14. Rumor dan Sri

126 10 0
                                    

Berita tentang penyakit aneh Kartono santer terdengar ke seluruh desa. Warga silih berganti datang, ingin melihat apa yang terjadi pada lelaki itu. Rumor tak sedap seketika menyebar. Terlebih saat pingsan di pelelangan, hampir semua masyarakat mengetahui kejadian itu. Kartono mengeluh sakit di bagian kepala dan perutnya, seperti ditusuk-tusuk. Setiap kali sakitnya kumat, Kartono menjerit-jerit sambil berguling-guling. Tak jarang sumpah serapah dan kelakuannya aneh, layaknya orang kesurupan. Kartono juga tidak pernah tidur nyenyak. Ada saja yang ia “lihat” di penjuru rumahnya.

Mbah Mirah sudah hilang akal mencari cara demi kesehatan Kartono. Sebab saat diperiksa di rumah sakit, Kartono tidak menunjukkan tanda-tanda sakit fisik pada umumnya. Hasil rontgen juga menunjukkan paru-parunya baik-baik saja.

"Kartono kena guna-guna. Tak salah lagi."

"Bisa jadi mereka punya banyak masalah di rantau. Sebab itu mereka pulang."

"Aku rasa Kartono punya banyak hutang."

Tak sedikit pula yang menghubungkan keanehan penyakitnya dengan Sri.

"Bojone, ndi?"

"Suami lagi sakit gini ditinggal sama anak-anak."

"Jangan-jangan mereka udah pisah."

"Ada uang abang sayang. Nggak ada uang abang ditendang."

Atau kalimat-kalimat miris dan prihatin.

"Kasihan istrinya banting tulang sendirian."

"Anak-anaknya yang kasihan."

"Kasihan Mbah Mirah. Sudah tua gini mesti nanggung hidup Kartono dan anaknya."

Mereka menyelidik dan membuat kesimpulan sendiri. Dari mulut ke mulut, berita itu semakin berkembang.

Malam ini mereka berkumpul di kediaman Kartono. Keadaan Kartono semakin memprihatinkan. Dari mulutnya, darah segar terus saja menyembur. Bau amis darah menyeruak ke seluruh ruangan.

"Kita bawa saja ke rumah sakit besar di kota, Mbok."

"Percuma Yud. Si Mbok yakin, ini bukan penyakit biasa." Mbah Darmi terisak. "Mbokmu ini udah nggak punya apa-apa, Yud,"lanjutnya.

"Buuuk, Ibuuuk ... uhuk! Huek!" Kartono meremas tangan perempuan tua itu lebih keras. Meminta kekuatan untuk melawan sakit yang kini ia rasakan. Tak lama, darah segar kembali ia muntahkan.

Mbah Mirah mengelap sisa muntahan pada mulut Kartono. Mata tuanya mengerjap beberapa kali, memastikan benda kecil putih menggeliat di kain jarik yang sudah berubah fungsi kini.

"Yud, nggak salah lagi."

"Maksud si Mbok?"

"Teluh," ujarnya sambil menyodorkan kain jarik.

"Gusti! Ulat, Mbok!"

***

Suasana mencekam terasa, begitu Sri menginjakkan kaki di halaman rumah Mbah Bejo. Kediaman lelaki itu sepi seperti biasa. Sedan mewah yang sedang terparkir itu saja yang menandakan bahwa si empunya rumah sedang di dalam.

Sri menelan ludahnya sendiri. Ia tidak dapat menyembunyikan rasa takutnya. Namun, amarahnya lebih besar dari itu. Hari ini, ia akan membuat perhitungan dengan lelaki itu. Perlahan ia mengetuk pintu rumah Mbah Bejo.

"Masuklah. Aku tahu kau akan ke mari."

Sri masih terpaku di tempatnya. Sejujurnya, ia sendiri tidak yakin perhitungan seperti apa yang akan ia lakukan untuk Mbah Bejo. Langkah sepatu terdengar mendekat ke arah pintu. Sri mundur beberapa langkah. Jantungnya terasa mau copot, semakin dekat dengan ketukan sepatu itu.

Wajah yang sialnya memang tampan itu, semringah. Sri mengutuk diri. Mengakui bahwa memang Mbah Bejo lebih segala-galanya dari Kartono.

"Oo, kau lebih suka jika aku sendiri yang membukakan pintu dan mengantarmu?"

Lelaki itu membuka lebar pintu. Mengulurkan tangan untuk mempersilakan perempuannya masuk. Sri berdecih ketika Mbah Bejo meraih tangannya, mesra.

"Baiklah, aku tidak terburu-buru," lanjut Mbah Bejo melepas genggamannya. Senyum licik tersungging dari bibirnya.

"Jadi, ada perlu apa? Apa kau menyesal dengan keputusanmu atau bagaimana?"

"Sudahi semuanya. Suamiku tidak bersalah. Akulah yang harusnya menanggung semua ini. Timpakan saja sakit hatimu padaku."

Tawa Mbah Bejo memenuhi ruangan.

"Apa ini? Kenapa terburu-buru? Mau minum apa?"

Sri melengos tak sudi.

"Kartono. Ah pria itu. Apa kau mencintainya?"

"Dia ayah dari anak-anakku."

"Oo, hanya itu? Suatu hari kau akan mengerti. Kau tidak butuh dia. Perlahan kau akan lupa. Tapi ... jika menjadi istri yang setia yang kau inginkan, tiga hari lagi, kau akan menjadi janda. Setelah itu—"

"Cukup!"

Mbah Bejo takjub sekaligus murka. Berani-beraninya perempuan bertubuh mungil itu berteriak padanya. Sebuah tamparan melayang ke pipi Sri diiringi jambakan di rambutnya. Sri merasa tidak berdaya.

"Ba-baiklah. Aku bersedia."

"Bersedia? Coba kau ulangi, ah ... bicaralah dengan jelas."

"Aku bersedia menjadi istrimu."

Lelaki itu tertawa terbahak-bahak, seolah dunia kini telah menjadi miliknya.

"Dengan satu syarat," lanjut Sri.

"Syarat? Syarat seperti apa yang kau inginkan?"
"Sudahi semuanya. Aku akan mengurus perceraianku dengan Kartono. Tiga bulan. Beri aku waktu tiga bulan. Tolong jangan ganggu aku. Aku akan pulang dan menyelesaikan semuanya."

"Selama itu?"

"Aku masih istri sah Kartono. Aku punya kewajiban merawatnya saat ini. Sekali ini saja. Tolong ...."

"Tiga bulan?"

Mbah Bejo mendekat. Tatapannya yang mengintimidasi, membuat nyali siapa pun ciut. Tapi kali ini tidak berlaku untuk Sri. Perempuan itu sekali pun tidak mau menundukkan pandangannya.

Mbah Bejo meraih dagu Sri kasar.  "Aku tidak bisa menunggu selama itu. Tapi ... baiklah. Jika dalam waktu itu kau tidak kembali, kau tahu apa yang akan kulakukan pada kalian semua."

***

Waduh! Berani bener ini Sri nyamperin Mbah Bejo 🙄

Teluh (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang