mencabut golok dan bersiap akan menyerang orang bertopeng itu. Namun yang akan diserang terlihat tenang-tenang saja, seperti tak takut sedikit pun.
"Tahan, Ki Mangsa! Bersabarlah, jangan gampang terpancing," cegah Ki Pandanaran. Orang tua berusia empat puluh tahun yang bertubuh kecil dan berkumis tipis itu agaknya menangkap gejala aneh dan kemunculan manusia bertopeng ini.
"Untuk apa? Sudah jelas tujuannya ingin mengacau di sini," ujar Ki Wangsa Jalu, sedikit kecewa.
Ki Pandanaran tak menghiraukan kata-kata sobatnya. Di pandangnya orang bertopeng itu dengan sorot mata curiga.
"Hm.... Kau sengaja memancing Ki Ajar Ningrat bukan? Apa maksudmu? Siapa sebenarnya yang kau inginkan. Kami, atau Ki Ajar Ningrat? Aku tak tahu bagaimana cara kau melakukannya. Namun, kupuji kepandaianmu," kata Ki Pandanaran datar.
"Kau sungguh cerdik, Kisanak. Tapi itu bukan berarti kau akan luput dari tanganku. Aku tak memilih-milih korban. Yang jelas, siapa pun orangnya yang ikut dalam pembantaian terhadap Ki Dewoko dan Nyi Kumiasih, akan mampus di tanganku!" sahut orang bertopeng itu dingin.
Ketiga orang itu tercekat kaget. Ki Pandanaran berusaha menahan keterkejutannya, dan menarik napas dalam-dalam dengan tenang.
"Siapa kau sebenarnya. Dan, apa hubunganmu dengan Ki Dewoko dan Nyi Kumiasih?" tanya Ki Pandanaran agak tercekat suaranya.
"Kau tak perlu tahu. Sekarang, bersiaplah untuk menerima kematian kalian, Anjing-anjing Geladak!" dengus orang bertopeng yang sebenarnya Panjalu itu.
"Kurang ajar! Kau pikir, siapa dirimu berani berkata begitu!" maki Ki Wangsa Jalu.
Dengan geram, orang tua itu langsung mengayunkan goloknya ke arah Panjalu dengan cepat dan bertenaga dalam tinggi, disadari kalau orang bertopeng ini bukanlah orang sembarangan. Itulah sebabnya dia tak mau gegabah dengan meladeninya secara sembarangan. Dalam serangan awal saja Ki Wangsa Jalu telah mengerahkan segenap kemampuannya.
Namun sampai sejauh ini orang tua itu belum bisa menjatuhkan lawannya. Manusia bertopeng itu bergerak amat lincah dalam menghindari setiap serangan-serangan berbahaya.
"Keparat! Kali ini kau tak akan lolos dari golokku. Yeaaa...!"
Golok di tangan Ki Wangsa Jalu menyambar ke arah leher. Namun Panjalu cepat bergerak mundur sambil mengayunkan kaki kanannya ke lambung.
"Hiyaaa...!" Ki Wangsa Jalu cepat menyabetkan goloknya, hendak membabat buntung kaki orang bertopeng yang hendak terayun. Namun di luar dugaan, Panjalu cepat melenting ke atas melewati kepala orang tua itu. Begitu cepat gerakannya, ketika Panjalu melepaskan satu pukulan ke arah kepala, saat tubuhnya berada di udara. Sehingga....
Prak!
"Aaa...!" Ki Wangsa Jalu menjerit melengking tinggi ketika kepalanya remuk terhantam pukulan Panjalu. Tangannya yang memegangi kepala telah berlumuran darah. Sebentar saja tubuhnya ambruk dan tak bangun-bangun lagi.
Melihat keadaan ini, Ki Pandanaran dan rekannya yang bernama Ki Rampak terkejut setengah mati. Namun, mereka tidak menampakkan pada raut wajah.
"Huh! Kau memang tak bisa dikasih hati. Tapi jangan harap kami takut ancamanmu!" dengus Ki Pandanaran, siap memasang kuda kuda untuk menyerang lawan. Demikian pula Ki Rampak, yang telah siap menggunakan pedangnya. Sementara Ki Pandanaran hanya mengandalkan tangan kosong.
"Tak usah berbasa-basi, orang tua. Kehadiranku ke sini memang untuk mencabut nyawa busukmu!" sahut Panjalu dingin.
"Sombong! Lihat serangan!" bentak Ki Rampak.
"Yeaaa...!" Pada saat yang sama Ki Pandanaran juga menyerang.
Orang bertopeng yang di dalamnya tersembunyi wajah Panjalu tersenyum dingin. Tubuhnya bergerak ke samping, menghindari tebasan pedang Ki Rampak sambil menangkis pukulan Ki Pandanaran dengan tangan kanan.
Wut!
Plak!
"Ukh...!"
Ki Pandanaran seketika terjajar mundur beberapa langkah. Mulutnya meringis karena tangannya terasa kesemutan akibat benturan tadi. Dan dari situ bisa diketahui kalau tenaga dalam lawan berada di atasnya. Diam-diam hatinya mengeluh. Dia tak tahu bagaimana kalau lawan mengerahkan tenaga sekuatnya? Rasanya sulit membayangkan hal itu.
Sementara itu Ki Rampak tampak mulai terdesak hebat. Serangan gencar Panjalu yang menuju arah jantung dan ulu hati membuatnya jungkir balik. Dan begitu telah mempunyai jarak yang cukup, Ki Rampak kembali melesat dengan sambaran pedang ke leher. Namun, agaknya orang bertopeng itu telah memperhitungkannya. Maka dengan gesit tubuhnya bergerak ke belakang sambil merendahkan kepala. Lalu dia cepat melompat ke samping kanan disertai satu ayunan kaki bertenaga dalam menuju ke rahang Ki Rampak.
"Yeaaa...!"
"Eh, hup!" Ki Rampak tersentak kaget. Buru-buru pedangnya diayunkan untuk menebas kaki Panjalu. Namun manusia bertopeng itu cepat menarik kakinya. Dan tanpa disangka-sangka, kepalan tangan kirinya diayunkan ke arah dada. Begitu cepat gerakannya, sehingga tak sempat lagi dihindari Ki Rampak Maka....
"Hihhh!"
Begkh!
"Aaa...!"
Ki Rampak memekik nyaring sambil mendekap dadanya. Tubuhnya terhuyung-huyung, lalu ambruk dan berkelojotan. Tak lama kemudian, nyawanya melayang. Maka seketika bau busuk menyeruak dari tubuhnya.
"Keparat! Kau harus membayar kematiannya! Yeaaa...!" bentak Ki Pandanaran garang.
Orang tua itu segera melompat mengerahkan satu pukulan mautnya yang bernama 'Pikul Kematian'. Dari telapak tangannya menderu seberkas cahaya berwarna keperakan menerpa orang bertopeng itu.
"Hup!"
"Mampus!"
"Belum, Sobat. Kaulah yang akan menerimanya sebentar lagi," sahut Panjalu kalem, sambil melompat menghindar. Langsung dibalasnya serangan itu dengan menghantamkan pukulan mautnya.
"Rasakan pukulan 'Angin Sesat' ini!" dengus orang bertopeng itu geram.
"Yeaaa...!"
Begitu tangan Panjalu terhentak, seberkas cahaya kelabu agak kehitaman melesat bagai ujung cambuk yang menderu ke arah Ki Pandanaran. Bahkan serangan itu menimbulkan angin kencang berhawa panas.
"Heh?!" Ki Pandanaran terkejut setengah mati melihat serangan orang bertopeng itu. Seketika tubuhnya melenting tinggi, menghindari ancaman maut itu.
Werrr...!
Brukkk!
Tepat ketika cahaya kelabu agak kehitaman itu menghantam sebuah pohon hingga hancur, kakinya mendarat di tanah.
"Uhhh...!"
Jantung Ki Pandanaran berdegup kencang setelah baru saja terlepas dari serangan maut yang dilancarkan orang bertopeng itu. Hal itu tentu saja membuat Ki Pandanaran bergidik ngeri. Bagaimana mungkin? Padahal pukulan orang bertopeng itu kelihatan tidak begitu keras.
Dan belum lagi keterkejutannya lenyap, orang bertopeng itu sudah bergerak cepat ke arah Ki Pandanaran. Orang tua itu baru menyadari, ketika kepalan tangan lawan hampir menghantam batok kepalannya. Maka buru-buru kepalanya ditundukkan. Namun...
Des!
"Aaakh...!" Tak urung pelipis Ki Pandanaran terkena hajaran dengan telak. Orang tua itu memekik kesakitan dengan tubuh terjungkal ke belakang. Namun, orang bertopeng itu agaknya tak mau menyia-nyiakannya. Tubuhnya langsung mencelat sambil mengayunkan kaki kanan sebelum Ki Pandanaran menyentuh tanah.
Begkh!
"Ekh...!" Ki Pandanaran hanya bisa mengeluh kecil, ketika tubuhnya kembali terjungkal terkena tendangan orang bertopeng itu. Tulang dadanya yang sebelah kiri melesak ke dalam, dan membuat jantungnya pecah. Setelah menggelepar, tubuhnya diam tak berkutik lagi. Mati!
"Huh! Mampuslah kalian semua! Tak ada seorang pun yang akan tersisa dari tanganku, atas apa yang pernah kalian lakukan pada kedua orang tuaku!" dengus orang bertopeng dingin.
Setelah berkata demikian Panjalu pun melesat meninggalkan tempat itu. Gerakannya gesit dan cepat bukan main. Sehingga dalam waktu singkat, tubuhnya lenyap di balik tikungan jalan.

***

122. Pendekar Rajawali Sakti : Sepasang Pendekar BertopengTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang