Chapter 5. My Lowest Position

365 3 0
                                    

     Seberkas cahaya sedikit pun tidak akan mampu masuk pada pintu yang tertutup dan dikunci serapat-rapatnya. Begitu pula dengan "kesempatan", ia akan lemah jika tidak diakui keberadaannya. Begitu pun sebaliknya, ia akan benar-benar bagai pondasi ketika kita meyakininya. Tak cuma yakin akan keberadaannya, namun juga kekuatannya yang menguatkan kita juga untuk terus melangkah. Dan kurasa ini adalah kesempatanku untuk bahagia dengan memulai kebersamaan hubunganku dengannya, dengan Rey yang selama ini membuatku tertawa walau hanya dari pesan singkatnya.

     Semenjak hari sabtu itu, aku merasa hari-hariku sangat bersemangat, selalu memandang segala hal dengan suka cita, sampai-sampai mbak Rini menanyaiku “Val, kamu kenapa? Demam? Mukamu merah begitu”. “Ah tidak apa mbak, hehehe”, jawabku langsung seraya tak bisa menjelaskan apa yang sedang kualami sore tadi, aku ditembak Rey di perkarangan rumah yang menurutku hal itu pertama kalinya aku diperlakukan romantis oleh seorang pria.

     Tidurku seperti dipenuhi oleh bulu-bulu oksitoksin yang membuatku semakin nyenyak menikmati lelapku, dan bagiku ini adalah bahagia, mampu tidur nyenyak tanpa ada permasalahan yang kupikirkan. Eh tapi, tunggu dulu, aku terus memikirkan wajah Rey yang sore tadi menembakku, ahhh sepertinya aku memang bukan dalam masalah, tetapi dalam bayangnya, lobus oksipital di otakku selalu dipenuhi oleh visual wajahnya.

     Senin pagi akhirnya pun tiba, aku sudah sangat siap untuk pergi ke sekolah, dan berpapasan dengan wajah dan perlakuannya itu lagi yang begitu indah. Sesampainya aku di sekolah, aku menyapa teman-teman dekatku yaitu Charina, Elina, Daniel. Lalu aku pun bertanya kepada mereka tentang keberadaan Prisha karena aku tak melihatnya bersama mereka seperti biasanya. Namun mereka menjawab bahwa Prisha sudah di kelas lebih dahulu, tapi saat mereka datang, ia lantas pergi meninggalkan ruang kelas dengan raut wajah yang murung.

     Sesaat setelah itu, aku langsung bergerak menuju toilet siswi sekaligus melihat-lihat pemandangan sekolah dan berharap dapat melihat Rey juga di sekelilingku. Saatku hampir dekat ke toilet, aku mendengar suara tangisan bercampur kesal dari salah satu siswi di wastafel toilet yang  ada di dalamnya, ohh.. ini suara Prisha, ada apa Prisha menangis begitu dalam seperti itu?. Aku juga mendengar suara perempuan lain dari dalam, seperti ada 3 orang, Prisha dan 2 orang siswi lain. Aku menjadi semakin penasaran tentang apa yang terjadi pada Prisha.

“Eh ada Val.. cewek perebut pacar orang”, sapa Winda saat keluar dari toilet siswi tersebut kepadaku yang tertahan di teras depan toilet.

“Apa masalah lo sama gw?”, responsku padanya.

“Oh ini orang yang lu ceritain tadi, Prish?”, sambung Tina (teman sekaligus saudara sepupunya Winda) seakan memastikan kepada Prisha.

“Kamu kenapa Prisha?”, tanyaku langsung pada Prisha.

“Mungkin alasanku putus dengan Rey itu karena kamu. Jahat kamu Val”, kata Prisha marah bercampur menangis kepadaku.

“Prish, ayo kita bicara di taman”, responsku berusaha ingin menjelaskan berdua dengan Prisha.

“Gak”, ucap Prisha dengan singkat dan jelas langsung pergi meninggalkanku seakan tidak peduli lagi apa yang ingin aku jelaskan padanya.

“Haha dasar perebut milik orang! Gak bener dasar!”, kata Winda mengumpat diriku.

“Cuih”, sambung Tina kepadaku.

“Hey, kalian!”, aku geram dan ingin marah namun mereka begitu saja meninggalkanku juga tanpa aku diberikan kesempatan untuk menjelaskan terlebih dahulu.

     Selama aku di toilet pikiranku seolah tiada hentinya memikirkan bagaimana aku menjelaskan pada Prisha bahwa kenyataannya aku bukan perebut Rey darinya, dan pikiranku pun berujung pada kenyataan bahwa  mungkin itulah alasan Prisha meninggalkan kami sebagai teman-teman dekatnya di kelas tadi dan beralih ke teman-teman di kelas lain yang isinya perempuan-perempuan siluman ular menurutku, ada Winda dan Tina, ahh.. mengapa Prisha bisa berteman dengan mereka?, gumamku dalam hati.

     Winda yang merupakan teman sekelasku sejak SD memang terkenal dengan mulutnya yang berbisa, seringkali mencari masalah dengan murid lain yang lemah sepertiku. Hal-hal kecil yang mungkin tidak ada artinya bisa dibuat menjadi bahan gosip yang besar olehnya. Waktu SD, aku dan Winda sekelas tapi tidak bisa dibilang berteman karena seringkali saat berpapasan denganku, ia selalu menunjukkan tatapannya yang dingin, risih, dan sentimentil dengan diriku. Aku pernah mencoba untuk menyapa Winda dengan baik, tapi ia lantas mengalihkan perhatiannya dengan teman lain, padahal aku nampak jelas bahwa ia sebelumnya melihatku dengan jelas. Kala itu dan sampai sekarang, aku terus berpikir mungkin Winda memang tidak suka dengan diriku, namun entah alasannya karena apa, yang kutahu tentangnya bahwa ia jauh lebih cantik, jauh lebih kaya dan berada pada keluarga yang berada, walaupun kami memiliki kesamaan dari sisi keluarga yang broken home.

LOVE, LUST, & LIFE DEMANDS - A Wattpad Romance by DIAN NITA S.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang