3. Mbah Bejo

205 14 0
                                    

Seminggu mereka di kontrakan baru. Tetangganya sepasang suami istri, kerja kantoran. Rata-rata juga yang menyewa di sana pegawai. Jadi ketika siang hari terasa sunyi. Sri suntuk setengah mati. Tidak ada yang bisa diajaknya mengobrol. Belum lagi suaminya setiap pulang dari pasar tidak bisa membawa uang banyak.

Sri mengeratkan genggamannya pada dompet kumal, souvernir dari toko emas. Simpanannya semakin menipis. Sementara pengeluarannya besar. Sewa rumah dan listrik menyerobot lebih dari separuh jatah belanja sayur. Bahkan tabungan yang sedianya untuk bersalin nanti sudah menguap tak berjejak.

Ini semua karena Rena, perempuan laknat itu. Kalau bukan karena dia, kini pasti Sri sudah mencicil perlengkapan bayi.

"Rena, tega kowe!" rutuk Sri sambil meremas dompetnya.

Sungguh sangat menyakitkan ketika uang yang ia simpan dengan hati-hati, kini habis tak berbekas. Banyak sekali yang harus dipikirkannya. Kartono pun sering pulang tanpa hasil. Bagaimana caranya menabung untuk bersalin nanti? Bukanara gampang bagi mereka menyisihkan rupiah-rupiah itu. Tidak pula ia punya tempat berkeluh kesah di sini. Kepada siapa ia akan meminta tolong? Terkadang, Sri merasa dunia sering tidak adil kepada orang sepertinya. Demi mengingat kelakuan Rena, gejolak batin yang sudah menggebu, tak kuasa ia bendung air matanya.

Tangisnya pecah. Ingin rasanya ia berteriak, tetapi ditahannya. Tuhan? Sudah lama Sri tidak mengingat Tuhan. Ia tergugu.

“Asssuuuu ... asu kau, Rena!” makinya dalam hati.

Tiba-tiba ia ingat sesuatu. Mbah Bejo. Iya, Sri akan minta tolong pada dukun itu.

Tanpa sepengetahuan Kartono, Sri menyambangi rumah Mbah Dukun Bejo. Baru saja sampai di halaman rumah dukun itu, suasananya sudah tidak enak. Hawa dingin mencekam, seperti meniup punggungnya. Bulu kuduk Sri berdiri. Sesaat, ia ragu. Namun, tekadnya sudah bulat. Tidak akan dibiarkannya Rena bersenang-senang di atas penderitaannya.

Mbah Bejo sebenarnya belum terlalu tua untuk dipanggil Mbah. Masih sekitar empat puluh tahun. Masih gagah. Wajahnya juga tampan. Sama sekali tidak sangar seperti pemeran dukun dalam serial televisi. Sri sebelumnya memang belum pernah bertemu dengan dukun kondang itu. Ia hanya mendengar namanya.

Keahlian Mbah Bejo itu mengirim penyakit dan lain sebagainya. Apa pun itu jenis dan namanya; teluh, santet. Ah, Sri juga tidak terlalu paham perbedaan dari kedua kata itu.

"Aku bisa saja mengirim 'barang' ini ke sana. Tapi semua tidak gratis. Apa taruhanmu?"

"Maksud Mbah?"

"Tumbal."

"Jujur, saya ngga punya apa-apa. Tapi saya dengar dari orang-orang, katanya Mbah nggak minta biaya dari orang yang Mbah tolong, jadi ...”

"Saya tidak minta uang." Mbah Bejo menyipitkan matanya, menatap pada perut buncit Sri. Sri bergidik. Bayi dalam perutnya seolah mengerti dan memberi respons dengan menendang ke sana ke mari.

"Itu saja," lanjutnya.

Sri terkesiap. Tidak. Dia tidak akan mengorbankan anaknya demi apa pun. Sri meninggalkan kediaman Mbah Bejo dengan perasaan campur aduk. Lelaki yang bersekutu dengan setan itu tersenyum sinis.
Kartono pulang lebih awal hari ini. Sri yang sedang memasak oseng cumi asin dikejutkan oleh bunyi sepeda motor butut suaminya, sedikit berlari untuk membukakan pintu.

"Loh, Mas? Tumben udah pulang. Dapet berapa hari ini?" selidik Sri terhadap Kartono. Dilihatnya di bakul mainan buatan Kartono masih banyak. Kening Sri mengernyit.

"Belum banyak. Aku ditelepon Mulyadi. Katanya Rena masuk rumah sakit. Sejak Subuh muntah darah."

Muntah darah? Jangan-jangan ... tapi dia sudah membatalkan keinginannya pada Mbah Bejo saat itu juga. Lalu, kenapa sekarang Rena muntah darah? Sepengetahuan Sri, Rena tidak pernah sakit berat. Ditepisnya prasangka yang datang. Tidak! Itu bukan salahku.

"Sri, aku mau nyusul Mulyadi ke rumah sakit. Mau ikut ndak?"

"Hmm," Sri mengangguk. Ia harus memastikan ada apa dengan Rena sebenarnya. Kartono mampir ke sekolah untuk menjemput Tiara sebelum mereka menyusul ke rumah sakit.

Sepanjang perjalanan, tidak henti-hentinya Sri merapal beberapa ayat pendek yang ia hafal. Ah, kali ini ia ingat Tuhan Yang Maha Kuasa.  Semakin dekat jarak mereka dengan rumah sakit, semakin tidak karuan perasaan Sri. Ada begitu banyak tanya. Ada rasa khawatir jika sesuatu dengan Rena, jika itu disebabkan oleh Mbah Bejo, artinya jabang bayi yang tengah dikandungnya dalam keadaan terancam. Diusapnya perut buncitnya dengan lembut. Ia benar-benar bingung dan bertanya-tanya. Mungkin ketakutanlah yang sebenarnya paling ia rasa.

Rena sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Kamar anggrek dua kosong tiga. Bau khas rumah sakit menyeruak masuk ke pernapasan Sri. Dari dulu dia tidak pernah suka bau ini. Ditambah dengan warna cat dinding yang serba putih, pucat, dan menyeramkan. Rena terbaring lemah di salah satu ranjang. Di tangannya, jarum infus melekat. Sri terhuyung melihat sekantong darah yang menetes masuk ke vena, menggantikan darah yang telah dimuntahkan Rena. Mulyadi duduk di samping ranjang. Kepalanya tertunduk. Salah satu tangannya memijit pelipisnya.

Sri berjalan di belakang Kartono. Tubuhnya gemetar, bertopang pada bahu Kartono.

Mulyadi tidak menyadari kedatangan mereka hingga Kartono menyentuh pundaknya.

"Eh ... Mas, Sri, syukurlah kalian datang. Aku mau titip Rena dulu, boleh? Lanang belum tak jemput dari sekolahnya."

Mulyadi meninggalkan Rena bersama Sri dan Kartono. Sri duduk di kursi sebelah tempat tidur Rena. Ditatapnya lekat wajah perempuan itu. Perempuan yang dulu pernah menjadi saudaranya, kini terbaring lemah tak berdaya. Refleks, ia menyentuh jari perempuan itu. Entah apa yang dirasakannya, air mata Sri jatuh begitu saja.

***

Teluh (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang