6. Lelaki Misterius

148 13 0
                                    

Kartono menyusun keranjang berisi mainan ke atas motornya. Lelaki pendiam itu tidak menyadari kehadiran istrinya. Sri sejak tadi memperhatikan apa yang Kartono lakukan.

"Jualannya diganti lah, Mas. Yang cepet laku. Yang cepat menghasilkan."

Alih-alih menjawab, Kartono memilih pura-pura tidak mendengar apa yang baru saja dilontarkan istrinya itu.

"Mas ... aku ngomong sama sampeyan loh. Kok ngga dijawab?”

Kartono menyadari istrinya itu mulai tidak senang. "Apa toh?"

"Lah, jadi dari tadi aku ngomong itu beneran ngga dengar atau sampeyan ngga mau dengar?" Sri mulai menaikkan nada bicaranya. "Aku bilang, ganti aja jualannya. Jangan mainan. Yang cepat laku, yang cepat menghasilkan uang. Aku capek, Mas, hari-hari ngatur duit yang ngga seberapa itu buat ini itu. Aku capek hidup susah!"

"Sri! Sadar kowe. Ngomong apa toh? Kok tingkahmu makin hari makin bikin aku gerah? Lah kowe kan tahu, aku bisanya gini."

"Aku udah capek, Mas. Makin hari hidup kita makin susah. Bulan ini saja kita sudah nunggak bayar rumah. Listrik juga sudah bunyi, itu. Sebentar lagi mati. Belum lagi uang bukunya Tiara."

Kartono menarik napas panjang. Ia sadar betul. Kehidupan yang kini mereka lalui semakin berat saja.

"Aku mau kerja, Mas."

"Kerja apa?"

"Nyuci nggosok lagi ke tetangga. Atau jaga toko juga nggak apa-apa."

"Terus anakmu gimana? Kowe ngga kasihan toh, Dek, sama Tiara? Sama Safira? Kalo kowe kerja, bayimu dititip siapa? Mikir, Dek...."

"Aku pengen kerja karena aku mikir, Mas. Aku mikir udah ngga bisa lagi ngandelin penghasilan sampeyan. Aku mikir karena beras sudah habis. Aku mikir karena ngga bisa beli sabun buat nyuci baju anakmu. Mikir aku, Mas. Ngga kayak sampeyan yang pasrah aja!"

"Sri!"

"Apa! Sampeyan ngga terima? Lah, emang gitu kenyataannya."

Kartono mengusap wajahnya dengan kasar. Demi menghindari pertengkaran itu, distarternya motor yang sudah sangat lama berjasa padanya. Mainan di dalam keranjang itu terguncang. Kartono melaju menuju pasar tanpa mandi, juga belum sempat menghirup kopi pahit yang sudah diseduh Sri tadi pagi. Pikirannya kacau.

Sri yang ditinggalkan begitu saja semakin bertambah kesal. Baru saja Kartono menghilang di ujung gang, Sri membanting pintu. Tiara yang sudah siap dengan seragam sekolahnya menatap Sri bingung.

"Mak, aku siapa yang ngantar?"

"Terserah!"

Gadis kecil itu mengambil punggung tangan Sri. "Aku jalan ya, Mak. Assalamu’alaikum.”

***

Kartono menggaruk kepalanya dengan gusar. Sudah hampir jam sebelas siang. Tidak satu pun dagangan Kartono laku. Perutnya sudah melilit kelaparan. Ia sedikit menyesal, kenapa sampai lupa menenggak kopi pahit itu tadi pagi.

Sebetulnya Kartono bukan penikmat kopi tanpa gula. Hanya, sudah beberapa hari ini kopi yang dihidangkan Sri padanya memang seperti itu. "Habis.” Begitu jawab Sri singkat, saat ia bertanya kenapa kopinya tidak tercecap rasa manis sedikit pun.

Kartono semakin gusar saat matahari tepat di tengah kepalanya. Panas terik membuat peluh bercucuran di sekujur tubuh Kartono. Mukanya berminyak dan baunya seperti sampah. Ah, ia ingat. Ia lupa mandi tadi sebelum berangkat. Mulutnya terasa asam sebab belum setetes air pun masuk.

Apa ia harus istirahat, pulang seperti biasa? Lalu kalau pulang, apa yang harus ia katakan pada Sri? Tiara, apakah anak itu sudah makan? Ya Tuhan. Kartono menahan gejolak batin dan kembali mengusap kasar wajah berpeluh serta berminyaknya.

Sri tidak belanja hari ini. Biarlah. Toh sudah menanak nasi dari seluruh beras yang tersisa. Cukup untuk ia dan Tiara makan siang ini. Ah, tentu saja ia akan membagi nasi itu separuhnya untuk Kartono.

Sudah lewat Zuhur, suaminya itu belum juga tiba di rumah. Ini jelas tidak seperti biasanya. Apakah lelaki itu masih marah padanya? Ah, apa ia sudah keterlaluan? Apa ia terlalu berlebihan? Sri mengingat-ingat apa saja yang ia ucapkan pada lelaki itu tadi pagi. Kartono, bagaimanapun ia adalah suami yang baik. Sedikit penyesalan menyelinap dalam hati Sri.

Sri mengusap anak rambut yang berantakan di dahinya ke kepala. Wajahnya terlihat khawatir. Benar, ia sudah keterlaluan terhadap Kartono. Saat wanita itu diliputi kekhawatiran dan penyesalan, terdengar pintu diketuk dari luar.

Ah, itu dia. Sri merapikan ikatan rambutnya yang berantakan. Ia berusaha mengurai senyum pada wajahnya, pertanda ia sudah melupakan pertengkaran tadi pagi. Semoga Kartono juga sama. Bergegas ia membukakan pintu. Namun, bukan Kartono. Seorang lelaki bertubuh tegap dengan dandanan necis dan aroma parfum yang khas, berdiri di depan pintu. Lelaki itu melempar pandangannya jauh ke dalam rumah. Jantung Sri berdetak lebih cepat. Takjub sekaligus takut, Sri beringsut ke dinding, memberi jalan untuk lelaki itu lebih leluasa memandangi isi rumah kontrakan Sri.

"Suamimu, ada?"

***

Teluh (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang