9. Jatuh Sakit

144 12 0
                                    

Sudah tiga hari, keadaan Kartono belum juga pulih. Malah makin bertambah saja keluhannya setiap hari. Pagi ini Sri berhasil membujuk Kartono untuk berobat ke Puskesmas. Setelah melakukan beberapa pemeriksaan, Bu Dokter menyampaikan kesimpulannya.

"Kemungkinan Bapak kena DBD, Bu. Tapi untuk memastikan, ada baiknya Bapak tes laboratorium dulu."

"Tesnya di mana Bu Dokter?"

"Sayang sekali, Puskesmas tidak memiliki laboratorium. Ibu bawa Bapak ke rumah sakit besar saja."

"Kira-kira biayanya berapa, Bu Dokter?"

"Saya kurang tahu persisnya berapa. Akan lebih baik kalau Ibu dan Bapak langsung saja ke rumah sakit."

Sri menarik napas panjang. Rumah Sakit besar bagi orang seperti Sri dan Kartono terdengar sangat menyeramkan. Ia ingat ruangan di mana Rena pernah dirawat. Sri sendiri, seumur-umur belum pernah berobat ke sana. Ke klinik pun hanya saat Sri melahirkan. Selebihnya, ya seperti sekarang. Puskesmas menjadi pilihan. Ada banyak kesulitan yang mereka bayangkan jika harus berurusan dengan rumah sakit. Belum lagi biaya yang harus mereka tanggung.

Bu Dokter sepertinya menangkap kerisauan hati pasangan ini. Dengan bijaksana, beliau menjelaskan kalau tes laboratorium tidaklah menyeramkan, tidak lama, tidak harus menginap, dan juga tidak semahal yang mereka pikirkan. Kecuali nanti jika hasil laboratorium menunjukkan bahwa Kartono memang seharusnya dirawat.

Dan di sinilah mereka kini. Di ruang tunggu laboratorium rumah sakit. Beberapa jam mereka menunggu hasil tes. Benar saja, Kartono memang positif demam berdarah. Juga disertai gejala typus.

Dokter menyarankan agar Kartono segera dirawat. Kadar hemoglobin dalam darahnya rendah. Jika dibiarkan, akan membahayakan keselamatan Kartono. Tapi dengan segala pertimbangan, pasangan ini memutuskan untuk kembali pulang saja. Apalagi mengingat sudah seharian penuh anak-anak mereka titipkan pada Bu Dhe Tatik. Sebelum pulang, Sri menebus resep obat yang diberikan Dokter.

Satu bulan setelahnya, Kartono tidak kunjung membaik. Keluarga mereka di kampung akhirnya menyarankan agar mereka pulang saja. Sulit memang menjelaskan keadaan mereka saat ini.

Sri harus kembali bekerja. Nyuci gosok ke rumah-rumah. Tak jarang, ia juga dimintai untuk bersih-bersih di sana. Juga mengurus kedua anak dan suami yang sedang sakit seorang diri. Kelelahan jelas terlihat di wajahnya.

Tiara saban hari juga harus kehilangan waktu bermain. Dia harus menjaga Safira jika Sri sedang tidak di rumah. Gadis kecil itu semakin pendiam, kini.

Kartono juga seperti frustasi dengan keadaannya. Saban hari kerjanya hanya marah-marah. Benci dengan ketidakmampuannya sebagai seorang ayah dan suami. Ia mengutuk tubuhnya yang semakin ringkih. Tak selera makan dan minum, hingga penyakit yang lain pun membersamai tubuhnya.

"Uhuk! Penyakit sialan!" umpatnya sambil menahan dada yang sesak karena batuk.

"Mas, makan dulu, habis itu minum obatnya." Sri berusaha membujuk lelaki itu.

"Halah! Percuma. Sakitku ini obatnya cuma mati."

"Nyebut, Mas. Nggak usah bilang mati. Emang sampeyan sudah siap kalo nanti beneran mati? Terus aku sama anak-anak gimana? Emang sampeyan nggak kasian sama aku?"

Kartono mengangkat wajahnya. Menyejajarkan matanya dengan tatapan lelah istrinya. Segala rasa berkecamuk di benaknya,  kini. Wanita keras kepala yang sudah bertahun-tahun mendampinginya itu, terlihat lemah, untuk pertama kalinya. Terlebih, saat kedua bola mata Sri mulai berkaca-kaca. Kartono meraih Sri ke dalam pelukannya. Mereka terdiam beberapa saat dalam posisi itu. Hingga akhirnya Kartono menarik diri. Lelaki itu memegangi dadanya  dan kembali terbatuk.

"Mungkin benar kata ibuk. Kita pulang saja. Setidaknya di kampung kowe ngga capek sendiri, Dek. Ada ibuk yang bantu," ujar Kartono setelah batuknya reda. Sri menyerahkan segelas air hangat yang langsung dihabiskan Kartono.

"Pulang biayanya nggak sedikit, Mas."

"Kita terima saja bantuan Mbah Bejo. Bagaimana? Lagi pula, kenapa kowe ngga mau, Dek? Beliau orang baik."

Sri terdiam. Selama Kartono sakit, memang beberapa kali Mbah Bejo datang ke rumah mereka. Setiap kali datang, selalu meninggalkan amplop berisi uang dengan jumlah lumayan. Sri belum sama sekali menyentuhnya. Sebulan ini ia berusaha menghemat pengeluaran sebisa mungkin dari upahnya menjadi buruh cuci gosok di beberapa tetangga.

Sri membuka amplop-amplop itu. Totalnya dua juta rupiah. Ia juga teringat dengan amplop pertama yang ia sembunyikan dari Kartono. Dengan yang itu, jumlahnya menjadi tujuh juta rupiah. Sri memantapkan hatinya. Ia akan 'meminjam' uang itu sementara waktu. Ia bertekad akan bekerja lebih keras agar bisa mengembalikan 'pinjamannya' itu.

***

Teluh (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang