10. Paha ayam dan paha perempuan

2.6K 232 57
                                    

Sebuah uluran tangan membuat Akila yang sedang meminjam betisnya yang tadi diinjak oleh Alvaro itu mendongak. Rafan Lazuard disana.

"Ayo berdiri." Rafan kembali melirik juluran tangannya sekilas, mengisyaratkan agar Akila menerima juluran tersebut.

"Lo pikir gue gak berdiri sendiri?"

"Huh! Dasar tidak tahu terimakasih," jengah Rafan, cowok itu berjongkok dihadapan Akila dan meninju betis gadis itu yang membuat Akila meringis dibuatnya. "Lihat, aku bahkan tidak memukul dengan keras, tapi kau sudah meringis. Jadi, tidak usah keras kepala. Biar kubantu saja."

"Gue mau dibantu sama lo, tapi dengan satu syarat." Akila bersidekap dengan tersenyum miring.

"Astaga, masih untung aku mau membantu, kenapa kau banyak maunya. Benar-benar tidak tahu terimakasih."

"Mau gak?"

"Cepat katakan."

Akila tersenyum puas dan menatap manik mata Rafan. "Syaratnya, lo gak boleh ngomong pakai bahasa kaya tadi lagi sama gue. Lo harus ngomong normal aja, kaya lo ngomong sama temen-temen lo yang lain."

"Tap--"

"Gue gak terima bantahan, Fan."

"Oke fine, puas?!"

"Puas." Akila tersenyum dan merentangkan tangan kehadapan Rafan. "Bantuin."

Rafan kembali menjulurkan tangannya, dan kali ini diterima oleh Akila.

"Biar aku anter pulang," kata Rafan, cowok itu membantu memapah tubuh gadis disampingnya. Dan jangan lupakan perihal Rafan yang benar-benar merubah gaya bicaranya.

Setelah sampai dimobil, Rafan yang duduk dikemudi itu melempar jaket kearah Akila, yang membuat kerutan samar muncul didahi gadis itu.

"Untuk apa ini?"

"Tutup paha, La."

"Kenapa?"

Rafan menghela nafas. "Aku keganggu sama paha kamu yang terekspos, lain kali kalau pakai rok itu dibawah lutut, jangan diatas lutut. Meresahkan banget tau gak, sih?"

"Gue nyaman kaya gini, dan gue akan pakai sesuatu yang buat gue nyaman."

"Tapi aku yang gak nyaman." Rafan mulai melajukan mobil meninggalkan parkiran restoran. "Aku gak tau apa tujuan cewek buat ngekspos paha mereka kaya gitu. Tapi yang jelas bagi aku, paha ayam kampung lebih bagus dari paha cewek."

"Kenapa gitu?" Kali ini Akila mulai menutupi pahanya dengan bantuan jaket yang diberikan Rafan.

"Kenapa paha ayam kampung lebih berharga? Ya simpel aja sih, buat liat paha ayam kampung itu kita harus berjuang dulu. Pertama harus pergi ke kampung, sudah sampai ke kampung kita harus ngejar ayam yang mau kita liat pahanya dulu. Setelah ketangkep kita gak bisa langsung liat pahanya, kita harus bayar dulu seratus ribu." Rafan menoleh sekilas kearah Akila yang nampak menyimak perkataannya dengan serius.

"Setelah bayar seratus ribu, apa kita udah bisa liat pahanya? Belum, La, kita harus potong ayam itu dulu dengan mengucapkan 'bismillahirrahmanirrahim' dulu. Terus kita rebus dulu air selama 15 menit. Dan apa sudah itu kita bisa liat pahanya? Nggak, La, kita harus cabutin dulu bulunya satu persatu, sampai akhirnya kita bisa liat pahanya yang putih."

Kali ini Akila bergeming, membuat Rafan tersenyum, dan melanjutkan kalimatnya, "Kalau paha cewek? Dengan jalan-jalan naik mobil gini aja kita udah bisa liat paha cewek. Kadang sangat meresahkan untuk mata kami laki-laki. Niat jalan-jalan sore tapi liat kanan kami dapat paha, liat depan kami dapat dada. Masa kami harus nyetir sambil merem, yang ada tiang listrik yang kami dapat." Rafan terkekeh. "Tolong, lah, kita sama-sama menjaga. Kami cowok jaga pandangan, tapi cewek juga harus jaga akhlak. Dengan pamerin paha kaya gitu, mata kami yang suci ini ikut resah. Diliat dapat dosa, kalau nggak diliat barang bagus. Kami cowok itu normal, Akila." Jeda sejenak. "Aku gak maksud buat nyindir kamu, tapi aku cuma mau wakilin suara hati laki-laki diluaran sana."

About AlvaroTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang