BAGIAN 8

286 15 4
                                    

Dalam satu kesempatan, Pandan Wangi mengayunkan kepalan tangan ke arah dada. Namun, wanita bertopeng itu cepat mencelat ke belakang. Pandan Wangi memang telah membaca gerakan lawan. Maka disiapkannya serangan berikut. Tubuhnya laksana terbang, menyusul ke arah Sumi disertai tendangan lurus ke arah perut.
Wanita bertopeng itu terkesiap, maka buru-buru membuang diri ke kiri. Tapi tanpa diduga-duga, Pandan Wangi menarik pulang serangannya. Begitu kakinya menginjak tanah, tubuhnya langsung berputar seraya membabatkan kipasnya yang terkembang ke perut. Begitu cepat gerakannya, sehingga....
Cras!
"Aaakh...!" Wanita bertopeng itu menjerit kesakitan sambil mendekap perutnya yang robek mengucurkan darah segar akibat tersambar kipas baja Pandan Wangi. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang. Namun Pandan Wangi tak memberi kesempatan sedikit pun pada lawannya. Tubuhnya langsung melesat dan bersalto beberapa kali di udara, sebelum hinggap di hadapan Sumi.
Sementara itu mendengar teriakan Sumi orang bertopeng yang tengah bertarung melawan Pendekar Rajawali Sakti terkejut. Perhatiannya kontan jadi terpecah. Dan pada saat itu, Rangga telah mengirimkan serangan dahsyat. Panjalu terkesiap saat serangan hampir menghantam perutnya. Buru-buru tubuhnya dimiringkan namun tak urung angin pukulan lawan membuat berdirinya goyah. Rasanya, Panjalu tak sempat berkelit lagi. Sehingga..
Begkh!
"Aaakh...!" Tubuh Panjalu kontan terjungkal, begitu pukulan Pendekar Rajawali Sakti telak menghantam dadanya. Dari mulutnya menetes darah segar akibat pukulan yang disertai tenaga dalam lumayan itu. Namun, laki-laki bertopeng itu berusaha bangkit berdiri, walapun terhuyung-huyung. Sorot matanya tajam menusuk penuh dendam ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Keparat! Kubunuh kau!" dengus Panjalu sambil memasang kuda-kuda dan bersiap menyerang kembali.
"Sadarlah, Sobat. Kau belum terlambat untuk menyadari kekeliruanmu selama ini. Jangan menambah dosa yang telah ada...," Rangga berusaha menyadarkan.
"Tutup mulutmu! Hari ini kita tentukan, siapa yang akan mampus! Kau atau aku! Hiyaaat..!"
Bersamaan dengan itu, tubuh Panjalu melompat disertai hantaman maut ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Seketika Rangga merasakan tekanan hebat dan angin berhawa panas luar biasa saat melompat ke atas, untuk menghindari serangan. Kemudian, tubuhnya melenting ke arah orang bertopeng itu.
Tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti menghantam ke depan dalam pengerahan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Sedangkan sebelumnya, telapak kiri Pendekar Rajawali Sakti menghentak mengerahkan aji 'Bayu Bajra'. Serangan angin kencang bagai badai topan itu membuat Panjalu gelagapan. Namun, dia terus memaksakan diri sambil melepaskan pukulan mautnya. Dan pada saat yang bersamaan, melesat seberkas sinar merah dari telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti yang mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.
Glarrr!
Terdengar ledakan keras menggelegar ketika kedua pukulan itu saling beradu. Laki-laki bertopeng itu terpental ke belakang disertai jerit kesakitan. Bahkan dari mulutnya memuntahkan darah kental kehitaman.
Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti masih tetap berdiri tegak sambil mengatur jalan napasnya perlahan-tahan. Wajahnya yang tegang berubah seperti semula. Ada rona kesedihan ketika memperhatikan sosok bertopeng yang menjadi lawannya. Panjlu berusaha bangkit, namun berkali kali terguling dan memuntahkan darah kental.
Sedangkan perempuan bertopeng yang menjadi lawan Pandan Wangi pun nasibnya tak lebih baik, Pandan Wangi berhasil melukainya, membuat luka wanita itu bertambah parah. Luka di perut wanita bertopeng yang bernama Sumi itu melebar dan cukup dalam akibat sambaran kipas mautnya tadi. Bahkan kemudian belakangan disusul tendangan di dada. Akibatnya, Sumi terjungkal sambil memuntahkan darah segar. Dia berusaha bangkit, namun kedua kakinya seperti tak kuat menopang berat tubuhnya. Akibatnya dia kembali ambruk.
"Adikku...!" Orang bertopeng yang bertubuh tegap itu mendesis lirih, sambil menjulurkan tangan memanggil adiknya.
"Kakang...!"
"Oh...!"
Mereka berusaha saling mendekat, dengan beringsut perlahan-lahan. Sedangkan Rangga dan Pandan Wangi hanya memperhatikan penuh keharuan. Kini keduanya telah mendekat, dan saling merengkuhkan kedua telapak tangan.
"Kakang.... Kita..., kita gagal...," kata Sumi lirih.
"Eh...! Ekh...! Ti..., tidak, adikku. Ki..., kita telah berusaha sekuat kemampuan kita...."
Rangga dan Pandan Wangi segera menghampiri dan berjongkok di dekat mereka.
"Maafkan aku, Sobat...," ucap Pendekar Rajawali Sakti lirih.
Sepasang manusia bertopeng itu memandang ke arah Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi dengan sorot mata sayu.
"Ka..., kau betul tahu, si..., siapa ka..., kami...?" tanya Panjalu terbata-bata.
Rangga mengangguk lesu. "Aku hanya tak tahu, atau mungkin juga kalian tak ingin diketahui. Sehingga, kalian mengganti nama menjadi Sorang dan Dewi. Padahal, anak Ki Sadewo dan Nyi Kumiasih setahuku adalah Panjalu dan Sumi...," lanjut Pendekar Rajawali Sakti lirih.
"Eh, akh! To..., tolong buka penutup wajah kami...," ujar Panjalu kemudian.
Rangga membuka penutup topeng mereka, maka terlihatlah jelas, siapa mereka sesungguhnya! Memang kedua orang itu tak lain dari kedua kakak beradik yang pernah dikenal Rangga dan Pandan Wangi. Dan Sepasang Pendekar dari Karang Setra itu sama sekali tak terkejut melihatnya.
"Kami sudah menduganya...," kata Pendekar Rajawali Sakti pelan.
"Dari mana kau mengetahuinya?" tanya Panjalu, orang bertopeng yang bertubuh lebih besar.
"Kau tak meyakinkan kami sebagai seorang anak petani. Dan pada saat mengantarkan kami ke Padepokan Muria, kalian sama sekali tak mengesankan sebagai murid yang ketakutan terhadap sepasang manusia bertopeng juga tentang luka yang diderita adikmu itu.... Hm..., mana mungkin Pandan Wangi lupa pada luka adikmu akibat goresan kipasnya?" jelas Pendekar Rajawali Sakti.
"Oh...," Sorang mengeluh.
"Kenapa kalian sampai begini? Bukankah aku telah memperingatkannya?"
"Tak ada yang perlu disesali, Sobat. Garis kehidupan kami telah begini. Sejak kecil kami sengsara. Dan telah dewasa pun harus mati muda. Tapi kami puas. Sebagian mereka yang telah membunuh kedua orangtua kami, telah tewas. Termasuk, si Penghasut Keparat, Kepala Desa Gadang Banyu itu...!"
"Kalian mempelajari kitab pusaka itu, bukan?"
"Ekh...! Ce... ceritanya panjang. Mula-mula kami sama sekali tak mengetahuinya. Sampai suatu ketika aku nekat membawa adikku menceburkan diri ke dalam jurang. Namun kami ternyata tersangkut di sebatang pohon, dan berhasil merayap ke dinding jurang. Secara tak sengaja kami menemukan sebuah goa yang amat menakutkan dan penuh bisikan iblis. Tapi kami nekat memasukinya. Dan di sanalah kami menemukan kitab yang berisi jurus-jurus silat serta ilmu kesaktian. Dan... dan kitab itu pun ternyata berisi ilmu pengobatan, sehingga penyakit kusta yang kami derita sembuhi.... Setelah kami merasa mampu, kami berjanji untuk membalas dendam..."
Sampai di situ, Panjalu kembali memuntahkan darah kental. Digenggam tangan adiknya itu erat-erat. Terasa dingin dan tak ada getaran sama sekali. Air matanya terlihat mengalir perlahan membasahi pipi. "Dia telah tiada...," gumam Panjalu kecil.
Rangga dan Pandan Wangi diam membisu dengan kepala tertunduk.
"Na..., namaku sebenarnya Panjalu Sorang. Dan..., dan adikku Sumi Dewi..., aaakh!" Panjalu menjerit sambil merasakan sakit di dadanya. Dia meregang nyawa sesaat, kemudian terlihat kepalanya terkulai. Jantungnya berhenti berdenyut. Mati!
Sepasang Pendekar dari Karang Setra itu menghela napas sesak. Ada sesuatu yarg hilang dalam diri mereka. Entah apa, rasanya sulit dijelaskan. Namun dalam hati mereka selalu bertanya, apakah yang dilakukan kakak beradik itu salah?
"Kisanak, terima kasih atas pertolonganmu pada kami...."
Rangga dan Pandan Wangi menoleh. Ki Kalimaya, Tarmuji, dan Ki Sembung Jali berdiri di belakang. Mereka segera menundukkan kepala. Tampak suasana sedih membayang di wajah mereka.
"Sudahlah...."
"Eh! Apa kalian memang telah mengenal mereka sebelumnya?" tanya Ki Sembung Jali datar.
Pendekar Rajawali Sakti menggeleng lemah. Dia sengaja berbohong, agar mereka tak mempunyai dugaan yang bukan-bukan.
"Kelihatannya mereka percaya pada kalian...," lanjut Ki Sembung Jali dengan suara mengambang.
Pendekar Rajawali Sakti memandang tajam ke arah tiga orang itu. "Kisanak semua, mereka menatap kami dengan mata hatinya. Bukan dengan mata lahirnya. Mereka memang bersalah. Namun, masih mampu melihat orang yang bisa dipercaya. Itu lebih baik, ketimbang orang yang benar namun buta mata hatinya. Sehingga, selalu berprasangka buruk yang kemudian berlanjut kepada malapetaka. ltulah pelajaran yang berharga bagi kita semua," sindir Pendekar Rajawali Sakti.
Semuanya terdiam, mendengar kata-kata pedas yang keluar dari mulut Rangga. Tanpa banyak bicara lagi, Pendekar Rajawali Sakti dan Kipas Maut menghampiri kuda masing-masing, dan menaikinya. Sebentar saja kuda-kuda itu telah melangkah. Namun mereka berhenti sesaat ketika melewati mayat Panjalu dan Sumi. Kemudian kepala mereka berpaling kepada tiga orang yang masih berdiri mematung ditempat itu.
"Bolehkah kami minta pertolongan kalian...?" tanya Rangga halus.
"Tentu saja. Apa yang bisa kami lakukan?" sahut Ki Sembung Jali.
Rangga menghela napasnya sesat, sebelum menjawab pertanyaan, "Tolong kuburkan mereka selayaknya. Bagaimanapun jahatnya mereka, namun tetaplah manusia yang wajib dihormati sesuai kodratnya...."
"Ya.... Akan kami kerjakan permintaan itu," sahut Ki Sembung Jali, pelan.
"Terima kasih. Kalau demikian, kami pergi dulu," sahut Rangga sambil memacu kudanya perlahan, diikuti Pandan Wangi dari samping.
Udara semakin gelap dan dingin menyapu bumi. Halilintar mulai terdengar sesekali. Gerimis mulai turun menyapu pekatnya malam. Sementara Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi seakan berpacu, mencari tempat berteduh sebelum hujan deras mengamuk mendera bumi.

***

TAMAT

🎉 Kamu telah selesai membaca 122. Pendekar Rajawali Sakti : Sepasang Pendekar Bertopeng 🎉
122. Pendekar Rajawali Sakti : Sepasang Pendekar BertopengTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang