Seperti biasa. Di siang hari SMA Bangsa selalu ramai. Itu dikarenakan para siswa siswi yang sudah tidak sabar untuk mengisi perutnya yang kosong.
Shaka dan kedua temannya juga berada di sana, mereka duduk di kursi paling ujung."Ka, lo mau beli apa?gue yang traktir," ucap cowok sombong berbadan sedang itu, ia bernama Eza.
"Serius lo mau traktir kita?" tanya Erik, si cowok berbadan ceking.
"Kita?gue cuma mau tlaktir Shaka."
"Jahat banget lo, sama gue. Gue itu juga teman lo, sama kayak si Shaka,"kesal Erik
"Lo juga mau gue tlaktir?"
"Ya, iya lah"
"Tapi ada syaratnya," ia mengacungkan jari telunjuknya sembari terseyum licik.
"Apa syaratnya?"
"Lo yang pesanin, yang nungguin pesananya, dan lo juga yang nganterin. Syaratnya tiga, jadi lo harus pesan makanan yang harganya tiga ribu. Soalnya satu pesanan seribu," syarat panjang lebarnya.
"Wah gila, tiga ribu?gue pesan makan apaan?"
"Enggak, bercanda."
"Yah, lo. Pasti kayak gitu sama gue."
Eza mengerutkan keningnya. Menandakan ia tidak mengetahui apa yang dimaksudkan Erik.
"Kalau ada urusan tlaktir. pasti gue yang beli makanannya. Enggak pernah tuh, Shaka atau lo yang beli," ucapnya kesal tapi wajahnya memelas.
"Lo enggak pernah tlaktir kita. Jadi lo yang harus mesenin makanan kita, sebagai imbalan. Nggak mungkinkan?lo bisa tlaktir kita?" ucap Eza ceplos tanpa memikirkan perasaan Erik. Erik tidak heran atau merasa tersinggung. Toh, yang pertama, Erik bukan tipe orang yang gampang tersinggung, dan perkataan Eza memang benar serta yang kedua Eza memang suka seperti itu, suka berbicara seenak diri.
"Iya, yaudah mana."
"Nih, gue pesan bakso sama es teh manis satu?"Eza memberikan selembar uang kertas berwarna biru kepada Erik.
"Lo. Mau pesan apa ka?" tanya Erik.
"Bakso satu, es teh manisnya juga, krupuknya, sama pencuci mulutnya juga," sahut Shaka yang sedari tadi diam. Menatap kursi tengah.
"Setan, banyak banget," ucap Eza protes.
"Alah, itu juga gak akan habis tiga puluh ribu," ucapnya santai.
"Za, kembaliannya buat gue semua ya. Ini palingan cuman lima belas ribu."
"Ahh iya, terserah lo. Buruan gue laper," mengelus ngelus perutnya dengan satu tangan dan satu tanganya lagi mengusir Erik.
Erik tersenyum lebar, dengan semangat ia ngibrit pergi membeli pesanan."Dasar Erik."
Shaka tiba tiba menepuk lengan Eza. Eza merasa kesal, sudah berbicara panjang lebar dengan Erik. Kali ini harus berbicara lagi dengan Shaka.
"Apa lagi ka?" tanyanya.
Shaka menatap Eza,"Mau tanya"
"Tanya apa?dari tadi gue udah ngomong panjang lebar. Gue capek," ucapnya sungkan.
Shaka memutar bola matanya malas,"Siapa yang suruh lo bicara panjang lebar?lo sendiri, bukan gue yang nyuruh lo. Sekarang gue mau tanya sama lo, udah kayak gitu jawabannya."
Eza menggaruk garukkan kepalanya yang terasa sedikit panas.
Sedangkan Shaka ia masih terus mengoceh tidak jelas, gelembung kemarahan Shaka telah meledak.
Shaka tidak bisa mengendalikan diri jika gelembungnya meledak. Gelembung itu akan meledak jika pertanyaannya tidak di hiraukan oleh orang lain. Maka akibatnya ia akan terus mengoceh. Sampai orang itu menghiraukanya.
Ocehannya bukan dengan nada keras ataupun lembut melainkan dengan nada sedang."Lo itu pilih kasih. Lo tuh kalau mau jadi sahabat, seharusnya mendengarkan pertanyaan dari sahabat lo. Terus lo ngasih solusi, kayak pendapat, tanggapan, atau saran semacam itulah," ocehnya semakin tidak jelas, menuju pelajaran sastra indonesia.
"Ah, iya. Lo mau tanya apa?" ia pasrah.
"Nah, gitu. Sahabat itu gunanya untuk..."
"Sudah, Ka. Lo mau tanya apa?ke intinya aja."
Eza memotong ucapan Shaka, ia tidak mau mendengar lagi ocehan- ocehan tidak jelas yang di lontarkan oleh Shaka. Yang ia harus lakukan hanya menjawab, lalu selesai itu saja.
Shaka berhenti mengoceh. Lalu, kedua telapak tanganya memegang pipi Eza. Ia menghadapakan kepala Eza ke arah kursi kantin yang berada di tengah.
"Lihat mereka!tadi gue lihat. Cewek yang rambutnya warna hitam disuruh beli makanan sama ketiga temanya itu,"ia menunjuk ke arah ketiga gadis yang sepertinya sedang memarahi, gadis yang berambut hitam.
"Terus. Kenapa?. Apa urusanya?"
Shaka melepaskan tanganya dari pipi Eza,"Lo gak kasihan, sama dia?"tanya Shaka.
"Buat apa kasihan? Toh, kita juga sering ngelakuin itu sama Erik."
"Ya itu beda. Kita nyuruh dia tapi kita tlaktir dia. Kalau si cewek itu enggak di talktir."
"Terus, lo mau ngapain?lo mau nolongin dia?"
"Enggak. Gue cuma mau tanya sama lo. Gue butuh informasi tentang mereka. Lo bisa jelasin enggak, siapa mereka semua?.Deskripsiin ke gue!"
"Emang lo guru?main nyuruh-nyuruh aja."
"Udahlah. Lo tahu enggak?"
"Iya gue tau. Ketiga cewek itu, bernama Dian, Ema dan Nina. Mereka biasa dipanggil three cut girl¹."
Shaka memasang eskpresi seperti orang yang akan mutah.
"Kalau yang rambut hitam, dia namanya Alina. Siswi pindahan baru dari Sma Nusa..."
"Tunggu, Sma Nusa itu bukanya yang katanya siswa siswinya pinter pinter itu kan?" ia menjeda penjelasan dari Eza.
Eza menganguk,"Tapi kenapa dia pindah ke sini?dikeluarkan?atau keluar?"
"Dia keluar, soalnya ibunya pindah pekerjaan. Katanya sih gitu. Enggak tau gue benar atau enggak."
Shaka menganguk paham. Lalu selesainya angukan dari Shaka. Erik datang membawa makanan yang sesuai dengan pesanana dari Eza dan Shaka. Namun ada yang kurang, yaitu makanan pencuci mulut pesanan milik Shaka.
"Makanan pencuci mulut gue mana?"
"Nah itu, gue gak bisa cerna omongan lo itu. Maksudnya makanan pencuci mulut itu apa sih?buah?tapi kayaknya di sini enggak ada yang jualan buah ka," tanya Erik diikuti anggukkan dari Eza.
"Bukan, permen maksud gue."
~~~~~~~~~~~~~~~~~
¹ = tiga cewek cantik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shaka.
Teen FictionShaka. Seorang cowok yang tidak cool dan tidak bar bar. Ia telah mengubah hidup seorang cewek yang dirundung dengan kesedihan. Hidup cewek itu, semakin berwarna saat Shaka hadir. Teman, sahabat, bahkan mungkin lebih telah dianggap keduanya.