11. Kejadian Kemarin

136 10 0
                                    

Langit sore dihiasi semburat kuning keemasan. Perempuan mungil itu baru saja sampai di rumah kontrakannya. Sebuah tas kain yang sudah tak karuan warnanya ia empaskan begitu saja di sudut kamar. Tubuhnya terasa remuk setelah dua hari dua malam duduk di dalam bus antar propinsi. Tak butuh waktu lama baginya untuk terbuai ke alam mimpi.

Embusan napas beraroma mint tiba-tiba menggelitik telinganya. Meski lelah menguasai tubuh, Sri segera menyadari bahwa ia sedang tidak sendiri. Wajah lelaki itu hanya dua senti  jaraknya dari Sri. Secepat kilat ia bangkit, mendorong lelaki itu hingga terjerembab ke belakang.

"Mbah Bejo? Ss-saya tid—"

"Hahahahaha. Tidak usah banyak bicara. Aku tahu kau lelah. Biarkan aku bekerja. Bagaimana?"
Lelaki itu bangkit, menyapu seluruh ruangan dengan pandangannya.

"Jadi benar, sudah kau ungsikan suamimu itu? Bagus! Aku tidak perlu susah payah." Ia kembali mendekati Sri.

"Kenapa kau buat aku menunggumu lama sekali?" Mbah Bejo menarik Sri ke pelukannyat paksa kemejanya hingga dua kancing atas terlepas. Sri berusaha menutupi dadanya dengan kedua tangan.
Kini tangan kirinya mencengkram erat rahang Sri. Sementara tangan kanan menjambak kepangan rambut. Perempuan itu menjerit kecil. Air mata mulai mengambang di kedua pelupuk matanya.

"Jangan, Mbah ...aku mohon."

"Teruslah memohon. Aku suka melihatmu seperti itu." Mbah Bejo menatap setiap inci wajah Sri, seolah tak ingin melewatkan keindahan yang terpampang jelas di depannya. Perempuan itu mulai terisak.

"Tolooo ... Hmmpt ...." Mbah Bejo membungkam mulut Sri dengan bibirnya. Menyapu bibir ranum wanita itu dengan lidahnya. Sri mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Mbah Bejo semakin beringas, sebab merasa kesal dengan sikap tidak terima yang Sri lakukan. Dengan sengaja lelaki itu menggigit bibir Sri hingga pekikan kecil keluar dari mulut wanita itu. Rasa anyir darah membuat Mbah Bejo menghentikan perbuatannya.

"Aku bisa saja merenggutmu sekarang. Tapi aku tidak mau. Aku menginginkan pernikahan. Jadilah istriku atau ... Kartono dan anaknya selesai. Pikirkan itu!" ancamnya. Lelaki itu mendorong tubuh Sri. Mencampakkannya begitu saja ke sudut kamar. Lelaki itu menggosok wajahnya kasar. Mengibas kemejanya, kemudian berlalu.

Sri menangis tertahan. Segera ia mengunci pintu dan semua jendela. Ia mengutuki dirinya sendiri. Menyesali kenapa ia bisa lupa mengunci pintu sebelum beranjak ke kamar. Salahnya jika akhirnya lelaki itu leluasa masuk dan memperlakukannya seperti barusan. Tertatih, ia kembali ke kamar. Menumpahkan segala rasa berkecamuk di hati. Tangisnya pecah.

***

"Sri? Kenapa ngelamun? Kamu sakit?"

"Eh, nggak, Mbak. Nggak apa-apa." Sri mengurai senyum di bibir. Namun, air wajahnya dapat ditebak. Murung dan terlihat tidak sedang baik-baik saja.

"Kalau lagi nggak enak badan, istirahat dulu. Besok saja dilanjutkan." Mbak Erna khawatir melihat wajah Sri yang sedikit pucat. "Atau mungkin lagi ada masalah? Mungkin saya bisa bantu?" Wanita bersahaja itu menyelidik. Sebab sudah banyak ia mendengar bisik-bisik yang beredar.

Sri kembali mengulas senyum sambil menggelengkan kepala 'aku baik-baik saja'-nya. Mbak Erna menghela napas panjang, mengangguk dan menepuk pelan pundak Sri.

"Baiklah. Kalau ada apa-apa, kamu boleh kok cerita. Andai bisa saya bantu, insyaallah, saya akan bantu," lanjutnya.

Sri tidak menjawab. Namun, sedikit rasa lega mendengar seseorang yang masih peduli padanya.

"Assalamualaikum, Mbak. Aku pulang."

"MasyaAllah, Ardhi. Kenapa nggak bilang-bilang kalau mau datang?" pekik Mbak Erna menyambut seseorang yang tiba-tiba muncul di ruang tamu rumahnya.
"Aduh ... makin ganteng adek Mbak. Ayo masuk. Kebetulan, Mbak masak ayam gule kesukaan kamu. Kita langsung makan?" Mbak Erna membawa lelaki muda itu masuk. Sekilas, Sri beradu tatap dengan pemuda itu. Namun, ia kembali menekuri pekerjaannya.

"Pembantu baru lagi, Mbak?" ujar Ardhi begitu mereka sampai di meja makan.

"Bukan. Mbak nggak pake asisten lagi buat di rumah. Itu Sri. Dia datang dua kali seminggu buat nyetrika aja."
"Oh. Kenapa nggak pake asisten? Mbak kuat buat ngerjain tugas rumah tangga sendiri?"

"Ya, kalau sekarang, sejak anak-anak nggak tinggal di rumah pekerjaan malah nggak ada, Dhi. Cuman buat nyetrika, Mbak memang dari dulu nggak kuat. Banyakan malesnya."

Layaknya dua saudara kandung yang terpisah lama, mereka saling bercerita tentang kehidupan yang kini mereka jalani. Gelak tawa terdengar di sela obrolan mereka.

Mbak Erna dan Ardhi adalah saudara sepupu. Jarak usia yang lumayan jauh membuat Ardhi dari dulu suka bermanja-manja pada Mbak Erna. Usia Ardhi hanya beda dua tahun dengan anak sulung Mbak Erna. Apalagi ketika Ardhi diterima kuliah di salah satu universitas negeri kota ini, hubungan dua kakak beradik itu makin dekat. Mbak Erna dan suaminya hanya tinggal berdua sejak kedua anak mereka kuliah di luar kota.

"Mbak itu masih single?" Ardhi mengerling nakal pada Mbak Erna.

"Hush! Sudah punya orang. Sudah punya dua anak." Mbak Erna menggelengkan kepala. "Udah ah. Kapan kamu nikah? Biar usilnya hilang," lanjutnya.

"Dih, siapa yang usil? Lagian, mau nikah sama siapa?"

"Dasar. Makanya, jangan suka jadi playboy cap karung."

Ardhi meringis, menggosok lengannya yang serta merta menjadi sasaran cubitan Mbak Erna. “Sakit ih.”

Ardhi kembali mencuri pandang pada Sri yang sedang asik mengelus kemeja-kemeja itu hingga licin. Melipatnya menjadi satu tumpukan yang rapi.

"Cantik," bisiknya. "Aww ... Mbak, ih. Sakit tahu!" cicit Ardhi ketika cubitan Mbak Erna kembali mendarat di kulitnya.

***

Teluh (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang