13. Amarah Sri

136 12 0
                                    

Pelelangan ikan ramai sekali. Matahari masih sepenggalah ketika Kartono sampai di sana. Lelaki itu bergabung bersama buruh angkut lainnya. Yah, ia merasa tak pantas saja berdiam diri di rumah meski kesehatannya belum pulih benar. Di sini ia juga merasa senang saat bisa mengobrol dengan Yudha, kawan lamanya. Sesekali membantu ibunya atau menjadi kuli angkut untuk menambah pemasukan.

Yudha masih terbilang saudara sepupu Kartono. Lelaki gempal itu sangat jenaka dan menyenangkan. Jika sedangkan bercerita, wajah bulatnya penuh ekspresi yang membuat siapa saja tertarik untuk mendengar ceritanya. Sering Kartono dibuat terpingkal-pingkal saat mendengar cerita Yudha.

Seperti saat ini, Yudha menceritakan pengalamannya saat berlebaran ke rumah saudagar kaya. Di sana ia pamit menggunakan kamar kecil. Setelah lepas hajat, ia tak mengerti cara "menghilangkan jejaknya". Tidak ada gayung atau bak air ia temui di kamar kecil itu. Sampai sekarang, si saudagar itu tak sudi berjumpa, apalagi menatap wajahnya. Kartono merasa geli dan tertawa sambil memegangi perutnya.

Tiba-tiba saja tawanya reda. Ia merasa mual dan sakit berlebihan. Lelaki itu memegangi perut, meringis menahan sakit seperti ada sesuatu yang menusuk dan mengaduk-aduk isinya. Belum lama ia sampai di pelelangan ikan. Ia juga tidak lupa untuk sarapan dan makan obatnya pagi ini. Apa mungkin karena ia tertawa terlalu keras?

Yudha menyadari raut muka Kartono berubah. Keringat dingin membasahi wajahnya. Suara Yudha makin menjauh dari pendengarannya. Begitu pun dengan sosok lelaki tambun itu, kian lama kian redup. Hanya gelap kini yang Kartono rasakan. Lelaki itu pingsan.

***

"Apa yang kau tunggu? Ayo kemari!"

Sri yang kebingungan, berjalan mendekat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sri yang kebingungan, berjalan mendekat. Mbah Bejo menepuk tempat kosong di sebelahnya. Memberi isyarat agar Sri duduk di samping Mbah Bejo. Takut bercampur bingung, Sri menurut pada lelaki itu. Perempuan mungil itu semakin tidak nyaman ketika Mbah Bejo mengulurkan lengannya di belakang punggung Sri yang terbuka. Menampilkan kulit putih bersihnya.

"Mbah, saya tidak bisa—"

"Sstt ... diamlah. Aku berdebar.  Bisakah kau rasakan detak jantungku saat ini?"

Sri menunduk memperhatikan jemarinya saling meremas dan berkeringat.

"Ah, tentu saja tidak. Begini akan lebih baik," lanjutnya. Tanpa permisi, Mbah Bejo merapatkan duduknya pada Sri. Merangkul perempuan itu dengan erat.

"Saya mau pulang, Mbah." Sontak Sri menepis tangan lelaki itu.

"Apa maksudmu? Kita baru saja sampai." Lelaki itu semakin merapatkan tubuhnya pada Sri. Tangannya meremas bahu Sri dengan kuat. "Nikmati saja atau kau akan mendengar berita buruk tentang Kartono besok pagi," bisiknya.

***

Matahari sudah mulai tinggi. Tapi sampai sesiang ini Sri sama sekali belum juga tidur. Yah, sejak semalam ia tak dapat memicingkan mata. Ancaman Mbah Bejo semalam terngiang-ngiang terus di telinganya. Bagaimana mungkin Mbah Bejo selicik itu? Kartono sangat menghormatinya. Bukan sekali dua kali Kartono menyanjung Mbah Bejo di hadapannya. Suaminya yang polos itu sangat mengagumi sosok Mbah Bejo yang pemurah dan rendah hati.

Sri gelisah menyadari bahwa semua ini terjadi karena kesalahannya. Jika saja ia tidak menuruti amarahnya pada Rena saat itu, tak mungkin ia mengenal Mbah Bejo. Hidupnya pasti tidak serumit ini. Setidaknya, meski hidup kekurangan, hari-harinya tidak mencekam seperti ini. Mungkin ia harus mengaku pada suaminya itu. Sri memantapkan hatinya. Ia akan menelepon Kartono. Ia akan menceritakan semua kejadian yang selama ini ia simpan sendiri.

Baru saja ia berniat meraih ponselnya, benda yang sudah ketinggalan zaman itu berdering. Matanya perih menahan kantuk. Di tatapnya layar ponsel yang berkedip-kedip. Sebuah nama tampil di sana.

Kartono? Tidak biasanya Kartono menelepon di jam seperti ini. Mereka biasa berbagi cerita di malam hari, saat Sri sudah pulang dari rumah ibu-ibu komplek yang membutuhkan jasanya.

"Ya,  Mas ...."

"Sri, ini Ibuk."

"Ibuk? Ada apa, Bu? Kok tumben nelepon?"

"Bojomu, Sri ... Kartono kesehatannya memburuk. Wong tiba-tiba pingsan di pelelangan. Begitu siuman, batuk-batuk terus. Berdarah. Napasnya sesak. Katanya perutnya sakit, seperti ditusuk-tusuk. Ibu mau bawa ke rumah sakit."

Belum lepas dari kebingungan dan rasa khawatir, Sri mendengar benda jatuh dan Kartono yang terbatuk-batuk di belakang ibunya.

"Sudah dulu ya. Kartono kumat lagi. Nanti Ibuk telpon lagi. Pulang, Sri. Kalau bisa, balik rene secepatnya."

Sri tak sempat membalas salam ibu mertuanya. Dadanya sesak. Hanya satu saja yang ia pikirkan. Sudah pasti ini ulah dukun itu. Semalam memang segalanya tidak berakhir seperti yang lelaki itu pikirkan. Dengan tegas, Sri menolak lamarannya. Mungkin Sri bukan istri yang patuh dan taat pada suaminya. Seringkali ia marah atau bertengkar dengan Kartono. Tapi bukan berarti ia perempuan murahan. Sejatinya, ia istri yang setia, apa pun keadaan suaminya itu.

Tangan Sri mengepal. Ia tidak akan diam saja.

"Awas kau, Bejo! Aaagghh!" jeritnya.

***

Teluh (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang